Syarat Bebas Deforestasi Akan Berdampak terhadap Masyarakat Lokal
Indonesia menjadi negara produsen yang akan terimbas aturan uji tuntas tentang produk bebas deforestasi dari Uni Eropa. Implementasi aturan ini dinilai akan berdampak terhadap masyarakat lokal dan petani swadaya.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Pekerja menaikkan tandan buah segar sawit ke truk di perkebunan kelapa sawit milik PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk di Tanah Raja Estate, Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara,
JAKARTA, KOMPAS — Aturan uji tuntas tentang produk bebas deforestasi dari Uni Eropa sebagai salah satu upaya melindungi dan memulihkan hutan dunia akan berimbas ke sejumlah negara produsen, termasuk Indonesia. Implementasi aturan ini pun dinilai akan berdampak terhadap masyarakat adat, komunitas lokal, dan petani mandiri karena mereka harus turut memenuhi persyaratan uji tuntas.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi media terkait perkembangan regulasi Uni Eropa tentang komoditas bebas deforestasi yang diselenggarakan Kaoem Telapak di Jakarta, Selasa (18/10/2022). Diskusi ini diselenggarakan untuk menanggapi proposal yang dikenal sebagai EU Due Diligence Regulation (EUDDR) atau Peraturan Uji Tuntas Uni Eropa.
Presiden Kaoem Telapak Mardi Minangsari menjelaskan, peraturan EUDDR ini akan mewajibkan seluruh pemerintah dan produsen di Uni Eropa melakukan pemeriksaan atau melakukan uji tuntas. Hal itu untuk memastikan komoditas dan produk yang beredar di Uni Eropa tersebut legal dan tidak terasosiasi atau berasal dari kegiatan deforestasi.
Bagi petani-petani swadaya di negara produsen, harus ada pengamanan dan insentif pasar secara langsung dalam bentuk dukungan pendanaan, akses pasar, harga, dan transfer teknologi. I ni diperlukan untuk membantu mereka memenuhi standar uji tuntas.
”Dalam aturan ini juga akan menerapkan penilaian risiko bagi negara-negara, salah satunya tentang adanya perangkat regulasi terkait produk berkelanjutan. Komunitas atau negara dengan penilaian risiko tinggi nantinya akan lebih sering mendapatkan inspeksi dan aturan ini juga mewajibkan ketelusuran,” ujarnya.
Didorong oleh desakan publik, Komisi Eropa pada Juli 2019 mengeluarkan komunike tentang upaya melindungi dan memulihkan hutan dunia. Komunike ini berisi lima langkah prioritas, salah satunya dengan membuat peraturan yang bisa mengurangi deforestasi, yakni EUDDR.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Diskusi media terkait perkembangan regulasi Uni Eropa tentang komoditas bebas deforestasi yang diselenggarakan Kaoem Telapak di Jakarta, Selasa (18/10/2022).
Dalam memenuhi peraturan uji tuntas, para importir di Eropa diharuskan mengumpulkan dan memeriksa berbagai informasi terkait produk yang akan mereka beli. Jika ditemukan risiko tinggi pelanggaran, produk yang belum tiba di Uni Eropa bisa ditolak. Sementara produk yang sudah telanjur diimpor dan diedarkan bisa ditarik kembali.
Kaoem Telapak mencatat, setidaknya terdapat empat komoditas yang diproduksi Indonesia dan akan terkena konsekuensi atau terdampak regulasi ini, yaitu kelapa sawit, kopi, kakao, dan kayu. Tantangan paling besar akan dihadapi produk sawit. Hal ini mengingat Indonesia merupakan salah satu produsen sawit terbesar di dunia, termasuk untuk Uni Eropa. Di sisi lain, industri sawit di dalam negeri masih menghadapi permasalahan tata kelola.
Kaoem Telapak juga mencatat bahwa pemberlakuan aturan ini nantinya juga akan berdampak terhadap masyarakat adat, komunitas lokal, dan petani mandiri. Pada akhirnya, mereka harus memenuhi persyaratan uji tuntas tesebut. Tidak terpenuhinya persyaratan akan membuat hasil panen mereka sulit diterima atau bahkan ditolak pabrik pengolahan yang akan mengekspor produknya ke pasar Uni Eropa.
Bagi masyarakat adat dan lokal yang kerap mengalami konflik agraria, aturan ini memang bisa mendorong perbaikan praktik perusahaan perkebunan. Namun, Indonesia belum memiliki undang-undang yang melindungi hak-hak masyarakat adat sehingga hal ini bisa dijadikan celah bagi perusahaan sawit untuk tetap melakukan pelanggaran.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Data pemantauan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Mangkubumi dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) sebagaimana ditampilkan dalam konferensi pers, pertengahan September 2021.
Minang menekankan bahwa Pemerintah Indonesia perlu mengambil perhatian lebih terhadap aturan EUDDR ini. Selama ini, Indonesia memang memiliki sejumlah ketentuan tersendiri terkait dengan tata kelola sawit dan produk kehutanan yang berkelanjutan. Beberapa di antaranya adalah sistem sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan (ISPO) dan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).
Akan tetapi, menurut Minang, aturan-aturan ini juga masih perlu penguatan pada aspek implementasi dan konsistensi di lapangan. Hal ini sangat penting guna memastikan bahwa berbagai produk dan komoditas Indonesia yang dikirim ke luar negeri benar-benar telah menerapkan aspek keberlanjutan, tanpa deforestasi, dan mengedepankan hak-hak masyarakat lokal atau adat maupun petani swadaya.
Bergantung pemerintah
Peneliti Ecosoc Indonesia, Sri Palupi, menegaskan, kelompok masyarakat sipil turut mendukung aturan uji tuntas EUDDR. Sebab, usulan regulasi tersebut dapat mendorong perubahan positif di negara produsen dalam menghentikan deforestasi dan menghasilkan komoditas yang legal serta berkelanjutan.
”Aturan ini berdampak atau tidak itu bergantung pada pemerintah kita. Jadi, seberapa serius pemerintah menjalankan komitmennya untuk pembenahan tata kelola hutan, industri sawit, perlindungan terhadap masyarakat, serta kepentingan nasional,” ucapnya.
RIZA FATHONI
Pekerja memanen kelapa sawit di areal perkebunan PT Sawit Sumbermas Saran Tbk (SSMS) di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Kamis (29/4/2021).
Meski demikian, Palupi menyebut bahwa masih terdapat catatan terhadap aturan EUDDR ini. Ia memandang bahwa regulasi tersebut abai atas konsekuensi langsung yang ditimbulkan terhadap petani swadaya dalam bentuk pengucilan mereka dari mata rantai pasok sehingga menimbulkan dampak ekonomi terhadap mata pencarian mereka.
”Bagi petani-petani swadaya di negara produsen, harus ada pengamanan dan insentif pasar secara langsung dalam bentuk dukungan pendanaan, akses pasar, harga, dan transfer teknologi. Ini diperlukan untuk membantu mereka memenuhi standar uji tuntas,” katanya.
Selain itu, Palupi juga memberikan catatannya terkait aturan ini terhadap komoditas kayu di Indonesia. Menurut Palupi, ke depan harus ada peta jalan bersama yang strategis untuk memastikan masa depan lisensi Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) untuk mencapai tata kelola produksi kayu yang legal sekaligus lestari. Sampai saat ini, Indonesia tercatat masih aktif dalam kesepakatan FLEGT-VPA (voluntary partnership agreement) dengan Uni Eropa.