Pers memiliki kehormatan yang perlu terus dijaga, bahwa mereka merupakan lembaga independen yang melihat pemilu sebagai mekanisme yang pasti akan dilalui sebuah negara yang sudah memilih jalan demokrasi.
Oleh
IGNATIUS HARYANTO
·4 menit baca
Pemilu 2024 akan dilangsungkan pertengahan Februari 2024, tetapi hawa menuju ke sana sudah terasa 17 bulan sebelum pemilihan dilaksanakan. Bagaimana media harus bersikap dalam menghadapi suasana dan hawa politik yang sudah datang sejak sekarang?
Dalam Forum Ombudsman Kompas, Jumat, 23 September 2022, pandangan pro dan kontra menghangati diskusi tatkala bahasan terfokus pada sejumlah tuntutan dan harapan dari pembaca dan aktor politik terkait kualitas serta independensi pemberitaan, baik politik maupun hukum.
Melihat media saat ini, harus dikatakan ada yang memang independen dan tidak independen. Media yang tidak independen adalah media yang terkait dengan partai politik tertentu, sedangkan yang berada di luar itu kita bisa kategorikan lebih kurang sebagai independen. Di luar soal partai politik, kita juga melihat fenomena tokoh-tokoh politik yang sedang mencalonkan diri tengah sibuk menggelar banyak acara, membangun citra, memoles tampilan, dan mempertinggi dukungan sebagaimana diukur oleh berbagai lembaga survei.
Sejak Pemilu 2009, kita sudah melihat fenomena di mana media sosial digunakan oleh banyak kandidat atau partai politik untuk mendukung pencitraannya. Sementara itu, fenomena buzzer yang aktif bekerja dalam ranah media sosial untuk mempromosikan jagoannya, kita sudah lihat dalam dua pemilu terakhir. Pertanyaannya, bagaimana sikap yang harus diambil media arus utama terhadap fenomena media partisan dan para buzzer tersebut?
Independen, independen, dan independen. Itulah kata kunci yang harus dipegang media seperti Kompas dalam meliput Pemilu 2024. Kompas lahir Juni 1965 dan praktis Kompas sudah hadir mendampingi tujuh presiden Indonesia selama ini. Ke depan, kita akan memiliki presiden ke-8 dan Kompas tentunya harus tetap hadir mendampingi presiden tersebut.
Mendampingi di sini maksudnya adalah hadir sebagai institusi yang memberikan informasi kepada masyarakat, institusi yang memberikan pendidikan dan pencerahan kepada masyarakat, serta menjadi institusi yang menjadi lembaga kontrol sosial. Semua fungsi ini diakui dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Menjadi kritis pada pemerintahan mana pun bukanlah kegenitan atau sekadar nyinyir, melainkan memang ada fungsi yang diakui secara hukum, dan sudah merupakan tugas pers agar terus bersikap kritis yang proporsional pada pemerintahan mana pun.
Pada masa di mana media sosial turut berkompetisi narasi dengan media massa umum, tuntutan pada media massa pun bertambah untuk menjadi tempat melakukan klarifikasi atas berbagai ”informasi” yang masih perlu dipastikan kebenarannya. Memang ini bukan tugas yang mudah.
Pencatat sejarah
Ada kisah menarik di Amerika Serikat, beberapa tahun lalu, ketika Donald Trump terpilih sebagai Presiden ke-45 AS pada tahun 2017-2021. Koran terbesar di AS, TheNew York Times (NYT), merasa menyesal karena koran mereka tak berhasil mendeteksi kemenangan Trump, dan kita tahu bahwa AS ada dalam situasi titik terendah dengan kepemimpinan Trump tersebut. NYT hidup mendampingi lebih dari 30 presiden AS sejak tahun 1865.
NYT adalah salah satu koran yang dibenci Trump karena kebijakan redaksi yang banyak kritis pada pemerintahan Trump. Dalam banyak konferensi pers pada masa itu, Trump tak segan menyebut NYT sebagai penyebar hoaks, penebar kebencian pada dirinya, dan aneka label sejenis. Apa yang dilakukan NYT atas segala tuduhan itu? Mereka tetap bekerja memberikan informasi kepada masyarakat, bahkan NYT menghitung jumlah kebohongan yang setiap hari diucapkan Trump.
Lebih menarik lagi, langganan NYT digital juga meningkat tajam pada masa pemerintahan Trump. Mengapa? Sebab, masyarakat AS tahu presidennya tak bisa dipercaya dan untuk itu mereka membutuhkan informasi yang bisa dipercaya dan pilihan itu jatuh pada NYT.
Tentu saja konteks di Indonesia tak sehitam putih apa yang terjadi di AS. Kita belum tahu kandidat yang akan resmi bertanding di pemilu mendatang, tetapi sudah dari sekarang setiap kandidat mengelus jagonya, para pengikutnya sudah bersikap galak terhadap para pengkritiknya.
Pers yang independen memiliki kehormatan (dignity) yang perlu terus dijaga bahwa mereka adalah lembaga independen yang melihat pemilu sebagai salah satu mekanisme yang pasti akan dilalui sebuah negara yang sudah memilih jalan demokrasi untuk perkembangannya. Tamsil klasik pers sebagai pilar keempat demokrasi di sini menjadi makin relevan maknanya, terutama ketika ketiga pilar demokrasi lainnya perlu diawasi terus-menerus.
Hal sama yang harus terus dilakukan Kompas adalah menjadi lembaga pers yang independen serta tak memihak satu kelompok politik mana pun dan juga kandidat politik tertentu. Kekuasaan politik datang dan pergi, dan akan terus terjadi demikian. Namun, lembaga pers seperti Kompas yang masuk pada dekade keenam hidupnya akan hadir lebih lama dari kekuasaan politik siapa pun.
Kita tentu berharap Kompas akan terus hadir menjadi saksi serta pencatat sejarah bangsa dan negeri ini. Pencatat sejarah bangsa dan negeri seperti Kompas tak perlu takut atau sungkan terhadap mereka yang mengharap simpati atau dukungan dari pers atau melakukan intimidasi pada pers.
Silaturahmi dengan para politisi tetap perlu dilakukan, tetapi kehormatan sebagai institusi pers pun harus terus dijaga para pencatat sejarah ini. Pencatat sejarah inilah yang memberikan informasi dan pendidikan kepada bangsa. Dengan cara demikian pula para pencatat sejarah ini turut membentuk peradaban demokrasi di negeri ini.
Ignatius Haryanto, Anggota Ombudsman Kompas
Jika memiliki pendapat tentang pemberitaan Kompas, silakan kirim pendapat Anda ke e-mail: ombudsman@kompas.id.