Hati-hati, Eksploitasi Seksual Anak secara Daring Kian Mengerikan!
Media sosial ibarat pedang bermata dua, memberi manfaat tetapi sekaligus mengancam bagi anak-anak. Jika tidak disertai edukasi dan literasi digital yang kuat, mereka bisa menjadi korban kejahatan seksual secara daring.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·7 menit baca
HUMAS POLDA METRO JAYA
Personel Kepolisian Daerah Metro Jaya meringkus RAM, buron Biro Investigasi Federal AS (FBI) untuk kasus penipuan investasi karena ia melakukan eksploitasi seksual terhadap sejumlah anak di bawah umur di Jakarta. Pelaku dihadirkan dalam konferensi pers hari Selasa (16/6/2020), di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan.
Sekitar dua tahun yang lalu, F seorang ibu di Asmat, Papua Selatan, sangat terpukul saat mengetahui E, putrinya yang duduk di bangku kelas III salah satu sekolah menegah kejuruan di Merauke, Papua, dikeluarkan dari sekolah. Penyebabnya, sang anak dianggap mencemarkan nama baik sekolah akibat video dan foto seksualnya viral di media sosial.
Dari pengakuan anaknya, dia awalnya tidak tahu bahwa video yang viral tersebut adalah dirinya. Yang dia ingat, saat dia baru saja naik kelas II SMK, sekitar tahun 2018, dia pernah dihubungi seorang laki-laki yang tidak dikenal melalui Facebook Messenger. Dari komunikasi via telepon itulah, dia kemudian dirayu, sampai diminta membuka pakaian dan melakukan aktivitas seksual seperti yang diminta si penelepon.
Sang remaja putri yang ketika itu berusia 16 tahun tidak tahu bahwa pelaku kemudian merekam dalam video. Karena setelah itu dia tidak lagi berkomunikasi dengan pelaku. Belakangan, saat dia kelas III, video dirinya diunggah pelaku di akun Facebook yang kemudian viral.
”Terus terang saya sangat shock. Anak saya dikeluarkan dari sekolah. Kami meminta sekolah jangan mengeluarkan anak kami, karena sudah mau lulus SMK, tapi tetap dikeluarkan karena dianggap sudah mencemarkan nama baik sekolah. Kami juga melapor ke kepolisian, tapi sampai detik ini polisi tidak bisa ungkap siapa pelakunya,” papar F, sang ibu, Minggu (2/10/2022).
Ibu tersebut menuturkan, viralnya video seksual anaknya membuat anak dan keluarga malu. Namun, karena tahu anaknya menjadi korban, keluarganya memberikan penguatan agar E tidak putus asa.
Demi menyelamatkan masa depan anaknya, mereka mencari sekolah menengah atas yang mau menerima anaknya. Beruntung ada sekolah yang mau menerima anaknya, hingga lulus dan kini bisa melanjutkan kuliah.
Peristiwa yang dialami remaja putri di Merauke terjadi empat tahun yang lalu, sebelum pandemi Covid-19 berlangsung. Dan, kini ancaman kekerasan dan eksploitasi seksual melalui daring semakin dekat dengan anak-anak dan remaja.
Kemudahan anak-anak dalam berinteraksi dengan media sosial yang tidak dibarengi dengan edukasi, literasi, dan pemantauan orangtua atau pengasuh membuat anak-anak mudah terjerat dan menjadi sasaran pelaku kejahatan seksual daring.
Laporan terbaru yang dirilis oleh ECPAT, Interpol, dan Kantor Penelitian Unicef-Innocenti, Kamis (29/9/2022), berjudul Disrupting Harm di Indonesia menemukan, anak-anak Indonesia berusia 12-17 tahun menjadi sasaran eksploitasi dan pelecehan seksual anak daring melalui media sosial. Jumlah ini kemungkinan besar tidak sesuai kenyataan karena anak-anak mungkin tidak nyaman mengungkapkan pengalamannya.
Studi Disrupting Harm merupakan suatu kajian yang mengumpulkan berbagai bukti dan pemahaman tentang situasi serta ruang lingkup eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak di ranah daring.
