Plastik Kemasan Bebas BPA Bukan Berarti Tidak Berisiko
Plastik kemasan yang mengandung ”bisphenol A” atau BPA bisa berisiko buruk terhadap kesehatan. Namun, menggunakan produk plastik kemasan bebas BPA bukan berarti tidak berisiko.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F21%2F63fdf4f8-1412-49ba-be31-2d3f3f3fc6ed_jpg.jpg)
Pekerja mengisi ulang air kemasan galon berbahan polikarbonat di Cilincing, Jakarta Utara, Rabu (21/9/2022). Sebanyak 100 galon diisi ulang dari air bersih yang dipasok dari Bogor. Pengisian satu galon berlangsung tiga menit. Galon isi ulang dijual Rp 4.000. Air kemasan galon guna ulang yang tercemar bisphenol A atau BPA dikhawatirkan mengancam kesehatan masyarakat.
Plastik kemasan yang mengandung bisphenol A bisa berisiko buruk terhadap kesehatan. Namun, menggunakan produk plastik kemasan bebas BPA bukan berarti tidak berisiko sehingga tetap perlu kehati-hatian.
Bisphenol A (BPA) ditemukan dalam plastik polikarbonat dan resin epoksi yang digunakan dalam kemasan makanan sejak 1960-an. Plastik polikarbonat sering digunakan dalam wadah yang menyimpan makanan dan minuman yang memiliki daya tahan baik, seperti galon air isi ulang dan pelapis kaleng logam.
Seperti halnya ketika makanan atau minuman bersentuhan langsung dengan wadah dari bahan apa pun, sejumlah kecil material pengemas dapat berpindah ke dalam makanan atau minuman itu dan dapat tertelan. Masalahnya, sejumlah kajian telah menemukan bahwa material BPA bisa berbahaya bagi kesehatan.
Bahan kimia ini dapat meniru estrogen, hormon yang penting untuk perkembangan dan fungsi reproduksi, dan telah dikaitkan dengan penurunan kesuburan pada pria dan wanita (Expert review of obstetrics & gynecology, 2013), pubertas terlambat pada anak perempuan, serta sebaliknya pubertas dini pada anak laki-laki (Environmental health perspectives, 2018) dan masalah perilaku pada anak-anak (Pediatrics, 2011).
Dengan berbagai temuan ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) melarang penggunaan BPA dalam kemasan susu formula dan botol bayi pada 2013. Sedangkan untuk orang dewasa masih diperbolehkan, tetapi dengan batasan transfer maksimal 50 mikrogram BPA per kilogram makanan.Sedangkan Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) memberikan batas transfer 0,04 nano gram (ng) BPA per kg berat badan per hari pada 2018. Batasan ini 1.000 kali lebih ketat dibandingkan dengan ambang 4 gram BPA per kg berat badan per hari pada 2015.
Pengetatan ini dilakukan karena panel ahli Eropa mengidentifikasi peningkatan jenis sel sistem kekebalan tertentu yang terlibat dalam peradangan paru-paru sebagai hasil kesehatan paling sensitif yang terkait dengan paparan BPA. Selain itu juga ditemukan efek terhadap reproduksi dan perkembangan anak.
Karena efek kesehatan telah diketahui secara luas, sebagian perusahaan menggunakan bahan kimia alternatif untuk produk plastik, yang kemudian dilabeli ”bebas BPA” atau ”BPA free”. Ada dua bahan utama dari plastik yang kerap mencantumkan bebas BPA.
Untuk produk plastik yang bisa dipakai ulang umumnya tetap memiliki kandungan ”BP” karena memiliki struktur kimia dasar bisphenol yang sama walau variasinya berbeda, seperti BPS, BPF, BPAF, BPZ, BPP, BHPF, dan banyak lainnya. Sedangkan untuk produk plastik sekali pakai menggunakan bahan PET atau polietilen tereftalat.
Studi ini menunjukkan bahwa kedua produk yang umum digunakan ini bisa melepaskan partikel plastik berukuran nanometer dengan kepadatan lebih dari 10 triliun per liter saat terkena air panas selama sekitar 20 menit.
Meski demikian, sejumlah studi juga menemukan bahwa alternatif kimia yang dipakai ini tidak lebih aman. Studi Cheryl Rosenfeld, profesor ilmu biomedis di College of Veterinary Medicine, University of Missouri di jurnal PNAS (2020)menemukan,produk plastik berbahan BPS yang dilabeli ”bebas BPA” bisa berbahaya bagi kesehatan. Dalam studi tersebut, Rosenfeld dan timnya melakukan eksperimen pada plasenta tikus.
Dia menemukan, bahan kimia BPS dapat menembus plasenta ibu sehingga apa pun yang beredar dalam darah ibu dapat dengan mudah ditransfer ke anak yang sedang berkembang. Bahan kimia ini memiliki kemampuan untuk menurunkan produksi serotonin plasenta. Kadar serotonin yang lebih rendah dapat membahayakan perkembangan otak janin karena selama masa kritis dalam perkembangan ini otak bergantung pada plasenta untuk memproduksi serotonin.
”Dengan demikian, paparan perkembangan terhadap BPA atau penggantinya, BPS, dapat menyebabkan konsekuensi kesehatan berkepanjangan,” tulis Rosenfeld.
Penelitian ahli genetika Patricia Hunt dari Washington State University dan tim di jurnal Current Biology (2018) ini menemukan bahwa produk pengganti berbasis BPS, BPF, BPAF, dan difenil sulfon dapat mengganggu bagian paling awal dari pembuatan telur dan sperma. ”Mereka (BPS, BPF, BPAF, dan difenil sulfon) sangat mirip dengan BPA,” kata Hunt. ”Masuk akal bahwa mereka akan berperilaku seperti BPA.”
Sementara itu, laporan dari Leonard Sax dari Montgomery Center for Research in Child and Adolescent Development, Pennsylvania, Amerika Serikat, di jurnal Environmental Health Perspectives (2010) menunjukkan, endokrin dapat larut ke dalam isi botol yang terbuat dari PET. Jadi, beberapa bahan kimia dalam plastik berbahan ini juga berpotensi mengganggu estrogen dan hormon reproduksi lainnya, seperti halnya BPA.
Baca juga: Warga Desak Pemerintah Jamin Air Minum Sehat

Mengurangi risiko
Inneke Hantoro, peneliti dari Kelompok Studi Keamanan dan Integritas Pangan, Program Studi Teknologi Pangan, Universitas Katolik Soegijapranata, mengatakan, bahan plastik dari BPA ataupun PET bisa berisiko terhadap kesehatan, selain dampak buruk bagi lingkungan.
Dari aspek lingkungan, penggunaan plastik berbahan PET yang untuk sekali pakai akan memberikan beban lingkungan lebih besar. Sekalipun bisa didaur ulang, dalam konteks Indonesia, banyak juga yang akhirnya dibuang dan menjadi sumber pencemaran di lingkungan sehingga mengganti seluruh galon BPA dengan PET juga tidak akan menyelesaikan masalah.
”Menjadi penting memang melihat berapa banyak material kimia yang ditransfer dari plastik kemasan. Misalnya, kalau plastik polikarbonat apakah level BPA-nya melebihi batas transfer maksimal sebagaimana disyaratkan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan),” ujarnya.
Mengacu Peraturan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, BPOM menetapkan batas maksimal migrasi BPA 0,6 bagian per juta (bpj) atau 600 mikrogram per kg. Nilai ini jauh lebih longgar dibandingkan dengan ambang yang ditetapkan FDA ataupun EFSA.
Menurut Inneke, jika ditemukan adanya transfer yang melebihi ambang, harus diperiksa, apakah ini dari galonnya yang lama atau prosedur pencucian produsen, atau bahkan penyimpanan selama distribusi. Gesekan dan degradasi material, kontak dengan alkali atau detergen, bisa memicu transfer BPA.
