Saring Sebelum Menelan Informasi Kesehatan di Media Sosial
Media sosial telah menjadi sumber informasi penting terkait kesehatan, tetapi juga bisa jadi sumber informasi keliru yang membahayakan. Kenali cara untuk menangkalnya.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Banyak orang sekarang beralih ke media sosial untuk mendapatkan berita, pengetahuan, dan saran tentang semua hal yang berhubungan dengan kesehatan. Namun, di media sosial juga banyak misinformasi yang dalam banyak studi justru membahayakan kesehatan. Oleh karena itu, publik perlu lebih berhati-hati.
Banyak studi juga menunjukkan, misinformasi terkait kesehatan paling banyak beredar di media sosial, selain misinformasi terkait politik dan agama. Pandemi Covid-19 memperlihatkan, misinformasi bisa sangat membahayakan. Bahkan, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, selain mengadapi Covid-19, dunia juga melawan infodemi atau informasi keliru terkait pandemi yang tak kalah membahayakan.
Studi Md Saiful Islam dari Program for Emerging Infections, Infectious Diseases Division, Bangladesh, dan para peneliti lain dari sejumlah negara di American Journal of Tropical Medicine and Hygiene edisi 10 Agustus 2020 menunjukkan, setidaknya 800 orang meninggal di seluruh dunia karena kesalahan informasi terkait Covid-19 dalam tiga bulan pertama 2020.
Selain korban jiwa, sebanyak 5.876 orang telah dirawat di rumah sakit dan 60 orang mengalami kebutaan total karena meminum metanol yang dipercaya bisa jadi obat Covid-19. Dalam kajian ini, peneliti mengidentifikasi 2.311 infodemi atau informasi keliru terkait Covid-19 dalam 25 bahasa dari 87 negara dalam periode 21 Januari hingga 5 April 2020.
Menurut studi ini, banyak korban meninggal karena mengikuti anjuran keliru untuk mengobati penyakit yang disebabkan virus korona baru ini. Indonesia disebut menempati lima besar negara yang paling banyak menyebarkan informasi keliru ini.
Di antara klaim keliru yang paling populer ialah konsumsi alkohol dengan konsentrasi tinggi bisa mendisinfeksi tubuh dan membunuh virus. Contoh lain informasi keliru meliputi, antara lain, makan bawang putih berjumlah besar atau mengonsumsi vitamin berjumlah besar. Bahkan, ada yang minum air seni sapi.
Di Indonesia, misinformasi ini juga banyak beredar, mulai dari minyak kayu putih hingga obat cacing ivermectin untuk mengobati Covid-19. Misinformasi yang banyak beredar di media sosial juga berkontribusi terhadap penolakan vaksin di Indonesia.
Sebagaimana dilaporkan Bjarke Mønsted dan Sune Lehmann dari Technical University of Denmark yang diterbitkan dalam jurnal PLOS One edisi Februari 2022, pendukung vaksin sering merujuk ke media berita dan situs sains ketika berbagi pengetahuan tentang vaksin di Twitter. ”Kita dapat melihat bahwa profil milik antivaksin jauh lebih sering membagikan tautan ke video Youtube dan ke situs yang diketahui menyebarkan berita palsu dan teori konspirasi,” sebut Mønsted.
Banyak korban meninggal karena mengikuti anjuran keliru untuk mengobati penyakit yang disebabkan virus korona baru ini. Indonesia disebut menempati lima besar negara yang paling banyak menyebarkan informasi keliru ini.
Seriusnya dampak buruk misinformasi ini membuat banyak akademisi dan praktisi kesehatan berupaya melawannya. Bahkan, sebagian di antaranya terjun langsung ke media sosial untuk memberi informasi tandingan dan tak jarang mengklarifikasi kesalahan informasi yang beredar. Misalnya, banyak dokter dan akademisi Indonesia yang kemudian bermain Twitter.
Namun, upaya mengatasi misinformasi di level hilir melalui cek fakta tidak selamanya efektif karena banjir misinformasi akan terus terjadi jika publik tidak kritis dan terus membagi informasi keliru. Sebagaimana virus Covid-19, perlu upaya pencegahan di level hulu. Dalam hal ini, edukasi kepada publik untuk mengenali misinformasi sehingga tidak turut menyebarkan informasi keliru itu.
