Jadi Sasaran Kekerasan Seksual Daring, Sedikit Anak Bersuara
Anak-anak rentan menjadi korban kejahatan dan eksploitasi seksual secara daring. Perlindungan anak di dunia maya mesti jadi perhatian.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
UNDEFINED
Rangsima Deesawade (ECPAT International), Marie Nodzenski (Unicef Office of Research), dan Smita Mitra (Interpol) menyampaikan laporan ”Disrupting Harm di Indonesia” yang dilakukan oleh ECPAT, Interpol, dan Kantor Penelitian Unicef-Innocenti yang diluncurkan pada Kamis (29/9/2022) di Jakarta. Indonesia menjadi bagian dari studi tentang situasi serta ruang lingkup eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak di ranah daring.
JAKARTA, KOMPAS — Kejahatan seksual daring kian mengancam anak-anak Indonesia dan berlangsung sistemik. Kendati menjadi sasaran pelecehan dan eksploitasi seksual daring, mayoritas anak yang menjadi korban tidak memberi tahu kepada siapa pun perihal apa yang dialaminya, apalagi melapor ke mekanisme pelaporan formal seperti kepolisian.
Stigma terkait pembicaraan seputar seks membuat anak-anak yang menjadi korban enggan menyampaikan kekhawatiran dan melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya. Hingga kini sebagian besar kasus yang diproses penegak hukum berasal dari laporan yang dibuat orang dewasa atas nama mereka.
Demikian laporan ”Disrupting Harm di Indonesia” yang dilakukan End Child Prostitution, Child Pornography, and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT), lembaga nonpemerintah yang menangani eksploitasi seksual komersial anak, Interpol, dan Kantor Penelitian UNICEF-Innocenti yang diluncurkan pada Kamis (29/9/2022) di Jakarta.
Indonesia menjadi bagian dari studi Disrupting Harm (kajian yang mengumpulkan berbagai bukti dan pemahaman tentang situasi eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak di ranah daring). Peluncuran laporan diselenggarakan bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Kajian itu dilakukan karena pada 2019 Indonesia mengadopsi Deklarasi Perlindungan Anak dari Segala Bentuk Eksploitasi dan Penyalahgunaan Daring di ASEAN sebagai komitmen meningkatkan standar dan kebijakan perlindungan anak terhadap eksploitasi dan pelecehan seksual secara daring. Kajian ini dilakukan di 13 negara di kawasan Afrika Timur dan Selatan serta Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Dalam laporan yang dipaparkan Rangsima Deesawade (ECPAT International), Marie Nodzenski (Unicef Office of Research), dan Smita Mitra (Interpol), berdasarkan survei (995 responden) dan wawancara serta kajian yang dilakukan, ditemukan pada tahun 2021 sebanyak 2 persen pengguna internet berusia 12-17 tahun di Indonesia menjadi sasaran eksploitasi dan pelecehan daring.
Bentuknya bermacam-macam, antara lain menawarkan uang atau hadiah sebagai imbalan atas gambar atau video seksual, menawarkan uang atau hadiah secara daring untuk terlibat tindakan seksual, diancam atau diperas secara daring untuk terlibat aktivitas seksual, dan gambar seksual mereka dibagikan tanpa persetujuan, dan menerima hadiah dengan imbalan gambar atau video seksual.
Pelaku paling sering adalah orang yang dikenal anak. Di Indonesia, teman atau kenalan dewasa paling mungkin melakukan kekerasan, diikuti teman sebaya berusia di bawah 18 tahun dan anggota keluarga.
Anak-anak mengalami eksploitasi dan pelecehan seksual daring terutama melalui media sosial Whatsapp, Facebook, dan Facebook Messenger. ”Hal tersebut terjadi karena kemungkinan ketiga media sosial tersebut merupakan platform terbesar di Indonesia,” ujar Smita.
TANGKAPAN MEDIA SOSIAL
Definisi online sexual exploitation and abuse (OCSEA) atau eksploitasi dan pelecehan seksual anak daring.
Rendahnya pengetahuan dan pemahaman anak tentang keamanan dan seks daring menjadi pintu masuk eksploitasi dan pelecehan seksual daring. Kajian menemukan, ketika anak-anak tidak tahu tentang seks, maka hal itu memungkinkan pelaku memanfaatkan mereka.
Dari survei ditemukan 41 persen anak-anak tidak pernah menerima informasi apa pun tentang cara agar tetap aman saat beraktivitas daring. Sebanyak 72 persen anak mengatakan mereka tidak pernah menerima pendidikan seks. Dari total anak yang menerima pendidikan seks, sejumlah 85 persen mengatakan sebagian besar berkaitan dengan moralitas.
Smita mengungkapkan, akses keadilan juga menjadi persoalan. Dari wawancara dengan pemerintah, terlihat minimnya kesadaran masyarakat akan eksploitasi dan penyalahgunaan seksual anak secara daring di Indonesia. Meski ancamannya meningkat, upaya pemerintah saat ini untuk mengatasinya masih terbatas.
Bahkan, kapasitas penegak hukum, profesional peradilan, dan pekerja sosial untuk menyediakan akses peradilan yang ramah anak dan dukungan korban sangat terbatas.
Hasil survei menemukan lebih dari 50 persen anak tidak mengungkapkan apa yang dialaminya. Sebagai contoh, 76 persen dari 995 anak dan 85 persen pengasuh mereka yang disurvei mengatakan jika gambar atau video seksual yang dibuat anak lalu dibagikan orang lain merupakan kesalahan mereka. ”Ini mengaburkan fakta konten seksual yang dibuat anak bisa didapat lewat paksaan atau penipuan,” kata Rangsima.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Seorang anak menggunakan gawai di kawasan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (18/2/2021). Pembelajaran jarak jauh secara daring selama pandemi Covid-19 dengan memakai gawai berdampak pada semakin mudahnya anak-anak mengakses gawai. Perhatian orangtua dibutuhkan untuk membatasi anak bermain gawai agar terhindar dari kecanduan ataupun kekerasan dan eksploitasi seksual secara daring.
Tantangan terbesar
Deputi Perlindungan Khusus Anak (PKA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar mengakui tantangan besar saat ini ialah melindungi anak-anak di ranah daring. Dunia maya ibarat hutan belantara, ruang tak terbatas yang di dalamnya banyak hal positif yang bisa dieksplorasi anak-anak.
”Namun, tanpa disadari ancaman keamanan dan kenyamanan anak menjadi semakin beragam. Melalui ruang itu, banyak orang yang membagikan konten-konten yang tidak dapat dikendalikan,” ujarnya. Pandemi Covid-19 turut menyumbang konsekuensi tidak terduga dan tidak disengaja, salah satunya menciptakan perubahan bentuk eksploitasi seksual anak secara daring.
Penelitian Disrupting Harm memberikan penguatan kepada Pemerintah Indonesia untuk menaruh perhatian besar pada isu tersebut dan berupaya menemukan solusi melalui implementasi Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak. Pemerintah juga mengupayakan lahirnya kebijakan tentang pelaksanaan Peta Jalan Perlindungan di Ranah Daring.
Koordinator Nasional ECPAT Indonesia Ahmad Sofian menegaskan, eksploitasi dan kekerasan seksual daring berlangsung sistemik. Karena itu, identifikasi korban kekerasan seksual secara daring penting menjadi prioritas penanganan oleh pemerintah dan penegak hukum.
”Penting mengidentifikasi korban kekerasan seksual khususnya pendistribusian materi atau konten yang menjadi obyek kekerasan seksual,” kata Sofyan.