Indonesia Rentan Perubahan Iklim, Diminta Lebih Ambisius Turunkan Emisi
Meskipun ada peningkatan dalam target pengurangan emisi, ”enhanced” NDC Indonesia dinilai masih jauh dari harapan publik untuk melindungi masa depan Indonesia dari dampak buruk krisis iklim.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI MASRY
Kawasan konservasi gambut Suaka Margasatwa Rawa Singkil di Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, Aceh, dirambah untuk ditanami kelapa sawit, seperti terlihat pada Minggu (24/10/2021). Perambahan tersebut menyebabkan tutupan hutan berkurang, potensi bencana meningkat, habitat satwa terganggu, dan dapat memicu pemanasan global.
JAKARTA, KOMPAS — Ekonomi Indonesia termasuk yang sangat rentan terhadap perubahan iklim dengan rumah tangga berpenghasilan rendah dan kelompok marjinal paling berisiko menjadi korban. Meski demikian, dampak perubahan iklim ini bisa diminimalkan jika Indonesia melakukan aksi iklim yang lebih ambisius.
Ancaman perubahan iklim terhadap berbagai sektor di Indonesia ini dirilis Koaksi Indonesia bersama Yayasan Indonesia CERAH, Rabu (28/9/2022). Laporan merangkum sejumlah penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia termasuk yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
”Melalui publikasi ini, kami hendak menyampaikan bahwa Indonesia masih punya kesempatan untuk melakukan aksi iklim yang lebih ambisius sebelum dampak perubahan iklim makin buruk menimpa sektor-sektor strategis di Indonesia, seperti pangan, infrastruktur, ekonomi, dan tenaga kerja,” kata Direktur Program Koaksi Indonesia Verena Puspawardani.
Sangat disayangkan dalam enhanced NDC ini rencana percepatan pengakhiran masa operasional PLTU.
Mengacu pada penelitian tahun 2021, Verena mengatakan, Indonesia bisa kehilangan 30-40 persen produk domestik bruto (PDB) pada 2050jika kenaikan emisi di tingkat emisi sedang hingga tinggi. Padahal, Indonesia hanya akan kehilangan PDB maksimum 4 persen jika kenaikan suhu jauh di bawah 2 derajat celsius.
Penelitian tersebut sejalan dengan temuan tahun 2015 yang mengungkapkan bahwa dalam skenario emisi tinggi, PDB Indonesia bisa merosot 31 persen pada pertengahan abad. Bahkan, bisa terjun bebas hingga 78 persen pada akhir abad ini.
Pertanian dan infrastruktur
Manajer Riset dan Pengembangan Koaksi Indonesia Azis Kurniawan mengatakan, kompilasi data dan proyeksi dari berbagai laporan ini dapat menjadi basis bagi aksi iklim bersama oleh berbagai pihak, terutama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Hal ini bertujuan agar target-target pembangunan Indonesia menuju ekonomi hijau dapat tercapai.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga memasang selang air untuk mengairi lahan pertanian pasang surut di Waduk Gajahmungkur, Kecamatan Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Rabu (21/9/2022). Menyusutnya air waduk selama beberapa bulan musim kemarau memberikan lahan pertanian pasang surut bagi warga sekitar. Mereka memanfaatkan dengan menanam padi dan jagung dengan memanfaatkan pengairan dari sisa air waduk.
Menurut laporan ini, panas ekstrem menjadi salah satu dampak krisis iklim yang sangat nyata di Indonesia, terutama terhadap sektor pertanian. Mengacu riset Kinose pada 2020, dalam skenario tinggi emisi, Pulau Jawa dan wilayah utara Sumatera akan mengalami penurunan panen beras sampai 20-40 persen pada 2040.
Penelitian lain pada 2018 menunjukkan, kenaikan suhu berdampak langsung pada penurunan panen kakao di Indonesia. Jika suhu mencapai 27-27,5 derajat celsius, hasil panen bakal merosot 67 persen dan bahkan sering mencapai nol. Demikian halnya komoditas kopi juga akan terdampak kenaikan suhu dan penurunan curah hujan.
Selain pertanian, sektor infrastruktur juga akan terdampak panas ekstrem. Mengacu riset Stone (2021), peningkatan hawa panas membuat permintaan pendingin udara lebih besar sehingga menambah beban pada jaringan listrik. Di sisi lain, panas ekstrem akan menurunkan fungsi pembangkit listrik tenaga termal sehingga mengganggu pasokan listrik.
