Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan terus berinovasi melalui digitalisasi layanan kesehatan. Namun, efisiensi digitalisasi layanan belum efektif dan ketimpangan layanan masih terjadi.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
MIS FRANSISKA DEWI
Pasien mendapat pelayanan langsung di Puskesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat pada Rabu (19/10/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan terus berinovasi untuk meningkatkan kualitas layanan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat dengan menerapkan digitalisasi layanan kesehatan di fasilitas kesehatan. Namun, efisiensi digitalisasi layanan kesehatan dinilai masih belum efektif.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron mengungkapkan, BPJS Kesehatan telah menerapkan digitalisasi layanan kesehatan, khususnya fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), dalam meningkatkan pelayanan kepada peserta melalui pengembangan dan inovasi digital.
Ali menambahkan, peserta BPJS dapat langsung mengisi layanan FKTP setelah mengisi data diri pada aplikasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). BPJS Kesehatan telah berupaya memudahkan sistem administrasi secara daring sehingga peserta lebih dimudahkan karena dapat mengakses pelayanan administrasi kapan pun dan di mana pun. Peserta JKN bahkan dapat memastikan ketersediaan tempat tidur ketika dirujuk ke rumah sakit.
”Hal ini dilakukan untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan sehingga program keberlanjutan dapat tercapai dan menjamin aksesibilitas kualitas layanan masyarakat Indonesia terhadap kebutuhan dasar, yaitu kesehatan,” kata Ali pada acara Pertemuan Nasional Fasilitas Kesehatan BPJS Kesehatan tahun 2022 yang diselenggarakan secara hibrid di Jakarta, Rabu (19/10/2022).
Data BPJS Kesehatan per 30 September 2022 menunjukkan, sebanyak 12.988 dokter melakukan kontak tidak langsung kepada peserta BPJS Kesehatan melalui aplikasi JKN, seperti konsultasi secara daring yang dilakukan lebih dari 17 juta kali. Fasilitas kesehatan yang menjadi mitra BPJS mencapai 26.370 unit, di antaranya lebih dari 20.300 FKTP dan 2.800 Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL). Baik FKTP maupun FKTRL yang tergabung menerapkan sistem antrean secara daring.
Selama delapan tahun menyelenggarakan JKN, Ali mengklaim peserta BPJS Kesehatan mencapai 246,46 juta orang atau hampir 90 persen jumlah total penduduk Indonesia. Targetnya, selama dua tahun ke depan mencapai target 98 persen. Pemanfaatan JKN pada 2021 mencapai 392,8 juta atau dalam satu hari lebih dari satu juta pemanfaatan layanan JKN.
MIS FRANSISKA DEWI
Sistem pendaftaran secara daring di Puskesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, pada Rabu (19/10/2022).
Rujukan berjenjang
Puskesmas Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, misalnya, telah menerapkan sistem antrean daring bagi peserta baru dan lanjut usia seperti terlihat pada Rabu (19/10/2022). Dalam sehari, puskesmas beroperasi selama 24 jam dan melayani lebih dari 300 pasien. Untuk pasien JKN, ketika puskesmas tidak dapat menangani, diterapkan prosedur berjenjang dengan merujuk ke puskesmas berdasarkan zonasi, yakni rumah sakit tipe D dan C.
Sejauh ini, proses rujukan ke rumah sakit yang dilakukan FKTP dinilai masih mengalami kendala karena sistem yang digunakan berjenjang. Advokasi BPJS Watch Timbul Siregar mengungkapkan, saat ini tingkat rujukan yang dilakukan FKTP masih tinggi. Sebanyak 14 persen pasien FKTP dirujuk ke rumah sakit. Padahal, FKTP harus mengatasi 144 diagnosis penyakit. Namun, masih banyak FKTP yang tidak memiliki dokter mumpuni sehingga harus dirujuk ke rumah sakit.
”FKTP, khususnya puskesmas, masih banyak yang belum mampu menangani sehingga melarikan rujukan ke rumah sakit. Harusnya peserta dapat disembuhkan, tapi karena tidak maksimal, jadi dirujuk,” kata Timbul.
Sistem rujukan berjenjang tersebut membuat pasien harus berkali-kali mendatangi rumah sakit. Pasien yang dirujuk seharusnya hanya satu kali rujukan. Ia menganggap FKTP tidak memiliki pengetahuan mengenai kemampuan rumah sakit yang ingin dirujuk.
FKTP, khususnya puskesmas, masih banyak yang belum mampu menangani sehingga melarikan rujukan ke rumah sakit. Harusnya peserta dapat disembuhkan, tapi karena tidak maksimal, jadi dirujuk.
”Ada beberapa kasus tidak mampu ditangani rumah sakit tipe D. Sehari dirujuk lalu dirujuk lagi ke tipe B. Kasian pasiennya kalau begitu, kalau dirujuk ke tipe D muncul lagi Inasibijis. Itu, kan, akan banyak mengeluarkan biaya jadi dobel. BPJS harusnya mengawasi FKTP tidak sekadar merujuk, tapi benar tidak rujukannya untuk bisa ditangani,” ujarnya.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Muhadjir Effendy mengungkapkan, meski kepesertaan yang dilakukan BPJS Kesehatan sudah berhasil, pelayanan yang ada belum maksimal, terutama akses sebaran fasilitas kesehatan di Indonesia. Ketimpangan kualitas layanan antara kota dan desa, lalu antara wilayah pusat keramaian dan wilayah pinggiran, masih tinggi.
”Kalau dana penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan tidak terserap, tapi kita klaim untung, saya kira tidak benar. Kalau dana PBI tidak terserap, hal itu bukan karena yang miskin tidak sakit, tetapi karena secara spasial tidak dapat akses pelayanan kesehatan. Harus dipastikan pelayanan kesehatan dijangkau oleh siapa saja tanpa diskriminasi. Mudah ducapkan, tapi susah direalisasikan,” katanya.
Karena meningkatnya pelayanan kesehatan tanpa didukung upaya pemerataan kualitas pelayanan, kata Muhadjir, perbaikan kualitas kesehatan akan dinikmati sekolompok kesehatan saja. Ada orang yang sadar menikmati pelayanan BPJS Kesehatan dengan baik, tetapi masih banyak yang tidak tahu bahwa sebenarnya banyak yang bisa memanfaatkan pelayanan BPJS Kesehatan.
”Saya kalau turun ke daerah masih menemukan masyarakat miskin yang tidak tahu kalau layanan kesehatan bisa didapatkan secara gratis. Level satu masih ada yang mengenakan tarif. Bahkan, ada yang mendiskriminasi iuran ada yang drastis kelas dua kamarnya beda dengan PBI dan non-PBI kamar mandinya di luar dan dalam. Itu masih ditemukan,” ujarnya.
Menurut Muhadjir, setiap pengambil kebijakan harus mempunyai visi Indonesia sentris bukan Jakarta sentris dan Jawa sentris dan harus tahu seluk-beluknya. Banyak yang menggunakan helicopter view, tetapi memakai parameter kehidupan sehari-hari. ”Seumur-umur tinggal di Jakarta belum pernah tinggal di daerah, tapi mengambil putusan seperti di Jakarta, padahal di daerah lain banyak yang belum terjangkau pelayanan kesehatan,” ucapnya.