Pameran Batik Nitik, Inspirasi Pengajuan Indikasi Geografis untuk Wastra
Sebanyak 80 lembar kain batik nitik dipamerkan di Museum Tekstil Jakarta pada 12 Oktober-12 November 2022.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Selembar kain batik nitik dipamerkan di Museum Tekstil, Jakarta, Rabu (12/10/2022). Sebanyak 80 lembar kain batik nitik dipamerkan pada Pameran Batik Nitik yang berlangsung mulai 12 Oktober 2022 hingga 12 November 2022.
JAKARTA, KOMPAS — Museum Tekstil Jakarta menggelar Pameran Batik Nitik pada 12 Oktober-12 November 2022. Pameran ini diharapkan mendorong daerah-daerah penghasil wastra untuk mengajukan hak kekayaan intelektual berupa Indikasi Geografis. Adapun batik nitik sudah memperoleh Indikasi Geografis.
Menurut kurator Pameran Batik Nitik, Tumbu Astiani Ramelan, batik nitik merupakan satu-satunya jenis batik yang memiliki berupa Indikasi Geografis. Indikasi Geografis diperoleh dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM pada 2020.
Indikasi Geografis menandakan produk asli suatu daerah yang memiliki reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu akibat faktor geografis. Faktor tersebut termasuk faktor alam, manusia, atau kombinasi keduanya. Adapun Indikasi Geografis dapat memberi perlindungan terhadap karakteristik, nilai budaya, kepemilikan, dan penggunaan nama produk.
Kami harap pameran ini dapat meningkatkan apresiasi terhadap batik Indonesia, khususnya batik nitik.
”Sebetulnya banyak sentra batik di tempat lain yang patut mendapatkan Indikasi Geografis. Pameran ini bisa dibilang ’cambuk’ agar daerah-daerah lain yang memiliki kekhasan bisa mendaftarkan Indikasi Geografis,” kata Tumbu di Jakarta, Rabu (12/10/2022).
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Sebanyak 80 kain batik nitik dipamerkan di Museum Tekstil, Jakarta, Rabu (12/10/2022). Kain ini ditunjukkan pada Pameran Batik Nitik yang berlangsung mulai 12 Oktober 2022 hingga 12 November 2022.
Batik nitik mendapat Indikasi Geografis karena sejumlah kekhasan. Sebagai contoh, batik nitik dihasilkan dengan canting khusus yang ujungnya dibelah empat. Ini membuat titik yang dihasilkan saat membatik berbentuk segi empat. Adapun ujung canting pada umumnya bulat.
Batik nitik merupakan salah satu motif batik tertua yang berasal dari Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Batik yang diperkirakan ada sejak akhir abad ke-18 itu diyakini hasil adaptasi dari kain patola.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Selembar kain batik nitik dipamerkan di Museum Tekstil, Jakarta, Rabu (12/10/2022). Sebanyak 80 lembar kain batik nitik dipamerkan pada Pameran Batik Nitik yang berlangsung mulai 12 Oktober 2022 hingga 12 November 2022.
Mengutip laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), kain patola berasal dari India dan telah diimpor sejak tahun 1600-an. Pemerintah kolonial lalu memonopoli impor kain patola sehingga harganya naik drastis. Sebagian orang pun membuat batik motif nitik untuk menggantikan kain patola. Saat ini ada lebih dari 80 motif batik nitik yang masih diproduksi.
”Sebagian orang berasumsi bahwa batik nitik punah, sudah tidak dikerjakan lagi, atau yang mengerjakan hanya orang tua. Namun, perolehan Indikasi Geografis ini merupakan hasil pengajuan dari komunitas mereka sendiri. Kini, mereka tumbuh,” kata Tumbu yang juga pemerhati batik dari Yayasan Batik Indonesia (YBI).
Indikasi Geografis turut meningkatkan kesejahteraan para perajin batik nitik. Menurut Wakil Ketua Kelompok Batik Nitik Blawong, Indah, jumlah pesanan yang diterima kelompoknya naik 20-25 persen setelah batik nitik mendapat Indikasi Geografis (Kompas, 16/8/2022).
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Sebanyak 80 kain batik nitik dipamerkan di Museum Tekstil, Jakarta, Rabu (12/10/2022). Kain ini ditunjukkan pada Pameran Batik Nitik yang berlangsung mulai 12 Oktober 2022 hingga 12 November 2022.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan, Indikasi Geografis adalah modal penting agar wastra bisa berkiprah secara global. “Kekayaan intelektual terlindungi dan saat masuk dunia internasional, kita punya pijakan sistem hukum yang jelas,” ucapnya.
Hilmar pun merekomendasikan agar para pegiat wastra mempertimbangkan penggunaan pewarna alam. Sebab, pewarna dari bahan kimia berakibat buruk ke kelestarian lingkungan. Padahal, wastra dan kebudayaan baru bisa lestari jika alam juga lestari.
Kepala Unit Pengelola Museum Seni DKI Jakarta Sri Kusumawati mengatakan, Pameran Batik Nitik menampilkan 80 lembar batik nitik. Batik itu merupakan koleksi Museum Tekstil Jakarta dan sejumlah kolektor, antara lain Tumbu, Ketua Umum YBI Gita Pratama, desainer Didi Budiardjo, dan Ketua Paguyuban Batik Tulis Nitik DIY Afif Syakur.
Pameran ini sekaligus memperingati Hari Museum Indonesia yang jatuh pada 12 Oktober. Selain pameran, ada pula webinar, lokakarya membatik, hingga lomba video pendek buat publik.
Pada saat yang sama, Museum Tekstil Jakarta juga menerima lebih dari 1.500 kain batik yang dihibahkan ahli waris almarhum Eiko Adnan Kusuma. Eiko adalah perempuan keturunan Jepang yang menjadi pencinta dan kolektor batik.
”Kami harap pameran ini dapat meningkatkan apresiasi terhadap batik Indonesia, khususnya batik nitik,” ucap Sri.