Kekerasan Digital terhadap Media dan Wartawan Mengganggu Hak Publik
Dewan Pers membentuk Satgas Kekerasan Digital terhadap Media dan Wartawan. Serangan digital mengganggu kerja-kerja jurnalistik dalam memenuhi hak publik untuk tahu.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Serangan digital terhadap media dan jurnalis berupa peretasan pada beragam platform masih terus terjadi. Kasus ini mesti diungkap karena mengganggu kerja-kerja jurnalistik dalam memenuhi hak publik untuk tahu yang merupakan hak konstitusional warga negara.
Serangan digital berupa peretasan aset-aset digital tersebut mendorong Dewan Pers untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Kekerasan Digital terhadap Media dan Wartawan. Serangan ini salah satunya menimpa 37 kru dan eks-redaksi serta website Narasi.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan, satuan tugas mempunyai tiga tugas, yakni mengawal proses hukum terhadap laporan kasus kekerasan digital kepada media dan wartawan, mendukung upaya pemulihan korban, dan mencegah kasus kekerasan digital terjadi lagi. Masa tugas satgas selama enam bulan dan bisa diperpanjang jika dibutuhkan.
Menurut Arif, serangan digital mencoba menakut-nakuti wartawan dalam menjalankan kerja jurnalistik. Oleh sebab itu, kasus ini perlu segera diungkap karena bisa membuat wartawan tidak percaya diri dan tertekan sehingga menunda kerja-kerja jurnalistiknya.
”Padahal, tugas jurnalis itu memenuhi hak publik untuk tahu. Ini mandat konstitusi. Hak untuk tahu ini juga salah satu HAM (hak asasi manusia),” ujarnya di Jakarta, Jumat (14/10/2022) sore.
Satgas akan beraudiensi dengan korban serangan digital, baik wartawan maupun media. Selain itu, juga dengan Polri; Kementerian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Komunikasi dan Informatika; Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN); Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK); perusahaan operator seluler; serta narasumber ahli, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Safenet.
”Kami ingin memastikan pemangku kepentingan yang terkait dengan penegakan hukum bisa bekerja secara profesional dan tepat. Sebab, jika bisa diungkap, orang-orang yang punya niat (melakukan serangan digital) akan mengurungkan niatnya,” ujarnya.
Salah satu korban kekerasan digital mengalami trauma. Oleh karenanya, tugas satgas juga mendukung upaya pemulihan korban.
Arif menambahkan, pemerintah mempunyai peran signifikan dalam mengungkap kasus tersebut dan mendorong terwujudnya kebebasan pers. Menurut dia, kebebasan pers akan menguntungkan semua pihak, termasuk pemerintah dan kepolisian. Akan tetapi, kebebasan itu tidak boleh disalahgunakan. Dalam bertugas, wartawan harus tetap berpegang pada kode etik jurnalistik.
”Satgas akan mengawal dan memastikan bahwa proses hukum kasus kekerasan digital benar-benar berjalan,” ucapnya. Dalam satgas itu, Pelaksana Tugas Ketua Dewan Pers ditetapkan sebagai ex officio. Sementara Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers sebagai ketua harian.
Adapun anggota satuan tugas terdiri dari perwakilan konstituen Dewan Pers, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Serikat Perusahaan Pers (SPS), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Asosiasi TV Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi TV Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), dan Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI).
Beragam platform
Kekerasan digital berupa peretasan dan percobaan peretasan terjadi pada awak media Narasi mencakup beragam platform, seperti akun Facebook, Instagram, Telegram, dan Whatsapp. Awak redaksi yang menjadi target peretasan mulai dari pemimpin redaksi, manajer, staf bagian keuangan, produser, reporter, hingga mantan anggota redaksi.
Peretasan pertama kali terjadi pada nomor Whatsapp milik Akbar Wijaya atau Jay Akbar, salah seorang produser Narasi yang menerima sejumlah tautan tak dikenal. Meski ia tidak mengklik satu pun tautan dalam pesan singkat tersebut, sepuluh detik kemudian dia telah kehilangan kendali atas akun atau nomor Whatsapp pribadinya.
Sejak saat itu, satu per satu akun-akun media sosial awak redaksi Narasi menjadi sasaran percobaan peretasan. Serangan ini merupakan kasus peretasan terbesar yang dialami awak media di Indonesia setidaknya dalam empat tahun terakhir. Sebelumnya kekerasan digital juga dialami oleh media Tempo dan Tirto.
Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Ninik Rahayumenambahkan, salah satu korban kekerasan digital mengalami trauma. Oleh karena itu, tugas satgas juga mendukung upaya pemulihan korban.
Sebelumnya, AJI Indonesia, LBH Pers, dan Safenet menyerahkan petisi daring yang ditandatangani oleh sekitar 16.000 warga ke Kantor Staf Presiden (KSP), Senin (10/10/2022). Penyerahan petisi itu untuk mendesak keseriusan pemerintah dan aparat penegak hukum mengusut serangan digital terhadap website serta kru dan eks-redaksi Narasi.
”Kami meminta KSP mengawal kasus yang sudah dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal Polri, termasuk serangan digital yang pernah menimpa Tempo dan Tirto,” ujar Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim.