Dukungan Finansial Belum Cegah Perampasan Wilayah Kelola Rakyat
Walhi mengungkap dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan perampasan wilayah kelola rakyat oleh perusahaan perkebunan yang mendapatkan sokongan finansial.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi mengungkap dugaan pelanggaran hak asasi manusia, perampasan wilayah kelola rakyat, kriminalisasi, dan kerusakan lingkungan yang dilakukan tiga perusahaan di daerah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Aktivitas perusahaan ini disokong dukungan finansial dari sejumlah investor dan kreditor.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi Uli Arta Siagian mengungkapkan, berdasarkan temuan Walhi Sulteng, salah satu anak perusahaan tersebut setidaknya telah mengkriminalisasi delapan warga yang berjuang mempertahankan tanahnya. Perusahaan tersebut juga memenjarakan kakak beradik Gusman dan Sudirman dengan tuduhan mencuri buah sawit.
”Gusman dan Sudirman dipenjara 2,6 tahun dengan tuduhan mencuri buah sawit di perusahaan tersebut yang sebenarnya tidak punya hak guna usaha (HGU). Jadi, selama 15 tahun perusahaan tersebut beraktivitas secara ilegal. Tidak ada tindakan tegas dari pemerintah bahkan rakyat jadi di kriminalisasi,” kata Uli di Jakarta, Selasa (18/10/2022).
Uli mengungkapkan, Gusman dan Sudirman saat ini sedang melakukan kasasi. Keduanya telah banding, tetapi hanya mengurangi enam bulan masa tahanan dari yang sebelumnya 2,6 tahun menjadi 2 tahun.
Bukan hanya kriminalisasi delapan warga, kata Uli, perusahaan itu diduga juga melakukan penanaman di luar HGU seluas 13.621 hektar. Selain itu, ia menuturkan, aktivitas perusahaan masuk ke dalam hutan lindung seluas 1.603 hektar serta hutan produksi terbatas seluas 401 hektar.
”Jadi aktivitas ini ketika masuk ke hutan, maka akan mengubah bentang hutan kita menjadi perkebunan monokultur,” ujar Uli.
Uli mengungkapkan, perusahaan tersebut melakukan deforestasi yang cukup luas dari aktivitas perkebunannya. HGU perusahaan tersebut mencaplok wilayah kelola rakyat dan ruang hidup rakyat di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. HGU perusahaan tersebut diterbitkan pemerintah di atas permukiman warga yang di dalamnya terdapat rumah-rumah warga, masjid, fasilitas umum, dan fasilitas sosial lainnya.
Selain kasus tersebut, terdapat kasus salah seorang warga di Desa Kabuyu, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Dedi berkonflik dengan satu dari tiga perusahaan yang membuatnya mendekam di tahanan selama proses peradilan berlangsung.
”Sudah dilepas, tetapi terbukti menjadi tersangka. Namun, proses penahanannya sama waktunya dengan putusan yang dikeluarkan hakim,” ucap Uli.
G20 berbicara bagaimana memitigasi iklim dan pembangunan hijau, tapi 90 persen kreditor berasal dari negara-negara G20.
Uli mengatakan, dalam konteks konflik agraria, perusahaan tersebut memiliki dua tipologi konflik. Pertama, perusahaan beroperasi di atas wilayah kelola rakyat yang lebih dahulu ada. Wilayah kelola rakyat terdiri dari wilayah transmigrasi, wilayah masyarakat lokal, dan wilayah komunitas masyarakat adat Kaili Tado.
Tipologi kedua, perusahaan tersebut beroperasi tanpa memegang HGU. Perusahaan hanya memegang izin lokasi. Jika klaim perusahaan benar bahwa mereka memiliki izin usaha perkebunan (IUP), mereka tidak boleh melakukan aktivitas perkebunan sawit di tanah yang mereka kuasai saat ini.
Ketiga perusahaan tersebut memiliki luas perkebunan 297.000 hektar. Perusahaan tersebut mendapat kredit bank yang berasal dari Amerika Serikat. Uli mengatakan, bank tersebut berinvestasi pada perusahaan induk masing-masing 42 juta dollar AS.
Peran negara G20
Direktur Eksekutif Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) Edi Sutrisno mengungkapkan, 10 kreditor teratas yang menyalurkan utang dan penjaminan kepada perusahaan dengan komoditas yang merisikokan hutan tahun 2016–2022. Kreditor terbesar berasal dari Brasil, Indonesia, dan China. Sementara investor terbesar berasal dari Amerika Serikat, Malaysia, dan Brasil.
Selain itu menurut Edi, investor dari negara G20 yang menyediakan obligasi dan menjadi pemegang saham perusahaan dengan komoditas yang merisikokan hutan pada tahun 2022 sebanyak 54 persen investor berasal dari negara-negara G20 dan 46 persen non-negara G20. Untuk wilayah Asia Tenggara, Edi mengungkapkan, sebanyak 71 persen kreditor berasal dari negara-negara G20 dan 40 persen investor berasal dari negara-negara G20.
”G20 berbicara bagaimana memitigasi iklim dan pembangunan hijau, tapi 90 persen kreditor berasal dari negara-negara G20. Di saat kita sibuk membicarakan keberlanjutan, ternyata pembiayaannya mengarah ke perusahaan-perusahaan yang deforestasi dan berdampak pada lingkungan,” ujarnya.
Edi mengatakan, bagi regulator jasa keuangan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hubungan informasi untuk indikator Lingkungan, Sosial, Tata Kelola (LST) merupakan bagian dari transparansi publik, termasuk di dalamnya mekanisme komplain. Penting adanya informasi yang menghubungkan kementerian atau lembaga terkait dengan lembaga regulator keuangan. Selain itu, penting juga membangun mekanisme penyelesaian konflik terpadu yang melibatkan kelompok masyarakat sipil dan harus terdapat konsekuensi mandatoris terhadap izin usaha dan izin konsesi terkait pemenuhan indikator LST.
”OJK punya keterbatasan, termasuk informasi. Jadi, perlu forum-forum koordinasi. Sampai saat ini kami masih belum melihat bentuk wujud nyatanya. Taksonomi hijau yang dirilis di awal tahun juga belum melihat lanjutannya. Pemerintah juga belum merilis perusahaan-perusahan merah, kuning, hijau. ATR juga perlu memublikasikan mana saja perusahaan yang punya HGU. Kementerian pertanian merilis Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan CPO sehingga OJK mempunyai informasi,” ujarnya.