Universitas Terbuka Menangkap Peluang Sekaligus Menjawab Tantangan
Tren pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 membawa peluang sekaligus tantangan bagi Universitas Terbuka. Pengalaman puluhan tahun menerapkan pembelajaran jarak jauh menjadi modal berharga menjawab tantangan itu.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Perjalanan 38 tahun Universitas Terbuka diwarnai pasang surut. Semula, universitas ini dianggap perguruan tinggi ”kelas dua” karena menampung mahasiswa yang gagal menembus seleksi perguruan tinggi negeri atau PTN. Transformasi pendidikan berbasis digital di tengah pandemi Covid-19 menjadi peluang sekaligus tantangan bagi universitas dengan jumlah mahasiswa terbanyak di Tanah Air tersebut.
Universitas Terbuka (UT) didirikan pada 4 September 1984 untuk menjawab kebutuhan warga dalam mengakses pendidikan tinggi. Di masa itu, jumlah universitas tidak sebanding dengan tingginya lulusan sekolah menengah atas (SMA) sederajat.
Kendala lainnya adalah terbatasnya akses menjangkau perguruan tinggi yang mayoritas terletak di ibu kota provinsi. Selain itu, banyak warga terbentur tingginya biaya kuliah.
”Ketika UT didirikan 38 tahun lalu, jumlah mahasiswanya sekitar 80.000 orang. Peserta seleksi yang tidak lolos PTN diarahkan masuk UT,” ujar Rektor UT Prof Ojat Darojat di Jakarta, Rabu (28/9/2022).
Akan tetapi, tidak semua mahasiswa menuntaskan perkuliahan. Beberapa mahasiswa tidak meregistrasi ulang. Banyak juga yang berhenti di tengah jalan.
Konsep kemandirian yang diusung UT membuat sejumlah mahasiswa tidak terbiasa untuk mengurusi administrasi dan perkuliahan secara mandiri. Apalagi, UT menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang belum familiar pada saat itu.
”Kondisi itu berlangsung sampai 1989 dan berdampak pada kesejahteraan kami (dosen dan staf UT) karena insentif turun,” katanya.
Akan tetapi, mendung tak selamanya kelabu. Kebijakan pemerintah menutup Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Sekolah Guru Olahraga (SGO) pada 1989 membawa angin segar bagi UT.
Para calon guru pun berbondong-bondong mengikuti program D-2 pendidikan guru sekolah dasar (PGSD) di UT. Jumlah mahasiswa yang terus merosot dalam lima tahun terakhir pun mulai meningkat.
Dampak positif ini mendorong UT membuka program S-1 PGSD pada 2003. Program itu menjadi salah satu yang paling strategis untuk membantu mendongkrak mutu pendidikan bangsa di tingkat dasar.
”Sampai saat ini memang UT bukan yang terpopuler, tetapi kami yang terbesar,” ucapnya.
Pengaruh pandemi
Saat ini UT mempunyai 420.000 mahasiswa aktif tersebar di 514 kabupaten/kota di Indonesia dan di 40-an negara. Lebih dari 80 persen mahasiswanya sudah bekerja, termasuk pekerja migran di sejumlah negara.
Bahkan, universitas ini mematok target ambisius menerima satu juta mahasiswa pada 2025. Target ini juga berkaca dari tren peningkatan mahasiswa dalam beberapa tahun terakhir.
Selain menjadi peluang, tren kuliah daring juga membawa tantangan bagi UT. Sebab, sejumlah universitas mulai membuka layanan kuliah jarak jauh.
Ojat tak menampik tren peningkatan itu turut dipengaruhi pandemi Covid-19 yang membatasi pertemuan fisik. Imbasnya, pembelajaran pun bertransformasi menjadi berbasis daring.
Kondisi ini merupakan keuntungan tersendiri bagi UT. Di saat perguruan tinggi lain masih harus beradaptasi dengan kuliah daring, UT sudah beberapa langkah di depan bermodal pengalaman puluhan tahun menerapkan PJJ.
”Sebelum pandemi, kami rata-rata menerima 30.000– 40.000 mahasiswa per semester. Sekarang sudah mencapai 145.000 per semester. Jadi, transformasi digital selama pandemi sangat berpengaruh,” ujarnya.
Usia mahasiswa UT juga semakin muda. Sekitar 65 persen mahasiswa aktif berusia di bawah 30 tahun. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi 10 tahun lalu.
UT kian diminati di saat banyak universitas lain tertatih menjalankan PJJ. Bahkan, tak sedikit dosen dari sejumlah perguruan tinggi belajar menerapkan kuliah daring di UT.
”Ada 1.300 bahan ajar UT secara digital yang bisa diakses. Kami berbagi dengan perguruan tinggi lain. Intinya, bagaimana memindahkan perkuliahan dari ruang-ruang kelas ke platform daring,” katanya.
Kesiapan bahan ajar digital sangat krusial dalam mendukung PJJ. Tanpa hal itu, perkuliahan terancam kurang optimal sehingga memengaruhi capaian pembelajaran.
Selain menjadi peluang, tren kuliah daring juga membawa tantangan bagi UT. Sebab, sejumlah universitas mulai membuka layanan kuliah jarak jauh.
Ojat tidak terlalu mengkhawatirkan potensi persaingan. Pihaknya akan fokus memantapkan ekosistem pembelajaran digital yang telah dirintis sejak lama.
”Kompetisi ini memotivasi kami untuk meningkatkan performa. Pastinya akan saling berpacu agar lebih baik lagi,” katanya.
Salah satu keunggulan UT adalah aksesibilitas. Universitas tersebut dapat menjangkau masyarakat di pelosok daerah dan luar negeri. Kondisi ini pun dimanfaatkan sejumlah pekerja migran yang ingin kuliah sambil bekerja di luar negeri.
Pada Maret 2022, misalnya, 33 pekerja migran di Singapura meraih gelar sarjana dari UT. Salah satunya adalah Lofi Loliyanti (38) yang menjadi lulusan terbaik dari Jurusan Sastra Inggris UT dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,53.
Kemiskinan memaksa ibu tiga anak itu meninggalkan keluarganya di Klaten, Jawa Tengah, pada 2012, untuk bekerja di Singapura. Penghasilannya bersama suami dari berjualan mi ayam tidak cukup untuk menghidupi tiga anak.
”Saya ingin (memiliki) hidup lebih baik. Kalau (tetap) di Indonesia uang kami akan selalu habis untuk membeli kebutuhan sehari-hari meskipun kami berdua sudah kerja mati-matian,” kata Lofi (Kompas, 26/3/2022).
Biaya kuliah di UT juga relatif terjangkau dibandingkan dengan kebanyakan universitas lainnya. Biayanya dari Rp 35.000 per SKS (satuan kredit semester) hingga sekitar Rp 3,5 juta per semester.
”Intinya, kami berharap bisa menjangkau semuanya (masyarakat). Ini salah satu bentuk keadilan sosial dalam dunia pendidikan,” ujar Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Umum UT Prof Ali Muktiyanto.
Pendidikan berbasis digital menjadi keniscayaan di masa depan. Pengalaman panjang menerapkan PJJ menjadi modal penting bagi UT mengoptimalkan luasnya jangkauan akses pembelajaran. Namun, tidak sekadar mengejar kuantitas lulusan, tetapi juga mendongkrak kualitas untuk menempa generasi bangsa yang berdaya saing global.