Momentum Pangan Lokal di Tengah Krisis Gandum
Sebanyak 28 persen proporsi pangan nasional berasal dari gandum. Ini menjadikan Indonesia terjerat dalam ketergantungan pangan dari luar negeri karena hampir 100 persen gandum yang kita konsumsi harus impor.
Gandum yang hampir semuanya diimpor telah menempati 28 persen dari proporsi pangan nasional.Ketika dunia menghadapi krisis pangan karena dua pengekspor utama gandum berperang, yaitu Ukraina dan Rusia, Indonesia harus menjadikannya sebagai momentum untuk kembali ke ragam sumber pangan lokal.
Gandum menempati posisi kedua setelah jagung dan setingkat di atas beras sebagai sumber pangan dari biji-bijian. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), produksi jagung dunia pada 2021-2022 diperkirakan 1.192 juta ton, gandum 776,7 juta ton, dan beras 519 juta ton. Ketiga biji-bijian tersebut menempati sekitar 89 persen dari total produksi pangan dunia.
Di antara tiga sumber pangan ini, konsumsi gandum menyebar paling luas, termasuk ke negara yang tidak bisa memproduksinya. Hal ini karena lebih dari 80 persen biji-bijian itu digunakan untuk tepung terigu yang menjadi penopang berbagai produk pangan olahan.
Meskipun demikian, produksi gandum hanya berada di tangan beberapa negara. Lima pengekspor gandum terbesar dunia adalah Rusia, Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan Ukraina yang menyediakan tiga per lima (59,5 persen) kebutuhan pasar global.
Baik Ukraina maupun Rusia adalah pemain penting di pasar yang menyumbang 30 persen ekspor gandum dunia. Sebagian besar gandum yang mereka hasilkan dikirim ke Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia, dengan negara-negara seperti Indonesia, Mesir, Bangladesh, Turki, dan Yaman sebagai importir terbesar.
Pada tahun 2020, Rusia dan Ukraina juga menyumbang 20 persen dari total komoditas pangan yang dibeli oleh Program Pangan Dunia (WFP) sehingga memainkan peran kunci dalam melindungi ketahanan pangan dunia.
Namun, invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 secara drastis mengubah situasi. Terganggunya rantai pasok gandum memicukenaikan harga komoditas ini sebesar 40 persen antara Februari dan April 2022.
Dampak perang ini tak berhenti pada gandum. Rusia dan Ukraina juga menghasilkan sekitar sepertiga dari ekspor amonia dan kalium dunia, bahan penting dalam pupuk kimia. Harga pupuk global pun melonjak 30 persen. Ditambah lagi, sanksi terhadap Rusia juga telah meningkatkan harga energi, memicu krisis ekonomi.
Ketidakstabilan ekonomi akhirnya mendorong 20 negara untuk memberlakukan pembatasan ekspor gandum, jagung, dan beras, yang mencakup sekitar 17 persen kebutuhan kalori yang diperdagangkan, sehingga mengganggu ketahanan pangan global.
PBB membunyikan alarm tentang kerawanan pangan akut di 19 negara untuk periode Oktober 2022 hingga Januari 2023. Laporan terbaru tentang ”hotspot kelaparan” yang dikeluarkan WFP dan FAO mengungkapkan, dunia saat ini menghadapi krisis pangan terbesar dalam sejarah modern.
Baca juga: Pangan untuk Bumi yang Memanas
Jebakan gandum
Hingga 50 tahun lalu, lonjakan harga gandum dunia tidak bakal berdampak signifikan bagi Indonesia karena saat itu masyarakat belum mengonsumsinya.Namun,gandum kini menjadi komponen pangan pokok terbesar kedua di Indonesia setelah beras sehingga gejolak harganya menjadi masalah besar.
Menurut analisis ahli pangan yang juga Kepala Pusat Bioteknologi IPB University, Dwi Andreas Santosa, dalam diskusi, Kamis (29/9/2022), proporsi pangan berbasis gandum di Indonesia terus tumbuh, bahkan selama pandemi Covid-19. Pada tahun 2021, proporsi gandum sebagai komponen pangan sudah mencapai 28 persen, meningkat dibandingkan 2020 yang sebesar 26,6 persen.