Sasaran di media sosial
Dari survei yang dilakukan terhadap 995 responden anak, ditemukan platform media sosial yang paling banyak digunakan pelaku adalah Whatsapp yang menyumbang lebih dari 70 persen, Facebook, dan Facebook Messenger juga cukup besar. Ketiga platform tersebut menjadi paling tinggi diakses karena merupakan media sosial terbesar di Indonesia. Namun, ada juga pelaku yang menggunakan Instagram, Twitter, Snapchat, dan lain-lain, dengan proporsi kasus yang lebih kecil.
Bahkan, survei tersebut menemukan eksploitasi seksual anak di ranah daring meningkat tajam. Setidaknya itu terlihat dari rekaman sejumlah platform media sosial beberapa tahun terakhir.
Google merekam adanya peningkatan tiga kali lipat dari 7.428 (2017) menjadi 22.161 pada tahun 2019. Instagram meningkat dari 34.683 (2017) menjadi 57.675 (2019). Whatsapp meningkat 10 kali lipat dari 128 (2017) menjadi 1.145 (2019).
TANGKAPAN MEDIA SOSIAL
Rangsima Deesawade (ECPAT International), Marie Nodzenski, (Unicef Office of Research), dan Smita Mitra (Interpol) menyampaikan Laporan Disrupting Harm di Indonesia yang dilakukan oleh ECPAT, Interpol, dan Kantor Penelitian Unicef-Innocenti, yang diluncurkan pada Kamis (29/9/2022) di Jakarta. Indonesia menjadi bagian dari studi Disrupting Harm (suatu kajian yang mengumpulkan berbagai bukti dan pemahaman tentang situasi serta ruang lingkup eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak di ranah daring).
Meski banyak yang menjadi korban, dari hasil survei dan kajian yang disampaikan Rangsima Deesawade (ECPAT International), Marie Nodzenski (Unicef Office of Research), dan Smita Mitra (Interpol), mayoritas yang menjadi korban memilih bungkam dan tidak melaporkan kepada orangtua.
Kalaupun diceritakan, itu kepada teman atau saudara. Selain takut tidak dipercayai, mereka malu jika setelah melaporkan kejadian yang menimpanya, akan ada stigma negatif dari publik.
”Polisi hampir tidak pernah menjadi jalan mereka untuk mencari bantuan,” ujar Rangsima, seraya menambahkan sebagian besar kasus yang diproses penegak hukum berasal dari laporan yang dibuat orang dewasa atas nama mereka.
Sebagian anak tidak melaporkan kasus yang dialaminya karena mereka tidak tahu insiden yang terjadi cukup serius untuk dilaporkan. Sebagian anak-anak pun tidak menyadari apa yang terjadi.
Anak-anak Indonesia berusia 12-17 tahun menjadi sasaran eksploitasi dan pelecehan seksual anak daring melalui media sosial. Jumlah ini kemungkinan besar tidak sesuai kenyataan karena anak-anak mungkin tidak nyaman mengungkapkan pengalamannya.
Perasaan bersalah pun mengganggu pikiran anak-anak yang menjadi korban. Dari survei ditemukan, sebanyak 76 persen anak dan 85 persen pengasuh yang disurvei menyampaikan bahwa gambar atau video seksual mereka dibagikan orang lain dan itu merupakan kesalahan mereka.
Bahkan, setengah dari anak yang disurvei percaya bahwa merekalah yang paling bertanggung jawab atas keamanan daring mereka. Sikap ini diambil anak-anak kemungkinan karena mereka takut dihukum atau dibatasi penggunaan internet kalau melaporkan apa yang dialaminya.
Namun, ada juga anak yang mengaku tidak tahu cara melaporkan konten berbahaya di media sosial, dan tidak tahu ke mana mendapatkan bantuan jika mereka atau temannya menjadi sasaran eksploitasi dan pelecehan seksual daring. Hal lain yang menghambat anak-anak tidak melaporkan insiden yang dialaminya karena menganggap eksploitasi dan pelecehan seksual merupakan yang tabu.
