Tragedi jatuhnya ratusan korban jiwa di Kanjuruhan bukanlah musibah, namun ulah manusia atau ”man-made disaster”.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Pada Mei 2018, Pengadilan Tinggi Sendai memenangkan gugatan warga dan memerintahkan Pemerintah Kota Ishinomaki dan Prefektur Miyagi, Jepang, untuk membayar 1,4 miliar yen atau sekitar 12,78 juta dollar AS kepada keluarga siswa yang meninggal saat tsunami melanda pada 11 Maret 2011. Putusan ini kemudian dikuatkan Mahkamah Agung Jepang pada 2019, yang menegaskan bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa di lingkungan sekolah.
Tak lama setelah gempa berkekuatan M 9 mengguncang Jepang bagian timur pada sore itu, para guru memilih mengungsikan siswa ke taman bermain sekolah. Pada saat itulah tsunami menyapu, menewaskan 74 murid, termasuk 10 guru. Sebanyak 23 keluarga dari murid yang menjadi korban ini kemudian menggugat pemerintah, yang membawahkan sekolah dasar ini, pada 2014. Mereka beranggapan anak-anak mereka seharusnya bisa diselamatkan.
Hakim mengabulkan gugatan warga. Pihak sekolah dianggap memiliki cukup waktu untuk mengungsikan anak-anak ke tempat lebih aman, yaitu di bukit kecil tak jauh dari sekolah. Pengadilan juga menyebutkan, pihak berwenang gagal memenuhi kewajiban mereka untuk menyiapkan manual manajemen risiko yang bisa menyelamatkan anak-anak jika terjadi bencana.
Kemenangan warga tersebut menunjukkan, Pemerintah Jepang bisa dituntut karena dianggap gagal memitigasi risiko, sekalipun sumber ancamannya berasal dari alam.
Di Jepang, jatuhnya korban karena bencana memang tak semata-mata dianggap sebagai peristiwa alam. Dalam perspektif mereka, korban jiwa terjadi karena kegagalan mitigasi risiko, dan hal itu bisa disebabkan oleh kelalaian manusia.
Dari kasus ini, mahkamah agung di Jepang juga setuju dengan pengadilan tinggi bahwa sekolah-sekolah di seluruh Jepang harus melakukan yang terbaik dalam memastikan keselamatan anak-anak.
Sikap yang sama ditunjukkan Pemerintah Kota Takatsuki, Perfektur Osaka, Jepang, saat seorang siswa tewas tertimpa dinding kolam renang sekolahnya setelah diguncang gempa pada 18 Juni 2018. Bocah berusia sembilan tahun ini adalah satu dari empat korban yang tewas dalam gempa berkekuatan M 6,1 dengan pusat di darat ini. Tiga korban tewas lain berumur 80-an tahun. Satu orang tertimpa rak, dua orang terkena material yang rontok.
Tak berselang lama setelah mengetahui kematian siswi di sekolahnya, Wali Kota Takatsuki Takeshi Hamada meminta maaf kepada keluarga korban, seperti disiarkan di stasiun televisi NHK. Hamada menyatakan bertanggung jawab atas insiden itu. Dia juga berjanji untuk menyelidiki hal ini dan akan mengecek kekuatan bangunan di seluruh sekolah di kotanya.
Dua peristiwa tersebut bisa kita bandingkan dengan dua kejadian baru-baru ini di Indonesia, untuk mengetahui perbedaan konstruksi sosial terhadap bencana dan sikap birokrasi, yaitu Tragedi Kanjuruhan dan Pondok Labu.
Di Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, 132 orang meninggal, puluhan di antaranya anak-anak, saat menonton pertandingan sepak bola pada 1 Oktober 2022. Tragedi bermula saat aparat keamanan menembakkan gas air mata ke tribune penonton.
