Pengidap Tuberkulosis Resisten Obat Membutuhkan Perlindungan Sosial
Pengidap tuberkulosis resisten obat atau TBC-RO tidak hanya mengalami masalah kesehatan, tetapi juga problem sosial, ekonomi, dan psikologi. Mereka membutuhkan perlindungan sosial yang lebih luas dari negara.
Oleh
RIVALDO ARNOLD BELEKUBUN
·5 menit baca
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Dokter memberikan obat kepada pasien TBC di poliklinik Tuberculosis multidrug resistant (TBC MDR) Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta, Kamis (4/2). Ruangan tersebut khusus melayani pasien TBC yang imun dengan obat TBC biasa sehingga memerlukan obat khusus dengan tenaga medis yang khusus pula.
JAKARTA, KOMPAS — Orang dengan penyakit tuberkulosis resisten obat atau TBC-RO tidak hanya menghadapi masalah terkait kondisi kesehatannya. Mereka memerlukan perlindungan sosial yang lebih luas sebab penyakitnya membuat mereka tidak produktif sementara mereka tetap harus mengeluarkan biaya penunjang layanan kesehatan. Belum lagi, mereka kerap menghadapi stigma dari lingkungan sekitar.
Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI) Henry Diatmo mengatakan, akibat faktor ekonomi dan sosial, banyak pengidap TBC-RO yang tidak optimal menjalani pengobatan. Tidak hanya biaya kesehatan, pemenuhan biaya kehidupan sehari-hari termasuk biaya ongkos berobat di luar biaya medis, menjadi masalah yang memberatkan pasien.
”Sebenarnya BPJS Kesehatan dan bantuan lain sudah menutupi biaya pengobatan dan layanan kesehatan. Akan tetapi, karena pasien sudah tidak dapat lagi bekerja akibat penyakitnya, mereka tidak bisa menanggung ongkos-ongkos di luar biaya medis. Misalnya, ongkos transportasi menuju layanan kesehatan atau ongkos makan, biaya tanggungan keluarga, serta biaya sehari-hari lainnya,” ungkapnya dalam acara konferensi pers secara daring, Selasa (18/10/2022).
Koordinator Tim Peneliti STPI Ninik Annisa menjelaskan, TBC-RO bukan sekadar masalah penyakit, melainkan persoalan multidimensi. Pengidap TBC-RO terdampak secara sosial, ekonomi, hingga piskisnya. Itu sebabnya STPI merekomendasikan agar pengidap TBC-RO mendapat perlindungan sosial untuk memenuhi kebutuhan ekonomi serta peniadaan stigma negatif. Jaminan sosial yang lebih luas akan memiliki dampak yang besar, baik untuk membantu pasien selama pengobatan maupun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Petugas medis menunjukkan botol sampel dahak yang diperiksa dari pasien di Rutan Sialang Bungkuk, Kamis (28/3/2019). Sebagian dari 40 warga binaan rumah tahanan itu yang diperiksa dikhawatirkan menderita TBC.
Peneliti STPI Dena Sundari menuturkan, 81 persen pasien TBC-RO mengalami kondisi katastropik, kondisi di mana seseorang butuh perawatan kesehatan berkepanjangan dengan biaya yang tinggi. Padahal, hampir semua pengidap TBC-RO telah kehilangan pekerjaan dan kemampuan produktif mereka sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan biaya tersebut.
Selain itu, 77 persen pengidap TBC-RO adalah masyarakat miskin. Sebanyak 54 persen di antaranya dikategorikan sebagai masyarakat miskin dengan pendapatan kurang dari Rp 2 juta. Sedangkan, 23 persen lainnya dikategorikan sebagai masyarakat rentan miskin dengan pendapatan Rp 2 sampai Rp 3 juta. Penelitian STPI menemukan, hanya 23 persen responden pengidap TBC-RO menerima Program Keluarga Harapan (PKH).
Dena menjelaskan, untuk biaya pengobatan di rumah sakit, pengidap TBC-RO sudah menerima skema jaminan sosial, seperti PKH, bantuan sembako, bantuan dari pemerintah daerah, dan beberapa bantuan lainnya. Akan tetapi, bantuan-bantuan sosial tersebut tersebut tidak spesifik, bersifat parsial, dan insidental. Menurut dia, pengidap TBC-RO membutuhkan bantuan yang intensif dan berkala.