Friska Audia Ersintamara dari Komunitas Orang Muda Anti Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak (Kompak) Jakarta, Kamis (23/2/2020), pada End Sexual Exploitation of Children Conference 2020 (E-SECO Conference 2020) di Jakarta.
Untuk mencegah anak-anak menjadi korban, sejumlah langkah perlu dilakukan. Salah satunya adalah memperluas dialog di antara kaum muda dan mendorong teman-temannya mencari bantuan.
”Ingat anak-anak sangat bergantung pada jaringan interpersonal mereka untuk mendapatkan dukungan, terutama teman,” ujar Rangsima.
Selain itu, perlu dibangun lingkungan di mana anak-anak merasa nyaman mencari nasihat, bantuan, dan perbincangan tentang kesehatan serta hak reproduksi sosial. Anak-anak juga harus diyakinkan bahwa pelecehan tidak pernah menjadi kesalahan mereka. Apa pun pilihan yang telah mereka buat, itu selalu kesalahan pelaku.
Terkait penegakan hukum, Smita menyatakan dari hasil survei, telah ada upaya pemerintah, tetapi kapasitas penegak hukum dan juga pekerja sosial yang menangani isu tersebut perlu ditingkatkan. Selain itu, perlu ada cara komprehensif untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam menangani kasus eksploitasi dan pelecehan seksual anak daring.
Kolaborasi lembaga penegak hukum dan pengelola platform media sosial global juga perlu ditingkatkan untuk memastikan platform tersebut aman untuk anak-anak. ”Dengan mencegah konten seksual muncul di depan anak-anak,” kata Marie.
Selain itu, penting mengembangkan peraturan wajib yang realistis untuk menyaring, menghapus, dan memblokir materi yang mengandung muatan kekerasan seksual terhadap anak atau child sexual abuse material (CSAM). Mekanisme pelaporan formal dalam sebuah platform juga perlu dibuat serta dapat diakses oleh anak-anak.
Untuk masyarakat, penting untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman bahwa eksploitasi dan pelecehan seksual anak secara daring adalah kejahatan serius di Indonesia. Sebab, temuan survei, masyarakat umumnya belum memahami bahwa pelecehan seksual terhadap anak dapat terjadi secara daring, tanpa perlu bertemu antara korban dan pelaku.
Survei yang dilakukan tiga lembaga internasional tersebut, menurut Koordinator Nasioal ECPAT Indonesia Ahmad Sofian, membuktikan bahwa eksploitasi dan kekerasan seksual daring berlangsung secara sistemik. Karena itulah, perlu ada identifikasi korban kekerasan seksual, khususnya pendistribusian materi atau konten yang menjadi obyek kekerasan seksual.
Tantangan besar Indonesia
Temuan-temuan dalam survei tersebut disambut positif oleh Pemerintah Indonesia. Deputi Perlindungan Khusus Anak (PKA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar mengakui, yang menjadi tantangan besar saat ini adalah memberikan perlindungan kepada anak-anak di ranah daring. Sebab, anak-anak tidak menyadari selain hal positif, di dunia maya juga terdapat ancaman, seperti eksploitasi seksual anak secara daring.
Karena itu, Nahar mengingatkan edukasi anak dan masyarakat tentang literasi digital tidak lagi bisa dianggap remeh, khususnya tentang interaksi aman di internet dan pentingnya peran orangtua dan pengasuh dalam melakukan bimbingan dan pengawasan.
”Kami juga menyerukan keberanian melapor dan aksi yang lebih tegas untuk memidanakan semua tindak eksploitasi seksual, dan perlakuan yang salah di dunia maya melalui peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku di Indonesia,” ujar Nahar.
Hal tersebut sejalan dengan semangat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru saja disahkan. Semua pihak, pemerintah dan masyarakat harus mengambil langkah segera dan nyata untuk mencegah dan merespons kekerasan seksual, termasuk yang terjadi di dunia maya.