Jutaan Ton Sampah Elektronik "Menggunung", Daur Ulang Kian Mendesak
Lebih dari 50 juta ton limbah elektronik dibuang pada 2019, dengan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah. Kebutuhan daur ulang sampah elektronik semakin urgen.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Toto Sihono membuat kerajinan tangan berbahan limbah elektronik di rumahnya di Bhakti Jaya, Tangerang Selatan, Banten, Senin (31/8/2020). Kerajinan seperti lampu meja, boneka robot, ataupun asbak dijual dengan harga mulai dari Rp 250.000 hingga Rp 350.000. Kerajinan yang memanfaatkan limbah elektronik bernilai ekonomi merupakan bentuk kepedulian Toto dalam menjaga lingkungan.
JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari lima miliar dari 16 miliar telepon seluler yang dipakai di seluruh dunia diperkirakan akan dibuang atau disimpan pada tahun 2022. Temuan ini menyoroti pentingnya lebih banyak mendaur ulang karena banyaknya bahan-bahan berbahaya yang dikandung dalam ponsel.
Laporan ini dikeluarkan Forum WEEE (Waste from Electrical and Electronic Equipment), asosiasi nirlaba yang mewakili 46 organisasi produsen. Menurut laporan ini, jika ditumpuk rata di atas satu sama lain, sampah telepon seluler bekas ini akan mencapai ketinggian 50.000 kilometer, seratus kali lebih tinggi daripada Stasiun Luar Angkasa Internasional.
Meskipun mengandung emas, tembaga, perak, paladium, dan komponen daur ulang lain yang berharga, biasanya hampir semua perangkat yang tidak diinginkan ini akan ditimbun, dibuang, atau dibakar. Ini menyebabkan kerusakan kesehatan dan lingkungan yang signifikan.
”Smartphone adalah salah satu produk elektronik yang menjadi perhatian utama kami,” kata Pascal Leroy, Direktur Jenderal Forum WEEE, seperti ditulis AFP, Kamis (13/10/2022).
Menurut Leroy, jika tidak mendaur ulang bahan langka yang dikandungnya, kita harus terus menambangnya di negara-negara seperti China atau Kongo.
Murid menunjukkan telepon genggam yang akan diserahkan sebagai sampah elektronik saat mengikuti kegiatan pertemuan tatap muka terbatas di SD Santa Theresia Marsudirini 77, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Rabu (22/9/2021). Kegiatan tersebut menjadi sarana edukasi bagi murid agar semakin peduli terhadap lingkungan dengan mengurangi potensi pencemaran dari sampah elektronik.
Limbah elektronik
Limbah ponsel hanya sebagian kecil dari jutaan ton limbah elektronik global yang dihasilkan setiap tahun. Menurut laporan PBB, lebih dari 50 juta ton limbah elektronik dibuang pada 2019, dengan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah dan di tumpukan sampah.
Dengan hanya 17 persen produk yang didaur ulang, PBB memperkirakan bahwa bahan-bahan senilai lebih dari 55 miliar dollar AS terbuang sia-sia setiap tahun.
Federico Magalini dari perusahaan konsultan Sofies, yang menulis laporan CEWASTE pada Mei 2021, mengatakan bahwa bahan-bahan ini sering kali hadir dalam jumlah yang sangat kecil di setiap item yang diabaikan.
Laporan tersebut memperkirakan bahwa pada tahun 2025, lampu neon yang dibuang di Eropa akan mengandung 92 ton bahan baku penting. Papan sirkuit yang tercetak di limbah elektronik di kawasan itu dapat mengandung sebanyak 41 ton perak dan 10 ton emas pada tahun 2025.
Limbah ponsel hanya sebagian kecil dari jutaan ton limbah elektronik global yang dihasilkan setiap tahun.
Survei di enam negara Eropa dari Juni hingga September 2022 menyebutkan, 5 miliar ponsel yang ditarik dari peredaran akan ditimbun daripada dibuang ke tempat sampah. Ini terjadi ketika rumah tangga dan bisnis melupakan ponsel di laci, lemari, atau garasi daripada membawanya untuk diperbaiki atau didaur ulang. Hingga 5 kilogram perangkat elektronik per orang saat ini ditimbun di rata-rata keluarga Eropa, menurut laporan tersebut.
Menurut temuan baru, 46 persen dari 8.775 rumah tangga yang disurvei menganggap potensi penggunaan di masa depan sebagai alasan utama untuk menimbun peralatan listrik dan elektronik kecil. Sebanyak 15 persen lainnya menimbun gawai mereka dengan tujuan untuk menjual atau memberikannya, sementara 13 persen menyimpannya karena ”nilai sentimental”.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Bangkai televisi teronggok di bawah pohon bambu sebagai limbah elektronik dari sebuah tempat reparasi televisi di kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (24/6/2022). Menurut hasil studi Aulia Qisthi, kandidat doktor University of Technology Melbourne, yang terbit di Journal of Cleaner Production, potensi ekonomi daur ulang sampah elektronik di Indonesia mencapai 1,8 miliar dollar AS. Pengelolaan ini juga mereduksi 1.400 ton emisi karbon.
Tantangan sosial
”Orang cenderung tidak menyadari bahwa semua barang yang tampaknya tidak penting ini memiliki banyak nilai, dan bersama-sama di tingkat global mewakili volume yang sangat besar,” kata Pascal Leroy.
”Tapi, e-waste tidak akan pernah dikumpulkan secara sukarela karena biayanya yang mahal. Itu sebabnya, undang-undang sangat penting,” tambahnya.
Bulan ini, parlemen Uni Eropa mengesahkan undang-undang baru yang mengharuskan USB-C menjadi standar pengisi daya tunggal untuk semua ponsel cerdas, tablet, dan kamera baru mulai akhir 2024.
Langkah ini diharapkan menghasilkan penghematan tahunan setidaknya 195 juta dollar AS dan memotong lebih dari 1.000 metrik ton limbah elektronik Uni Eropa setiap tahun.
Menurut Kees Balde, spesialis ilmiah senior di Institut Pelatihan dan Penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNITAR), undang-undang di Eropa telah mendorong tingkat pengumpulan limbah elektronik yang lebih tinggi di wilayah tersebut dibandingkan dengan bagian lain dunia.
”Di tingkat Eropa, 50-55 persen limbah elektronik dikumpulkan atau didaur ulang,” kata Balde kepada AFP. Di negara-negara berpenghasilan rendah, Balde memperkirakan ada penurunan hingga di bawah 5 persen dan terkadang bahkan sampai di bawah 1 persen.
Pada saat yang sama, ribuan ton limbah elektronik dikirim dari negara-negara kaya—termasuk anggota Uni Eropa—ke negara-negara berkembang setiap tahun, menambah beban daur ulang mereka.
Di pihak penerima, sarana keuangan sering kali kurang untuk menangani limbah elektronik dengan aman: zat berbahaya seperti merkuri dan plastik dapat mencemari tanah, mencemari air, dan memasuki rantai makanan, seperti yang terjadi di dekat tempat pembuangan limbah elektronik di Ghana.
Penelitian yang dilakukan di negara Afrika Barat pada tahun 2019 oleh IPEN dan Basel Action Network mengungkapkan, tingkat dioksin terklorinasi dalam telur ayam yang diletakkan di dekat tempat pembuangan Agbogbloshie, dekat pusat Accra, Ghana, 220 kali lebih tinggi daripada tingkat yang diizinkan di Eropa.