Alasan petugas keamanan terdesak akibat ulah penonton yang masuk ke lapangan tak bisa dibenarkan. Bagaimanapun, gas air mata tidak boleh ditembakkan di dalam stadion yang sesak penonton. Peraturan FIFA di Chapter 19 tentang keamanan dengan jelas melarangnya, karena risiko terjadinya stampede atau kepanikan massa akibat penggunaan gas air mata di ruang tertutup bisa memicu jatuhnya korban jiwa.
Rekaman video dan kesaksian penyintas menunjukkan, korban berjatuhan saat ribuan penonton yang panik berhamburan menuju pintu stadion yang sebagian terkunci.
Tanggung jawab
Hingga saat ini, penyelidikan masih dilakukan dan beberapa orang di lapangan telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, sejauh ini kita belum mendengar ada pihak yang menyatakan bertanggung jawab atau bahkan mengundurkan diri karena kelalaiannya.
Para pejabat PSSI, misalnya, dalam konferensi pers, Kamis (6/10/2022), menampik adanya miskomunikasi antara polisi-panitia pelaksana pertandingan. Tragedi yang menewaskan ratusan orang itu lebih dilihat sebagai musibah, bukan karena kelalaian.
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan, lebih melihat Stadion Kanjuruhan tidak layak untuk menggelar pertandingan berisiko tinggi antara Arema FC dan Persebaya. Stadion itu tidak dilengkapi akses dan pintu keluar yang memadai ketika terjadi kondisi darurat. Selain itu, kondisi anak tangga ke pintu keluar cukup curam (Kompas.id, 9/10/2022).
Temuan ini seperti mengamplifikasi pesan Presiden Joko Widodo saat mengunjungi korban Kanjuruhan agar dilakukan audit terhadap semua stadion yang digunakan untuk kompetisi sepak bola (Kompas, 1/15/2022). Tak ada salahnya mengaudit stadion, namun yang terutama dibutuhkan saat ini adalah audit terhadap kinerja aparat keamanan yang sesuai slogannya, seharusnya ”melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat”.
Jika mengacu pada kasus di Sendai, keluarga korban di Kanjuruhan seharusnya bisa menggugat pemerintah, termasuk aparat keamanan, dan panitia penyelenggara. Tragedi di Kanjuruhan jelas bukan musibah yang dipicu oleh bahaya dari alam, tetapi karena ulah manusia atau man-made disaster.
Tak ada salahnya mengaudit stadion, namun yang terutama dibutuhkan saat ini adalah audit terhadap kinerja aparat keamanan.
Peristiwa kedua adalah meninggalnya tiga siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) Negeri 19 di Pondok Labu, Jakarta Selatan, karena tertimpa tembok pembatas sekolah yang roboh pada Kamis (6/10/2022). Tembok pembatas antara sekolah dan permukiman itu roboh karena tidak kuat menahan luapan air di saat hujan deras terjadi.
Sebagaimana Tragedi Kanjuruhan, sejauh ini publik juga belum mendengar permintaan maaf dari pemerintah setempat terkait tragedi di Pondok Labu, berbeda dengan yang dilakukan Wali Kota Takatsuki di Jepang. Tak hanya itu, kita juga patut bertanya-tanya, akankah tragedi di Pondok Labu menjadi dasar pemerintah kota untuk mengevaluasi keamanan di bangunan sekolah lain yang bisa jadi berisiko juga?
Kenapa membandingkan tragedi di Indonesia dengan Jepang? Terlalu jauh perbedaannya, kata warganet, saat saya mengunggah kasus gugatan keluarga korban tsunami di Jepang kepada pemerintahnya di Twitter, dengan harapan bisa menjadi preseden bagi keluarga korban di Kanjuruhan ataupun Pondok Labu.
Bahkan, salah seorang pengguna Twitter mengatakan, ”Mohon maaf, jangan samakan Indonesia dengan Jepang. Di Jepang, pemimpinnya pada punya malu, salah sedikit bungkuk sampai sujud. Lah, di Indonesia....”
Benarkah sedemikian rusaknya budaya kita sehingga tidak lagi ada rasa bersalah dan tanggung jawab atas kesalahan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain?