Songsong Generasi Indonesia Emas dengan Beragam Kecerdasan
Peningkatan sumber daya manusia Indonesia unggul tahun 2045 menghadapi banyak tantangan. Modal sumber daya manusia dari kecerdasan, karakter, hingga nasionalisme perlu disiapkan untuk mendapatkan panen bonus demografi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
KOMPAS/ELSA EMIRIA LEBA
Suasana pembacaan Visi 2045 di Jakarta, Rabu (15/8/2018) dalam Conference of Indonesian Diaspora Youth 2018 (CIDY-2018). Acara bertema “Proyek Visi 2045: Satu Abad Republik Indonesia”
Indonesia sedang berupaya keras menyiapkan sumber daya manusia unggul atau "generasi emas" pada peringatan 100 tahun kemerdekaan Indonesia tahun 2045 mendatang. Ini tantangan yang tidak mudah di tengah capaian pendidikan dan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang masih jauh tertinggal dari negara-negara maju, bahkan dari negara-negara tetangga.
Dari hasil perankingan Intelligence Quotion alias rata-rata IQ tiap negara di dunia tahun 2022, rerata IQ masyarakat Indonesia berada pada skor 78,49. Pertanyaan pun muncul, akankah Indonesia menuai bonus demografi atau justru bencana demografi di masa depan?
Dalam penjelasan di www.worldpopulationreview.com yang merilis rata-rata IQ berdasarkan negara (Average IQ by Country) yang dilakukan Richard Lynn, profesor psikologi Inggris, disadari bahwa studi Lynn, meskipun komprehensif, cenderung memicu perdebatan yang cukup besar. Beberapa peneliti memperdebatkan teknik yang digunakan Lynn untuk menghitung perkiraan ketika data kurang. Yang lain mengklaim Lynn salah menafsirkan datanya untuk mendukung kesimpulan yang secara ilmiah tidak akurat dan mendukung supremasi kulit putih.
Skor IQ Indonesia tahun 2022 sebesar 78,49 menempatkan Indonesia di urutan 130 dari 199 negara, masuk kategori borderline atau batas fungsi intelektual (70-79). Adapun di urutan satu yakni Jepang dengan skor 106,48 atau rata-rata (90-109).
Dari kajian Lynn tahun 2002-2006 seperti disampaikan brainstat.com, Indonesia berada di urutan 20 dari 80 negara. Skor IQ rata-rata Indonesia 87 atau rata-rata rendah (80-89), sedangkan di urutan satu Hongkong dengan skor 108.
Meskipun ada pemeringkatan negara berdasarkan IQ, diingatkan pula bahwa IQ bukanlah satu-satunya cara untuk mengukur kecerdasan. Sebenarnya ada banyak cara lain untuk mencari negara terpintar di dunia, dan banyak di antaranya tidak ada hubungannya dengan IQ rata-rata.
Berbagai pemeringkatan untuk mengukur kecerdasan yang muncul di dunia, antara lain dengan membandingkan nilai ujian akademik setiap negara (Programme for International Student Assesment/PISA), Intelligence Capital Index, atau jumlah hadiah Nobel yang telah dimenangkan setiap negara. Bahkan, bisa pula dengan menggabungkan ketiga statistik tersebut.
Di webinar Ngobrol Pintar Seputar Edukasi bertajuk "Membangun SDM Unggul dengan Rerata IQ 78,49" yang digelar Vox Populi Institute Indonesia, Minggu (16/10/2022), Psikolog Pendidikan Karina Adistiana menyebut IQ sebagai kemampuan berpikir yang berguna untuk kehidupan sehari-hari.
Pengukuruan IQ berbagai negara sudah lama dilakukan. Skor rata-rata Indonesia dinilainya tidak mengejutkan karena Indonesia sudah terbiasa dengan hasil pengukuran PISA yang juga menunjukkan capaian rendah.
“Pengukuran ini untuk kepentingan penelitian, terutama dengan alat ukur dan pengembangan pengetahuan tentang kemampuan berpikir, misalnya tentang hal-hal apa saja yang memengaruhi kemampuan berpikir. Sayang, kalau hasil ini dilihat dari angka semata. Justru banyak pengetahuan yang didapat ketika melihat perbandingan,” ujar Karina.
Karina menambahkan, IQ tidak berhubungan dengan tingkat atau lamanya sekolah, tapi bagaimana pengetahuan yang diperoleh seseorang dimanfaatkan untuk mengambil keputusan dan menggunakan pengetahuan guna mempelajari hal baru. Dari hasil pemeringkatan, terlihat IQ berhubungan dengan dua hal yang cukup terbukti meski tetap ada penyimpangan, yakni tingkat ekonomi (banyak negara yang ekonomi maju berada di peringkat atas), lalu pengeluaran untuk pendidikan (seberapa besar alokasi untuk pendidikan oleh negara atau keluarga).
“Justru dari hasil ini kita harus menyoroti peran negara yang kurang besar perhatiannya pada pendidikan. Diklaim alokasi dana pendidikan minimal 20 persen, apakah memang optimal untuk pendidikan atau tidak, karena nyatanya untuk mendukung skor IQ dan PISA masih rendah,” kata Karina.
Kini, negara maju pun berlomba membangun genome institute, salah satunya untuk mengedit gen, guna membangun SDM negara seunggul mungkin.
Meskipun IQ penting untuk kemampuan berpikir, tapi menurut Karina bukan hanya itu. Dalam penerimaan karyawan misalnya, selain mempertimbangkan kemampuan kognitif (IQ), juga sikap kerja, dan kepribadian.
