Kesenjangan Konektivitas Internet Hambat Digitalisasi JKN-KIS
Digitalisasi layanan dalam program JKN-KIS dapat meningkatan mutu pelayanan pada masyarakat. Namun, pemanfaatannya belum optimal di sejumlah daerah karena keterbatasan akses jaringan internet.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Petugas memberikan tiket nomor urut antrean kepada warga yang akan mengurus administrasi BPJS Kesehatan di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Jakarta, akhir November 2021.
BANGLI, KOMPAS — Digitalisasi dalam pelayanan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat dapat meningkatkan mutu layanan bagi peserta. Pemanfaatannya pun semakin meningkat. Namun, implementasi digitalisasi tersebut belum optimal karena konektivitas internet yang belum merata.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, digitalisasi layanan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) merupakan salah satu agenda utama yang akan diperkuat oleh BPJS Kesehatan. Melalui digitalisasi, kualitas layanan JKN diharapkan bisa semakin baik sekaligus semakin memudahkan peserta dalam mengakses layanan.
”Tantangan yang dihadapi saat ini adalah masih ada daerah yang koneksinya bermasalah, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Selain itu, meski daerah itu sudah ada koneksi, masih ada tantangan pada masyarakat yang belum melek digital,” katanya di sela-sela kunjungan ke Puskesmas Bangli Utara di Bali, Kamis (13/10/2022).
Disparitas pemanfaatan digitalisasi layanan tersebut setidaknya terlihat dari implementasi sistem antrean daring yang terkoneksi Mobile JKN. Data BPJS Kesehatan per September 2022 menunjukkan, jumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) yang telah mengimplementasikan sistem antrean online sebanyak 20.722 fasilitas kesehatan atau 88,1 persen dari total FKTP yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Akan tetapi, cakupan tersebut tidak merata di seluruh daerah. Provinsi yang berada di Sumatera dan Jawa, capaian FKTP yang sudah menjalankan sistem antrean daring lebih dari 90 persen. Bahkan, di daerah Jabodetabek, capaiannya hingga 98,8 persen. Jumlah tersebut sangat berbeda dengan capaian di Papua dan Papua Barat yang hanya 32,5 persen dari jumlah FKTP yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Tantangan yang dihadapi saat ini adalah masih ada daerah yang koneksinya bermasalah, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Selain itu, meski daerah itu sudah ada koneksi, masih ada tantangan pada masyarakat yang belum melek digital (Ali Ghufron),
Ghufron mengatakan, dukungan berbagai pihak diperlukan untuk mengatasi tantangan tersebut. Kerja sama dengan pihak swasta serta kementerian terkait telah dilakukan untuk mengatasi akses layanan internet yang merata di wilayah Indonesia. Selain itu, tenaga kesehatan yang berada di fasilitas kesehatan pun didorong untuk turut mengedukasi masyarakat terkait penggunaan layanan digital dalam mengakses layanan JKN-KIS.
Ia menambahkan, bagi fasilitas kesehatan yang belum siap menerapkan digitalisasi layanan, BPJS Kesehatan pun dapat membantu dengan menyediakan aplikasi ataupun sistem yang telah dibangun oleh BPJS Kesehatan. Itu seperti layanan antrean daring dan integrasi sistem informasi manajemen rumah sakit (SIM RS).
Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Bambang Wibowo menyampaikan, disparitas kualitas layanan kesehatan di setiap rumah sakit amat lebar. Kondisi rumah sakit di Indonesia pun cukup bervariasi. Hal itu bukan hanya terkait sarana prasarana dan sumber daya manusia, melainkan juga pemanfaatan teknologi informasi.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Warga menyiapkan administrasi sebelum mengantre saat mendaftar untuk mengikuti program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, di Sidoarjo, Jawa Timur, pertengahan September 2014.
Dari survei maturitas teknologi informasi pada 500 sampel rumah sakit di Indonesia, masih ada 8 persen yang sama sekali belum menerapkan teknologi informasi dalam sistem layanan kesehatan. Selain itu, hanya 12 persen rumah sakit yang memiliki rekam medis elektronik.
”Kita perlu terus mendorong peningkatan akses layanan di rumah sakit. Dengan adanya indikator kualitas layanan dari BPJS Kesehatan, seperti waktu respons layanan dan penggunaan teknologi informasi, ditambah dengan adanya penghargaan dari BPJS Kesehatan, itu bisa mendorong optimalisasi layanan,” kata Bambang.
Direktur RS Bali Mandara, Ketut Suarjana, menyampaikan, pemanfataan teknologi telah terbukti dapat meningkatkan layanan pada pasien, terutama untuk pemanfaatan sistem antrean daring. Dengan sistem antrean daring, waktu tunggu layanan pasien rawat inap semakin pendek.
”Sebelum sistem antrean online dioptimalkan, waktu tunggu pasien rawat jalan yang mencapai kurang dari 60 menit hanya 66 persen. Setelah optimalisasi, waktu tunggu yang mencapai kurang dari 60 menit sudah sebanyak 96,7 persen dari seluruh antrean yang ada,” katanya.