Perlu didorong ekosistem riset yang mendukung pemanfaatan alat antariksa di Indonesia. BRIN melakukannya dengan menggelar pameran riset dan inovasi.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan teknologi satelit perlu dioptimalkan dalam riset-riset di Tanah Air. Hal ini termasuk penggunaannya untuk pengembangan ekonomi hijau dan biru.
Direktur Eksekutif Indonesia Space Agency (Inasa) Erna Sri Adiningsih mengungkapkan, pemanfaatan alat antariksa untuk pemantauan kondisi laut dan darat sudah lama dilakukan di Indonesia. Dalam kaitannya dengan ekonomi hijau dan biru, perlu digalakkan riset terkait pemanfaatan teknologi antariksa.
Hal ini disampaikan Erna dalam acara konferensi pers jelang penyelengaraan Indonesia Research and Innovation Expo (InaRI Expo) 2022 dengan tema ”Digital, Green, and Blue Economy” yang digelar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) secara daring dan luring di Jakarta, Rabu (19/10/2022). InaRI Expo 2022 sendiri akan digelar pada 27-30 Oktober 2022 mendatang di Gedung ICC KST Soekarno, Cibinong, Bogor, Jawa Barat.
Contoh konkretnya, dalam ekonomi biru, teknologi antariksa digunakan untuk mengobservasi permukaan dan kedalaman laut. Hal ini memungkinkan untuk melihat potensi laut dan pesisir, seperti biodiversitas laut, pencemaran, dan kerusakan terumbu karang. Selain itu, teknologi semacam ini bisa sekaligus dimanfaatkan untuk menjaga perairan Indonesia.
”Dengan potensi kelautan Indonesia yang luar biasa, teknologi antariksa dapat digunakan untuk menjaga keamanan perbatasan laut. Kita bisa menggunakan sensor dan radar yang mampu menginduksi pergerakan kapal yang mencurigakan. Teknologi ini bisa digunakan Badan Keamanan Laut. Karena jika mengandalkan polisi laut yang ada, jumlahnya terbatas,” tutur Erna.
Pemanfaatan teknologi satelit dalam ekonomi hijau, menurut Erna, sudah banyak dilakukan, termasuk untuk memantau kondisi lingkungan hidup, kehutanan, dan dampak perubahan iklim. Bentuk-bentuknya meliputi pemantauan alih fungsi lahan, tanaman pertanian dan perkebunan, deforestasi hutan, kepadatan penduduk, hingga memantau potensi biodiversitas di dalam hutan melalui satelit.
Penekanan pada isu mengenai ekonomi hijau dan biru ini mengerucut pada permasalahan pangan, energi, dan kebencanaan. Menurut Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, ketiganya merupakan aspek yang krusial, karena saat ini tidak hanya terjadi pandemi Covid-19, tetapi juga krisis geopolitik global yang menyebabkan fluktuasi harga komoditas pangan dan energi.
Teknologi antariksa digunakan untuk mengobservasi permukaan dan kedalaman laut.
”Penggunaan teknologi antariksa mampu berkontribusi mengurangi permasalahan pangan, energi, dan kebencanaan. Salah satunya bisa dilakukan dengan memanfaatkan citra satelit, pengindraan jauh (remote sensing), dan lain-lain. Maka dari itu, perlu memperkuat ekosistem riset dengan sumber daya manusia, infrastruktur yang memadai, dan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk dalam dan luar negeri,” kata Handoko.
Saat ini di seluruh dunia, menurut Erna, tren pengembangan teknologi antariksa tidak hanya pada lembaga yang dimiliki pemerintah, tetapi sudah merambah industri. Di Tanah Air, tren ini belum sepenuhnya terlihat meski Indonesia sudah memiliki industri telekomunikasi berbasis satelit sejak 1970-an.
”Di seluruh dunia, minat industri untuk mengembangkan teknologi antariksa cukup besar. Di Indonesia, upaya ini perlu didorong pemerintah kepada berbagai perusahaan serta memastikan regulasi yang memungkinkan. Operator pemilik satelit di Indonesia perlu didorong untuk tidak hanya menjual jasa atau produknya, tetapi juga menambahkan nilai pada produk, misalnya dari satelit pengindraan,” ujar Erna.
Tidak hanya itu, pemerintah juga punya fungsi untuk membina, mendorong, dan memfasilitasi masyarakat yang memiliki minat terhadap perkembangan teknologi antariksa. Menurut Erna, saat ini generasi muda banyak tertarik pada teknologi antariksa, misalnya dari hal yang paling kecil, seperti penggunaan robot sederhana, roket air, atau pembuatan satelit nano oleh mahasiswa.
Pelaksana Tugas Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN Agus Haryono mengatakan, saat ini BRIN sedang berkolaborasi dengan banyak aktor terkait pengembangan keanekaragaman hayati, termasuk pemanfaatan teknologi antariksa.
Bertepatan dengan pelaksanaan G20 di Indonesia, BRIN menyelenggarakan Research and Innovation Initiative Gathering (RIIG) yang diikuti negara-negara anggota G20. RIIG membahas mengenai topik-topik pemanfaatan biodiversitas dunia secara berkelanjutan, mekanisme kerja sama, pendanaan, penggunaan fasilitas, hingga deklarasi tingkat menteri.