99 Kematian Dilaporkan Terkait Gagal Ginjal Akut Misterius
Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit gagal ginjal akut progesif atipikal atau gagal ginjal akut misterius cukup tinggi. Segera bawa ke fasilitas pelayanan kesehatan jika anak menunjukkan gejala dan tanda terkait.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kematian dari kasus yang terkait dengan gagal ginjal akut progresif atipikal amat tinggi. Setidaknya 99 kasus kematian dilaporkan terkait dengan penyakit tersebut. Kewaspadaan perlu ditingkatkan terutama dalam deteksi dini dan mengenai gejala yang muncul.
Kementerian Kesehatan per 18 Oktober 2022 melaporkan terdapat 206 kasus terkait gagal ginjal akut progresif atipikal atau gagal ginjal misterius yang tersebar di 20 provinsi di Indonesia. Dari jumlah itu, setidaknya terdapat 99 kasus kematian yang dilaporkan. Adapun provinsi dengan kasus tertinggi adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Aceh, dan Bali.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, Rabu (19/10/2022), di Jakarta, mengatakan, mayoritas kasus yang dilaporkan merupakan anak usia balita. Kewaspadaan perlu ditingkatkan, terutama pada orangtua dengan anak yang menunjukkan gejala dari penyakit tersebut.
”Jika terdapat tanda-tanda bahaya, segera bawa anak ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Kewaspadaan itu khususnya jika anak mengalami gejala penurunan volume atau frekuensi urine atau tidak ada urine dengan atau tanpa gejala demam,” katanya.
Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sekitar 45 persen dari pasien yang terkait dengan gagal ginjal akut misterius tersebut dilaporkan memiliki gejala awal demam dan 49 persen pasien dilaporkan memiliki gejala anuria (gangguan ginjal yang menyebabkan tidak dapat memproduksi urine). Gejala lainnya seperti infeksi saluran cerna, ISPA, dan oliguria (penurunan volume urine).
Nadia mengatakan, kasus penyakit dengan gejala anuria ataupun oliguria pada pasien umumnya terjadi secara mendadak. Selain itu, tidak terdapat riwayat kelainan ginjal sebelumnya ataupun penyakit ginjal kronis.
Jika terdapat tanda-tanda bahaya, segera bawa anak ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Kewaspadaan itu khususnya jika anak mengalami gejala penurunan volume atau frekuensi urine atau tidak ada urine dengan atau tanpa gejala demam.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan ureum creatinine 1,5 kali atau naik lebih dari 0,3 miligram per desiliter (mg/dl). Sementara pada pemeriksaan USG, bentuk dan ukuran ginjal normal dan tidak ada kelainan, seperti batu, kista, ataupun massa.
Kementerian Kesehatan melalui Surat Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor SR.01.05/III/3461/2022 telah mengeluarkan imbauan kepada semua fasilitas pelayanan kesehatan untuk melakukan penyelidikan epidemiologi dan pelaporan kasus gangguan ginjal akut atipikal. Hal ini dilakukan untuk mempercepat upaya penanggulangan penyakit tersebut.
Dalam surat yang ditandatangani oleh Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Murti Utami itu disebutkan, tata laksana awal pasien gagal ginjal akut misterius dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang minimal memiliki fasilitas ruang intensif berupa HCU (high care unit) dan PICU (pediatric intensive care unit).
Rujukan perlu dilakukan apabila fasilitas pelayanan kesehatan yang merawat pasien terkait gagal ginjal akut tidak memiliki fasilitas tersebut. Fasilitas kesehatan yang merawat pasien juga harus dipastikan memiliki dokter spesialis ginjal anak dan fasilitas hemodialisis anak.
Rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan yang merawat anak dengan gangguan ginjal akut progresif atipikal pun harus melakukan penyelidikan epidemiologi dengan koordinasi dari dinas kesehatan setempat. Penyelidikan yang dilakukan meliputi anamnesis penggunaan obat-obatan sediaan cair yang digunakan sebelum gejala gangguan ginjal akut terjadi. Keluarga pasien juga diminta untuk menyerahkan obat-obatan tersebut ke rumah sakit tempat pasien dirawat agar bisa dilakukan pemeriksaan toksikologi terkait gangguan ginjal akut.
Obat sediaan sirup
Surat dari Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan tersebut juga menyampaikan imbauan terkait kewaspadaan terhadap obat sediaan cair atau sirup. Untuk sementara, apotek diminta tidak menjual obat bebas ataupun bebas terbatas dalam bentuk sediaan cair atau sirup sampai dilakukan pengumuman resmi dari pemerintah sesuai dengan ketentuan.
Orangtua yang memiliki anak usia balita untuk sementara diminta untuk tidak mengonsumsi obat-obatan yang didapatkan secara bebas tanpa anjuran dari tenaga kesehatan yang kompeten. Anjuran tersebut berlaku sampai dilakukan pengumuman resmi dari pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menuturkan, penyebab gangguan ginjal akut progresif atipikal masih belum teridentifikasi. Saat ini belum ada penyebab konklusif yang dinyatakan sebagai penyebab penyakit tersebut, termasuk dari konsumsi parasetamol cair.
Ia menyatakan, hingga saat ini belum ada larangan khusus untuk menghentikan konsumsi parasetamol cair pada anak. Meski begitu, kewaspadaan tetap harus ditingkatkan, terutama setelah ada laporan cemaran obat sirup untuk anak yang menyebabkan gangguan ginjal akut pada anak di Gambia, Afrika.
”Parasetamol masih bisa diberikan, namun tetap perlu waspada dan konsultasikan terlebih dahulu pada dokter anak, apakah betul perlu diberikan parasetamol. Yang pasti, jangan membeli obat secara sembarangan,” tuturnya.
Dalam rilis resmi, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) Penny K Lukito menyampaikan, obat sirup anak yang terkontaminasi etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang ditarik di Gambia tidak terdaftar dan tidak beredar di Indonesia. Adapun empat obat sirup untuk anak yang disebutkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup. Produk dari produsen Maiden Pharmaceutical Ltd India tersebut tidak ada yang terdaftar di Badan POM.
Sesuai dengan peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, Badan POM telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirup untuk anak ataupun dewasa tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG. Namun, kedua kandungan tersebut ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan.
Batas maksimal EG dan DEG pada kedua bahan tambahan tersebut telah ditetapkan sesuai standar internasional. ”BPOM juga melakukan penelusuran berbasis risiko, sampling, dan pengujian sampel secara bertahap terhadap produk obat sirup yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG. Hasil pengujian masih memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk memastikan pemenuhan ambang batas aman berdasarkan referensi,” kata Penny.