Kini juga penting portofolio pengalaman kerja dan berorganisasi. Sayangnya, pengembangan sikap kerja dan kepribadian seringkali terabaikan di sekolah/perkuliahan dibanding aspek kognitif. Padahal, kognitif dan softskills lainnya sama-sama penting dikembangkan.
Terkait hasil tes IQ, kata Karina, bisa berubah tapi relatif di kategori sama. Misalnya, skor di kategori rata-rata, dan umumnya tidak mungkin bergeser di bawah rata-rata atau di atas rata-rata, kecuali pembandingnya berubah.
Tidak disiapkan
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Budi Wikeko menganggap IQ sebagai potensi kecerdasan seseorang. Karena sebagai potensi, maka yang skor tinggi kemungkinan besar akan menjadi baik dan berkualitas dalam hidupnya. Meski demikian, hal ini juga dipengaruhi lingkungan.
Jika potensi kecerdasan bagus dan lingkungan bagus, maka hasilnya bagus. Sedangkan, kalau kecerdasan biasa-biasa saja, tapi berada di lingkungan tidak baik, maka hasilnya tidak bisa menjadi super. Sebaliknya, apabila kecerdasan biasa-biasa saja, namun lingkungannya luar biasa, maka hasilnya bisa luar biasa.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pelajar SMAN 73 membawa buku sekolah di Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (13/7/2022). Kurikulum Merdeka secara bertahap disiapkan jadi kurikulum nasional di tahun 2024. Dari evaluasi implementasi di sekolah penggerak, Kurikulum Merdeka dapat dilaksanakan untuk beragam kondisi sekolah yang siap berubah.
Menurut Budi, potensi kecerdasan seseorang dapat disiapkan sebelum kelahiran.“Sebab, seorang ibu kalau mengandung, bukan hanya mengandung calon anaknya, tapi juga calon cucu dan cicitnya nanti. Konsep ini yang mesti ditanamkan betul kepada calon orangtua, perempuan dan laki-laki,” papar Budi.
Sayangnya, situasi di Indonesia untuk menghasilkan anak dengan potensi kecerdasan baik belum mendukung. Sekitar 48 persen ibu hamil punya Hemoglobin (Hb) di bawah 11, artinya anemia. Padahal, Hb membawa makanan sehingga makanan yang sampai ke bayi tidak sempurna.
Nutrisi ibu hamil seharusnya 30 persen protein dan karbohidrat 20-30 persen. Namun, dari data tahun 2019-2022, kenyataannya ibu hamil di Indonesia sumber energi terbesarnya dari karbohidrat 50—60 persen, sedangkan protein hanya 10 persen. Ditambah lagi, sebanyak 11,8 persen pernikahan atau ibu hamil di bawah usia 18 tahun sehingga memengaruhi kesiapan psikologis dan sosial orangtua anak.
“Akibatnya, potensi kecerdasan yang terbentuk pada tiga bulan pertama saat gyrus otak terbentuk, tidak optimal. Saat itu, janin butuh multiple mikronutrien yang baik agar volume otak semakin besar,” kata Budi.
Menurut Budi, negara yang menyadari pentingnya SDM sudah melakukan persiapan untuk warganya jauh sebelum kehamilan. Kini, negara maju pun berlomba membangun genome institute, salah satunya untuk mengedit gen, guna membangun SDM negara seunggul mungkin.
Tentu, termasuk juga meningkatkan persiapan jauh sebelum kehamilan, dengan nutrisi dan pertolongan persalinan yang baik. Ketika anak lahir, potensi kecerdasan tinggi dikembangkan dengan IQ, EQ, SQ dan lingkungan keluarga serta sekolah yang baik, seperti kurikulum sekolah yang berkualitas.
Budi mengatakan, penting pula memperkuat pendidikan kesehatan reproduksi. Sayangnya, muatan ini di sekolah minim, karena masih dianggap tabu atau tidak sesuai budaya.
Padahal, anak laki-laki dan perempuan sama pentingnya untuk mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi, tinggal menyesuaikan pengemasan dan model pendidikan yang sesuai dengan konteks Indonesia.
Beragam kecerdasan
Secara terpisah Djohan Yoga, Instruktur Certified Trainer of Multiple Intelligence (MI) dalam pelatihan Praktisi MI untuk para pendidik mengatakan, kecerdasan penting untuk menyelesaikan masalah mulai dari hambatan, tantangan, maupun kesulitan. Dalam perkembangannya kecerdasan bukna hanya tentang IQ.
Mengacu pada pandangan Howard Garner, ada beragam kecerdasan atau MI. Adapun IQ dikaitkan dengan kecerdasan verbal dan logika.
Ada juga kecerdasan interpersonal dan intrapersonal, lalu kecerdasan fisikal, musical, spasial, dan natural. Beragam kecerdasan ini memampukan manusia untuk memecahkan masalah atau membuat produk bernilai bagi masyarakat.
Potensi kecerdasan ini tidak akan berkembang atau berguna jika tidak diasah untuk memecahkan masalah atau menghasilkan karya/produk. Karena itu, guru harus menggunakan cara mengajar dan pengujian yang berbeda atau memuat diferensiasi agar anak-anak terasah beragam kecerdasannya,” jelas Djohan.
Djohan menambahkan, potensi kecerdasan juga membutuhkan growth mindset atau pola pikir bertumbuh. Dengan demikian, dia akan memiliki ketangguhan untuk menghadapi tantangan saat menghadapi situasi kecerdasan dirinya terbatas, sehingga mampu menggunakan kekuatannya yang terbatas atau tetap semangat mempelajari kecerdasan lain yang dibutuhkan guna menghadapi tantangan.