Melanggar Hak Hidup, Pemerintah Didesak Hapus Pidana Mati
Vonis hukuman mati bagi sejumlah perempuan yang berada dalam deret tunggu eksekusi mati membawa penderitaan mental dan psikis selama bertahun-tahun. Pemerintah Indonesia terus didesak agar segera menghapus hukuman mati.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
SONYA HELLEN SINOMBOR
Dalam rangka Hari Antihukuman Mati Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan lebih dari 70 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Tolak Hukuman Mati (Jati), Senin (10/10/2022), menyatakan menolak pidana mati. Mereka meminta Pemerintah Indonesia segera menghapus hukuman mati dalam hukum nasional Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah di Indonesia diminta segera menghapus praktik hukum mati dari hukum pidana nasional. Vonis hukuman mati terhadap terpidana, termasuk sejumlah perempuan yang berhadapan dengan hukum, yang tidak dieksekusi hingga belasan bahkan puluhan bukan hanya sebuah penyiksaan, tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hidup mereka.
Oleh karena itu, dalam rangka Peringatan Hari Antihukuman Mati Sedunia yang diperingati tiap tanggal 10 Oktober, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan lebih dari 70 organisasi masyarakat sipil yang tergabung Jaringan Tolak Hukuman Mati (Jati) menyatakan menolak pidana mati.
Demikian pernyataan bersama di kantor Komnas Perempuan, Senin (10/10/2022) yang disampaikan Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani dan Veryanto Sitohang bersama perwakilan (Jati), yakni Direktur LBH Masyarakat Muhammad Afif Qoyim, Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar, Wiwin Warsiating dari Kabar Bumi, Gabriel Goa dari Padma, dan Baby Nurmaya dari Womens Voice.
Komnas Perempuan dan Jati menegaskan hukuman mati dihapuskan dalam hukum nasional di Indonesia. Sebab dalam vonis hukuman mati di Indonesia kerap kali menihilkan prinsip pengadilan yang adil, seperti prinsip kehati-hatian. Sejumlah kasus yang menyeret perempuan, terutama dalam kasus narkotika, menunjukkan beberapa perempuan menjadi korban oleh jaringan mafia.
”Komnas Perempuan mendorong agar negara benar-benar serius menghapus hukuman mati karena hukuman mati bertentangan dengan hak hidup dari setiap individu. Itu adalah bentuk pelanggaran ekstrem, kekerasan berbasis jender pada perempuan. Apalagi saat menghadapi deret tunggu hukuman mati,” kata Tiasri.
Ketika mereka divonis mati, tetapi tidak dieksekusi, berada dalam penjara selama bertahun-tahun, mereka berada dalam tekanan mental psikologis yang luar biasa. Hal tersebut setidaknya dialami oleh perempuan terpidana mati, Marry Jane Veloso, Merri Utami, dan Tutik.
”Merri Utami dipenjara hingga divonis pidana mati sejak 21 tahun yang lalu. Berbagai hal berat telah dilewatinya selama lebih dari dua dekade. Padahal dia memiliki anak, yang ditinggalkan semenjak berumur bawah lima tahun,” ujar Afif.
Menurut Afif, saat ini Merri sedang mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) kedua. Meskipun ada putusan Mahkamah Konstitusi terkait PK kedua, hingga kini kepastian bisa tidaknya dilakukan PK kedua masih belum ada.
Pemerintah Indonesia, menurut Komnas Perempuan dan Jati, seharusnya tidak lagi melanggengkan praktik hukuman mati. Sebab, saat ini lebih dua pertiga negara di dunia sudah menghapus hukuman mati.
Namun, dalam kenyataannya, hingga kini setidaknya masih ada lebih dari 10 undang-undang (UU) yang menerapkan pidana mati. Yang paling sering digunakan adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bahkan dalam situasi pandemi Covid-19 sejak awal Maret 2020, vonis mati masih kerap dijatuhkan.
Ketika mereka divonis mati, tetapi tidak dieksekusi, berada dalam penjara selama bertahun-tahun, mereka berada dalam tekanan mental psikologis yang luar biasa.
Menurut Rivanlee, berdasarkan pemantauan yang dilakukan Reprieve, sepanjang Maret 2020-2021 terdapat 145 terdakwa yang divonis mati, antara lain 119 terdakwa berasal dari kasus narkotika dan diantaranya terdapat 2 terdakwa perempuan.
Ketika praktik hukuman mati masih berlaku di Indonesia, warga negara Indonesia, terutama para pekerja migran Indonesia (PMI), terus berhadapan dengan ancaman hukuman mati dan eksekusi mati. Kasus yang dialami Tutik, PMI yang divonis hukuman mati di China pada tahun 2011.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri (kedua dari kiri) bersama para peneliti Imparsial, Ardi Manto Adiputra, Hussein Ahmad, dan Bhatara Ibnu Reza (dari kiri ke kanan), saat peluncuran laporan mengenai evaluasi praktik hukuman mati pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo di Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Pekerja migran
Komnas Perempuan dan Jati menyatakan, ada sejumlah WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri, setidaknya data pada 18 Oktober 2021 sejumlah 206 orang, 39 orang adalah perempuan. Mayoritas WNI terancam pidana mati adalah buruh migran Indonesia.
”Data tersebut sepatutnya menjadi perhatian pemerintah terhadap buruh migran yang saat ini hak hidupnya terancam di luar negeri,” ujar Wiwin.
Gabriel menegaskan, praktik hukuman mati harus dihapuskan, karena kenyataannya para PMI, terutama perempuan dan anak, hingga kini menjadi korban. Sementara jaringan mafia narkotika maupun perdagangan orang jarang yang tersentuh hukum.
”Sampai kapan mereka menjadi korban. Sudah saatnya kita melawan. Hukuman mati dipertahankan, perempuan dan anak akan terus menjadi korban,” kata Gabriel yang berharap Presiden Joko Widodo mempertimbangkan grasi bagi para perempuan yang menjadi korban dan menjadi terpidana mati.
Baby menegaskan, hentikan hukuman mati karena itu bukanlah solusi. ”Hilangkan kejahatan, bukan hilangkan nyawanya,” kata Baby.