Mendeteksi misinformasi
Untuk memerangi misinformasi, pertama-tama kita harus belajar bagaimana mengenalinya. Untuk itu, kita harus mengenali sumber informasinya, apakah tepercaya atau tidak.
Lisa Fazio, profesor psikologi dan pengembangan manusia di Vanderbilt University di Nashville, sebagaimana ditulis HealthDay, portal informasi kesehatan, Minggu (16/10/2022), menyebutkan, yang terbaik untuk mengenali kesahihan sumber informasi adalah ”membaca lateral”, atau keluar dari situs dan melakukan penelitian untuk melihat apa yang dikatakan sumber otoritatif lainnya tentang hal itu.
”Buka jendela baru dan cari tahu apa yang orang lain katakan tentang sumbernya,” kata Fazio.
Sementara itu, Joseph Hill, yang ikut menulis editorial di jurnal Circulation (2019) tentang memerangi kesalahan informasi medis, menyebutkan, pengguna media sosial wajib ”memeriksa pesannya” sebelum menyebarkannya. Salah satunya dengan memeriksa informasi pembanding di beberapa sumber medis tepercaya, misalnya Mayo Clinic atau American Heart Association dan situs pemerintah, seperti Centers for Disease Control and Prevention dan Food and Drug Administration.
American Society for Microbiology dalam publikasinya tentang cara melawan misinformasi menyebutkan, untuk mengenali situs tepercaya, di antaranya, dengan memeriksa apakah situs tersebut memiliki halaman ”Hubungi Kami” atau ”Tentang Kami”. Jika ada, silakan diperiksa apakah lembaga dan orang-orang yang bertanggung jawab di situ memiliki reputasi yang baik dan punya otoritas untuk menyebarkan informasi.
Perlu juga dicatat, sumber resmi dari otoritas pemerintah tidak selamanya memberi informasi yang benar, terutama jika ada bias politik di dalamnya. Beberapa studi, misalnya, telah menunjukkan banyaknya misinformasi yang dikeluarkan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait Covid-19.
Situasi yang sama juga pernah terjadi di Indonesia, di mana otoritas Kementerian Pertanian mengeluarkan informasi keliru tentang manfaat minyak kayu putih untuk mengatasi Covid-19 dan sejumlah pernyataan pejabat lain di awal pandemi yang cenderung menyangkal bahaya penyakit ini.
Oleh karena itu, berikutnya, kita tetap perlu mengecek substansi informasi. Dalam hal ini, jangan terpikat pada judul saja. Sering kali tajuk berita bersifat sensasional karena dibuat untuk menarik perhatian Anda. Gali kontennya, apakah informasinya mendukung klaim? Apakah penulis melakukan cherry pick atau menggunakan informasi di luar konteks? Jika demikian, harus waspada, sebaiknya jangan percaya informasinya.
Langkah selanjutnya, memeriksa sumber pendukung. Jika informasi tersebut memang kredibel dengan penulis yang bereputasi baik, mereka sering kali akan mendukung klaim mereka dengan fakta. Jika tidak, itu tanda bahaya lainnya. Jika mereka melakukannya, berapa banyak? Lihat melalui sumber yang mereka kutip, apakah Anda dapat menarik kesimpulan yang sama dari informasi yang disajikan?
Setelah melihat hal tersebut, jangan lupa juga meninjau tanggal. Terkadang orang akan membagikan konten yang berusia beberapa tahun dan mungkin tidak lagi relevan. Pastikan informasinya terbaru, jika tidak, pikirkan bagaimana hal itu dapat memengaruhi kredibilitasnya.
Sebagai langkah terakhir, setelah melalui beberapa tahap saringan di atas tetapi Anda masih ragu terhadap kesahihan informasi yang disampaikan, tanyakan kepada ahli di bidangnya, seperti dokter, tenaga kesehatan, atau ilmuwan lain, atau menemukan seseorang yang dapat mengarahkan Anda ke arah yang benar, seperti pustakawan. Dalam hal ini, situs cek fakta juga dapat berguna untuk memisahkan fakta dari fiksi.