Sedangkan mengacu penelitian Dobney (2008), rel kereta bisa melengkung dan rusak jika suhu melampaui rancangannya. Suhu tinggi bisa menyebabkan jalan-jalan meleleh dan menempel pada ban kendaraan.
”Berbagai bukti potensi dampak hawa panas terhadap infrastruktur ini memberikan pertanyaan: apakah perencanaan pembangunan infrastruktur kita sudah dan akan mempertimbangkan potensi dampak krisis iklim? Jika kita memperhitungkan potensi dampaknya, kita sangat dapat melakukan penghematan APBN secara signifikan melalui transisi dari kegiatan ekonomi yang menghasilkan emisi tinggi ke arah ekonomi hijau,” kata periset senior Yayasan Indonesia CERAH, Wira Dillon.
Target penurunan emisi
Sementara itu, pada Jumat (23/9/2022), pemerintah memublikasikan dokumen ”Enhanced Nationally Determined Contribution Republic Indonesia 2022”. Dalam dokumen NDC terbaru ini, Indonesia menjanjikan peningkatan target penurunan emisi menggunakan sumber daya dan kemampuan sendiri dari 29 persen menjadi 31,89 persen serta peningkatan dari 41 persen menjadi 43,2 persen jika mendapatkan dukungan internasional.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Palabuhanratu di Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (4/8/2022). Sebagian besar listrik yang dihasilkan oleh PLTU yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 3 x 350 MW ini untuk memasok kebutuhan listrik Jawa Barat bagian selatan.
Meskipun ada peningkatan dalam target pengurangan emisi, enhanced NDC ini dinilai masih jauh dari harapan publik untuk melindungi masa depan Indonesia dari dampak buruk krisis iklim. ”Sangat disayangkan dalam enhanced NDC ini rencana percepatan pengakhiran masa operasional PLTU (pembangkit listrik tenaga uap batubara), atau rencana pensiun dini PLTU, belum ada,” kata pengampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari.
Padahal, menurut Adila, penghentian dini operasional PLTU di tengah kelebihan pasokan listrik ini sangat diperlukan untuk memberikan ruang bagi pengembangan energi terbarukan. ”Ini jauh lebih baik daripada menyuruh masyarakat menambah daya dan mendorong penggunaan energi listrik berlebihan, demi menyelamatkan PLN dari krisis akibat kelebihan pasokan listrik,” kata Adila.
Diizinkannya penggunaan batubara minimal 30 persen pada tahun 2025 dan 25 persen pada tahun 2050 sebagaimana terdapat dalam dokumen Enhanced NDC Indonesia, kata dia, bertentangan dengan rekomendasi Panel Ahli Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) untuk mencapai target peningkatan suhu tidak melebihi 1,5 derajat celsius. Rekomendasi IPCC mengharuskan pengurangan batubara dalam sektor kelistrikan sebesar 80 persen dari level 2010 pada 2030 dengan memensiunkan batubara pada 2040.
Selain itu, Adila juga mempertanyakan rencana Pemerintah Indonesia untuk menggunakan co-firing atau menyubstitusi batubara pada PLTU batubara dengan 9 juta ton biomassa. Penggunaan biomassa dalam jumlah besar ini akan membutuhkan industri biomassa skala besar dengan tantangan teknis dan finansial yang besar, terutama untuk mendapatkan biomassa berkualitas.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Akivitas di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Senin (11/10/2021). PLTU Sintang salah satu lokasi yang memiliki ketersediaan bahan bakar co-firing dalam hal ini cangkang sawit yang besar. Penghematan bahan bakar batubara dapat dihemat hingga 10 persen dengan metode co-firing menggunakan cangkang sawit.
Padahal, pencampuran 5 persen biomassa untuk co-firing hanya akan mengurangi emisi CO2 sebesar 3,2 persen. Belum lagi ada risiko jejak karbon pada perluasan lahan untuk biomassa, proses produksi pelet, dan juga distribusi.
”Enhanced NDC juga masih mencantumkan solusi palsu, yaitu penggunaan B40 sebesar 100 persen pada 2030 yang tidak akan mengurangi emisi karbon secara signifikan dari sektor energi. Rencana pengembangan biodiesel ini juga akan membawa risiko ekonomi dan lingkungan bagi Indonesia,” katanya.
”Berdasarkan laporan Greenpeace Indonesia bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Universitas Indonesia pada 2020, implementasi B40 akan semakin mempercepat ekstensifikasi lahan sawit yang berpotensi membutuhkan perluasan lahan baru dan mengancam luasan hutan tersisa,” ujar Adila.