Meningkatnya proporsi gandum dalam diet masyarakat Indonesia juga bisa dilihat dari kenaikan konsumsi mi instan, selain roti dan aneka kue berbasis terigu. Pada tahun 2021, konsumsi mi intan di Indonesia mencapai 13,27 miliar bungkus, meningkat 4,98 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dwi Andreas memperkirakan, bila kecenderungan pola konsumsi ini terus terjadi, pada tahun 2050 lebih dari 50 persen kebutuhan pangan pokok kita bisa digantikan oleh gandum. Ini bisa jadi masalah serius karena produksi gandum di Indonesia hampir nol.
Saat ini Indonesia menjadi pengimpor gandum terbesar di dunia dengan estimasi 11,2 juta ton pada 2022 (indexmundi.com). Indonesia menjadi negara dengan defisit ekspor-impor gandum terbesar di dunia, dengan nilai 3,5 miliar dollar AS pada 2021. Defisit ekspor bersih ini naik 35,6 persen sejak 2020 (worldstopexports.com).
Sekalipun tanaman gandum sudah dikenalkan ke Indonesia oleh Belanda sejak awal abad ke-18, tetapi penanamannya sangat terbatas. Sebagai tanaman subtropis, gandum hanya bisa tumbuh baik di wilayah Indonesia yang berketinggian di atas 1.000 meter.
Gandum kini menjadi komponen pangan pokok terbesar kedua di Indonesia setelah beras sehingga gejolak harganya menjadi masalah besar.
Awalnya, gandum masuk melalui berbagai skema bantuan dari negara Barat di awal Orde Baru, terutama setelah adanya hibah kemanusiaan Amerika Serikat di bawah payung Public Law 480 pada 1969. Rezim Orde Baru yang saat itu ingin mencari pangan alternatif beras yang harganya di pasar global sedang tinggi kemudian mendorong pembangunan industri penggilingan gandum menjadi terigu. Peresmian pabrik pertama penggilingan terigu milik PT Bogasari ini dilakukan oleh Presiden Soeharto pada 29 November 1971 (Kompas, 30 November 1971).
Seperti ditulis Piet Yap dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group: Pilar Bisnis Soeharto (2016), pemerintah meminta Bogasari untuk mempromosikan terigu sebagai pengganti beras sehingga memberinya banyak kemudahan. Selain mendapat pinjaman dana dari bank sebesar Rp 2,8 miliar, Bogasari juga mendapat jaminan pasokan gandum impor dari Bulog dengan harga subsidi.
Saat itu, margin tata niaga terigu sangat menguntungkan karena tingginya disparitas antara harga gandum yang bea impornya nol persen dan eceran terigu. Pada tahun 1994, misalnya, rata-rata harga impor gandum dari Bulog 170-200 dollar per ton, sedangkan harga eceran terigu yang dijual ke masyarakat sekitar Rp 800 per kilogram (Kompas, 30 Agustus 1994).
Besarnya margin tata niaga dan dukungan penuh dari pemerintah, industri penggilingan gandum menjadi terigu ini pun tumbuh besar. Upaya menumbuhkan pabrik-pabrik penggilingan gandum baru dilakukan sejalan dengan masifnya iklan untuk mengubah selera konsumen masyarakat Indonesia agar beralih ke produk pangan dari terigu ini.
Selain menyasar konsumen, salah satu strategi industri terigu adalah menggandeng pelaku usaha kecil dan menengah di sektor makanan. Berbagai resep baru makanan berbasis terigu pun bermunculan, menggeser aneka pangan tradisional berbahan tepung lokal.
Hanya dalam kurun 50 tahun, dari konsumsinya yang nyaris nol persen, gandum kemudian menjadi pangan pokok kedua setelah beras. Masalahnya, hal ini menyebabkan ketergantungan pangan dari impor yang kian dalam dan jadi masalah besar saat terjadi gejolak harga dan pasokan global.