Menurut Inneke, risiko transfer BPA terutama dari pemakaian berulang. Semakin lama dipakai ulang, yang artinya berulang kali dibersihkan dan disikat, risiko larutnya BPA bisa lebih tinggi. ”Di lapangan ada galon air yang usianya sampai 10 tahun. Masyarakat bisa memeriksa juga sebenarnya tahun pembuatannya di bagian bawah galon,” ujarnya.
Inneke menambahkan, transfer BPA juga bisa terjadi dalam kondisi asam dan panas. Misalnya, jika wadah yang mengandung BPA ini dipakai untuk air yang panas atau asam, risiko transfer BPA dari kemasan akan lebih tinggi.
Eksperimen yang dilakukan Inneke dan timnya menemukan, kontainer berbahan BPA yang dipanaskan pada suhu 40 derajat bisa memicu terjadinya transfer zat kimia. ”Jadi, kalau misalnya galon isi ulang terpapar sinar matahari dalam waktu lama, hal ini bisa juga memicu risiko pencemaran,” katanya.
Inneke juga mengingatkan bahwa risiko paparan BPA ataupun berbagai bahan pencemar lain dari plastik, tidak hanya berasal dari galon air. Risiko cemaran juga lebih besar jika wadah berbahan PET yang seharusnya untuk sekali pakai ternyata dipakai ulang.
”Memang risiko paparan dari air minum menjadi tinggi karena penggunaannya yang luas. Saat ini mayoritas orang Indonesia tergantung dari air kemasan karena pemerintah belum bisa menyediakan air layak minum untuk kebutuhan keluarga,” ucapnya.

Wadah plastik bisa melepaskan partikel plastik berukuran nanometer dengan kepadatan lebih dari 10 triliun per liter saat terkena air panas selama sekitar 20 menit. Jumlah partikel yang dilepaskan akan meningkat seiring suhu air. Sumber: Christopher Zangmeister dkk. (Environmental Science and Technology, 2022)
Studi juga menemukan, wadah plastik yang biasa dipakai sehari-hari terbukti bisa melepaskan partikel pencemar berukuran nano dalam jumlah besar jika terkena air panas.
Temuan ini dipublikasikan ahli kimia National Institute of Standards and Technology (NIST) Amerika Serikat, Christopher Zangmeister dan tim di jurnal Environmental Science and Technology pada 2021.
Dalam studi ini, para peneliti NIST mengamati dua jenis produk plastik komersial, yaitu plastik nilon untuk makanan (food grade) berupa lembaran plastik bening yang ditempatkan di loyang untuk menciptakan permukaan antilengket yang mencegah hilangnya kelembaban kue. Produk kedua adalah wadah minuman panas sekali pakai yang biasa dipakai untuk cangkir kopi. Gelas minuman yang mereka analisis ini dilapisi dengan polietilen densitas rendah (LDPE), film plastik fleksibel lembut yang sering digunakan sebagai pelapis.
Studi ini menunjukkan bahwa kedua produk yang umum digunakan ini bisa melepaskan partikel plastik berukuran nanometer dengan kepadatan lebih dari 10 triliun per liter saat terkena air panas selama sekitar 20 menit. Jumlah partikel yang dilepaskan akan meningkat seiring suhu air.
Sekalipun berbagai eviden telah menunjukkan risiko pencemaran plastik bagi kesehatan dan lingkungan, tetapi menghindari secara total penggunaannya tidaklah mudah. Untuk itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk meminimalkan risiko.
Di level kebijakan, penting untuk terus memantau tingkat pencemaran plastik dari kemasan, terutama yang bisa dipakai ulang agar tidak melebihi ambang. Selain itu, perlu ada penyesuaian nilai ambang cemaran dengan mengacu pada data riset terbaru, bisa dengan mengacu pada lembaga otoritas negara lain.
Baca juga: Kaji Dampak Paparan BPA pada Air Minum Dalam Kemasan Galon
Sedangkan bagi masyarakat, penting untuk tidak menggunakan wadah plastik untuk makanan atau minuman dalam kondisi panas atau asam serta menyimpannya di tempat terlindung dari sinar matahari. Umur plastik yang bisa dipakai ulang juga harus dibatasi, sedangkan jenis plastik sekali pakai tidak boleh dipakai ulang.