Masih banyak kelompok rentan yang tidak terdata pemerintah. Akibatnya, mereka kesulitan mengakses layanan publik, termasuk layanan kesehatan.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelompok rentan di Indonesia belum mendapatkan layanan kesehatan secara optimal karena banyak yang belum terdata pemerintah. Sementara data kelompok rentan masih terfragmentasi di sejumlah kementerian dan interoperabilitas data tidak terjadi.
Primary Health Care Program Manager Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Agatha Tyas menyebutkan, kerentanan masih dipahami secara parsial. Data kelompok rentan juga masih dikelola oleh institusi yang berbeda. Misalnya, data kelompok rentan di bidang kesehatan seperti orang dengan HIV dan komorbiditas tertentu ada di dinas kesehatan dan puskesmas. Adapun data kelompok rentan dalam aspek sosial seperti gelandangan, tunawisma, dan pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial (PPKS) ada di dinas sosial.
”Perbedaan penyedia data ini membuat platform, sistem informasi, dan prosedur dalam mengaksesnya juga berbeda. Kelompok rentan perlu didata untuk mendapat layanan. Selama pemerintah tidak punya perspektif yang holistik mengenai kerentanan, maka layanan yang diberikan pada kelompok rentan ini akan terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali,” sebut Agatha. Acara Transform Health Indonesia, Digital Health Week dan CISDI bertajuk "Mewujudkan Keterwakilan Data Kelompok Rentan yang Berkeadilan Lewat Tata Kelola Data Kesehatan” dilaksanakan secara daring pada Jumat (14/10/2022).
Selain itu, data yang dimiliki pemerintah juga tidak bisa diandalkan baik secara kategori maupun jumlah. Direktur Perkumpulan Harapan Fian Yogyakarta Ahmad Syaifuddin mengatakan, ada definisi rancu yang digunakan Dinas Sosial DIY dalam mengategorikan kelompok rentan seperti pengemis dan gelandangan serta anak jalanan dan anak telantar. Ia mencontohkan, menurut data yang sama, angka kemiskinan di DIY menurun. ”Padahal, jika dilihat secara kasatmata semakin banyak orang yang bekerja di jalan menjadi badut, manusia silver, dan pengemis selama pandemi,” ujarnya.
Tidak hanya itu, banyak kelompok rentan seperti anak jalanan yang tidak memiliki data administrasi kependudukan (adminduk). Ketika mereka ingin mendapatkan vaksin Covid-19, Fian harus melakukan audiensi dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) sehingga akhirnya vaksinasi massal untuk kelompok rentan digelar.
”Kami juga menghimpun data kelompok tanpa apinduk kemudian melakukan audiensi dengan Dukcapil. Ketika kami mengaudiensikan hal itu dengan membawa data jumlah orang yang tidak memiliki apinduk, Dukcapil membuatkan alternatif agar kelompok ini juga mendapat layanan yang setara,” sebut Ahmad.
Selama pemerintah tidak punya perspektif yang holistik mengenai kerentanan, maka layanan yang diberikan pada kelompok rentan ini akan terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali.
Tidak hanya membantu mengakses layanan, komunitas juga memfasilitasi kelompok rentan untuk terdata. Planning, Monitoring, dan Evaluation Officer Jaringan Indonesia Positif, Wijil Anindyajati, mengemukakan, pihaknya kesulitan selama mendata kelompok rentan seperti orang dengan HIV dan transjender. Banyak transjender yang tidak memiliki dokumen kependudukan karena mereka merasa trauma, takut terekspos, tidak merasa aman, dan takut mengalami kekerasan.
”Kelompok rentan ini tidak memahami hak-hak mereka, termasuk akses terhadap layanan publik yang penting. Mereka bahkan sudah merasa biasa dengan diskriminasi, mendapat stigma negatif, hingga dilanggar haknya sehingga diperlukan sosialisasi dan diskusi untuk meningkatkan kembali sensitivitas atas hak dan layanan yang harus didapat,” tuturnya.
infografik Tren Indeks Cakupan Layanan Kesehatan Negara-negara Asia Tenggara 2000-2019
Chief Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Dandi Syahril Handoko mengakui bahwa saat ini permasalahan data kesehatan di Indonesia adalah tidak terintegrasi satu dengan yang lainnya. Akibatnya, masyarakat harus mendaftar dan memasukkan data kesehatannya lagi dari awal setiap kali mengakses fasilitas kesehatan berbeda.
”Karena itu, Kemenkes mengembangkan Satu Data Kesehatan untuk mengintegrasikan data kesehatan penduduk termasuk rekam medis. Salah satu contohnya saat pandemi, yaitu penerapan Peduli Lindungi yang sudah terintegrasi dengan berbagai platform seperti Kereta Api Indonesia (KAI) dan Angkasa Pura,” tutur Dandi.
Data Satu Data Kesehatan ini akan dipakai sebagai dasar pembuatan kebijakan berbasis data. Selain itu, tersedia juga dasbor yang bisa diakses masyarakat untuk melihat data fasilitas kesehatan, memonitor ketersediaan vaksin, hingga ketersediaan tempat tidur di rumah sakit.