Peluang pangan lokal
Krisis gandum yang memicu krisis pangan global rupanya telah memicu pemerintah untuk kembali melirik potensi pangan lokal yang selama ini terabaikan. Salah satunya yang kini digadang-gadang adalah sorgum.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo lewat rapat kabinet terbatas pada awal Agustus 2022, pemerintah akan segera mengembangkan industri makanan dan minuman berbasis sorgum untuk mengurangi ketergantungan pada impor gandum (kompas.id, 16 Agustus 2022).
Sekalipun bukan tanaman asli Indonesia, sorgum telah lama dibudidayakan masyarakat di berbagai kondisi geografis. Sorgum bisa tumbuh di dataran tinggi hingga rendah, baik di daerah beriklim basah maupun tropis kering (semi arid) yang minim unsur hara. Sorgum juga relatif tahan hama dan kekeringan.
Jejak panjang budidaya sorgum di Indonesia bisa dilihat dari variasi penamaannya di sejumlah daerah, seperti cantel di Jawa Tengah, gandrum atau gandrung di Jawa Barat, batari di Melayu, termasuk Bugis di Sulawesi dan Maluku, oncer di Madura, garai di Minangkabau, jaba bedil dan jaba bengkok di Batak. Di Nusa Tenggara Timur, tanaman ini dikenal dengan nama pena mina, wata solor, mesak, pesi, wata belolong, lolo, jagung rote, terae, penbuka, dan watar hamu.
Selain adaptif, sorgum juga memiliki kandungan nutrisi yang baik. Kajian Herman Subagio dan M Aqil dari Balai Penelitian Tanaman Serealia (2013) menunjukan, sorgum memiliki kadar protein 11 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan beras sebesar 6,8 persen. Sorgum juga memiliki kandungan nutrisi mikro, seperti kalium, besi, fosfor, dan vitamin B.
Di atas kertas, potensi substitusi impor gandum lewat sorgum diangap cukup menjanjikan. Sejumlah varietas sorgum lokal non-pulut beramilosa sedang, seperti span, kawali, dan numbu dalam bentuk tepung, terbukti bisa mendekati karakter gandum.
Kementerian Pertanian telah membuat simulasi, substitusi tepung sorgum sebesar 60 persen pada produk biskuit dan kue kering dapat mengurangi impor gandum hingga 6,1 juta ton, substitusi 25 persen pada produk kue berpotensi menekan impor gandum 2,5 juta ton, dan substitusi 35 persen pada mi dan sejenisnya bisa mengurangi impor gandum hingga 3,5 juta ton.
Namun, upaya untuk menggalakkan penanaman kembali sorgum jangan sampai mengulang kesalahan penganan kemasan beras di semua wilayah geografis Indonesia sehingga semua daerah seolah bisa dicetak sawah baru.
Upaya untuk mencari pengganti gandum harus dijadikan momentum untuk mengembalikan keragaman pangan sesuai kondisi agroklimat dan budaya setempat. Apalagi, saat ini kita juga menghadapi krisis iklim sehingga harus dipikirkan bahsa solusi pangan yang dikemukakan juga harus memperhitungkan aspek mitigasi dan adaptasi iklim.
Berbagai laporan ilmiah menunjukkan, keberagaman sumber pangan merupakan kunci bagi keseimbangan nutrisi dan juga keberlangsungan ekosistem. Aspek lain adalah lokalitas pangan. Semakin pendek rantai pasoknya, semakin berdaya tahan dari krisis dan tentu saja semakin sedikit jejak karbonnya.
Selain sorgum, kita juga punya banyak sumber pangan. Untuk yang bersumber biji-bijian di antaranya ada jewawut dan jali. Adapun dari umbi ada singkong, ubi, uwi, dan keladi. Sementara dari batang ada sagu dan dari buah ada pisang dan sukun. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan, Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat.
Baca juga: Pangan Lokal untuk Kesehatan Diri dan Bumi
Selama ini, ragam pangan lokal cenderung termarjinalkan oleh kebijakan pangan nasional yang bias beras dan gandum. Di tengah situasi krisis kali ini, beragam pangan lokal harus diberi ruang lebih. Tak hanya berhenti pada retorika, tetapi perlu dukungan penuh semua pihak dari hulu hingga hilir.