”Pengobatan TBC-RO memakan waktu sembilan hingga 20 bulan bahkan lebih. Konsumsi obatnya harus dilakukan setiap hari. Bayangkan, berapa banyak biaya obat yang harus dihabiskan dua tahun kedepan. Bantuan langsung tunai yang berisifat insidental dan tak berkala, tidak dapat membantu pengidap TBC-RO secara berkepanjangan,” ujarnya.
Terkadang saya stres memikirkan semua ongkos. Saya bertanya-tanya, sampai kapan saya harus terus berobat. Semua uang saya keluar hanya untuk berobat. Padahal, saya butuh membiayai anak-anak saya yang masih sekolah.
Selain itu, pengidap TBC-RO juga mengalami kendala sosial seperti stigma, baik oleh diri sendiri, keluarga, tempat kerja, masyarakat, maupun tenaga kesehatan. Dena mengatakan, pengidap TBC-RO merasa malu dan takut terisolasi apabila ada yang tahu mengenai penyakitnya. Tidak sedikit orang dengan TBC-RO yang berhenti sekolah, bekerja, atau mengisolasi diri dari lingkungannya.
Novita Enggeline, pengidap TBC-RO yang berasal dari Cilincing Jakarta, kini telah menjalani pengobatan lebih kurang tujuh bulan. Ia diminta dokter untuk berobat dan memeriksakan diri ke rumah sakit secara rutin selama 21 bulan. Dalam sehari ia mengonsumsi tujuh butir obat. Obat-obat tersebut gratis, sudah dicakup dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Meski begitu, Novita masih kesulitan memenuhi biaya lain, seperti ongkos transportasi pulang-pergi ke rumah sakit, biaya pen, serta biaya sehari-hari lainnya. Sebab, karena kondisi kesehatannya, ia sudah tidak lagi bekerja. Ia berharap ada perhatian dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
”Terkadang saya stres memikirkan semua ongkos. Saya bertanya-tanya, sampai kapan saya harus terus berobat. Semua uang saya keluar hanya untuk berobat. Padahal, saya butuh membiayai anak-anak saya yang masih sekolah,” ujar Novita.
Petugas kesehatan memeriksa hasil foto rontgen paru-paru dari narapidana saat pemeriksaan kesehatan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Bulu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (25/3/2022). TBC menjadi salah satu penyakit yang sering muncul dan menular di antara narapidana.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, terdapat lebih dari 824.000 orang dengan TBC di Indonesia pada tahun 2021. Sementara berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2022, sekitar 443.235 kasus atau 52,79 persen telah ternotifikasi kasus TBC. Dari jumlah yang ternotifikasi tersebut, sebanyak 8.268 atau sekitar 1,86 persen di antaranya terkonfirmasi mengalami tuberkulosis resisten obat (TBC-RO).
Seseorang mengidap TBC-RO terjadi karena tertular dari pengidap TBC-RO lain atau kegagalan pengobatan tuberkulosis sensitif obat (TBC-SO) sebelumnya. Meski biaya pengobatan di rumah sakit telah ditanggung pemerintah, para pengidap TBC masih harus menanggung biaya-biaya lain di luar rumah sakit.
Perlindungan sosial
Peneliti STPI Uga Pratama Gunawan mengatakan, hasil penelitian mereka mengusulkan lima program pemerintah yang dapat dimanfaatkan untuk membantu pengidap TBC-RO. Lima program itu ialah PKH, Program Indonesia Sehat atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, program sembako, program kewirausahaan sosial, dan rehabilitasi sosial rumah tidak layak huni.
Uga juga menyebutkan, pemerintah dapat menerapkan skema jaminan sosial melalui conditional cash transfer (CCT) atau bantuan tunai bersyarat. Selain itu, pemerintah dapat melakukan CCT Khusus dengan memanfaatkan data masyarakat miskin yang dimiliki Kementerian Sosial serta data masyarakat pengidap TBC-RO untuk menyasar penerima bantuan yang lebih tepat sasaran. Uga menyebutkan, beberapa penelitian luar negeri membuktikan skema bantuan CCT dapat meningkatkan tingkat kesembuhan pengidap TBC-RO.
Menanggapi penelitian STPI, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Andie Megantara mengatakan, pengidap TBC-RO perlu dibantu melalui program bantuan sosial karena mereka telah terbukti mengalami dampak katastropik.
”Berdasarkan kondisi tersebut, sudah selayaknya pasien TBC-RO dapat dimasukkan dalam P3KE (penyasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem). Mereka berhak mendapat program pengurangan beban pengeluaran, program pengurangan kantong kemiskinan, dan program peningkatan pendapatan,” ujarnya (Kompas.id, 20 September 2022).