Pandemi Belum Berakhir, Vaksinasi Penguat Perlu Didongkrak
”Saat ini ibaratnya kita sedang berada di lomba maraton dan garis finis sudah di depan mata, Kita tak berhenti begitu saja. Justru kita harus tetap berupaya dan waspada,” kata Juru Bicara Pemerintah Reisa Broto Asmoro.
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO masih menyatakan bahwa Pandemi Covid-19 belum berakhir. Kendati begitu, akhir dari pandemi diyakini sudah ada di depan mata. Pemerintah meminta masyarakat untuk saling bekerja sama menerapkan protokol kesehatan dan melengkapi diri dengan vaksinasi penguat yang cakupannya masih rendah.
”Memang kita belum sampai di sana, tetapi akhir pandemi sudah di depan. Saat ini ibaratnya kita sedang berada di lomba maraton dan garis finis sudah di depan mata, kita tidak berhenti begitu saja. Justru kita harus tetap berupaya dan waspada. Jangan lengah sampai kita menang,” ujar Juru Bicara Pemerintah Reisa Broto Asmoro di Kantor Presiden dalam keterangan pers yang diunggah di kanal Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (23/9/2022).
Sebelumnya, menurut Reisa, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus sempat menyebut bahwa akhir pandemi telah di depan mata. ”Tepat pada saat ini kita sudah 926 hari berada dalam pandemi atau tepatnya sudah 2 tahun 6 bulan 12 hari menghadapi wabah raya Covid-19. Meski status pandemi masih dinyatakan berlangsung oleh WHO sebagai satu-satunya badan yang memiliki otoritas untuk menilai dan mengevaluasi status kedaruratan Covid-19,” kata Reisa.
Reisa menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo juga terus mengingatkan pandemi belum berakhir dan agar warga Indonesia terus berhati-hati, tetap waspada, serta tidak tergesa-gesa. Reisa mencontohkan pandemi flu tahun 1918 yang diperkirakan memakan korban lebih dari 53 juta jiwa yang berlangsung selama 3 tahun.
Dalam keterangannya, Reisa menjelaskan bahwa WHO telah mengeluarkan enam kertas kebijakan atau policy briefs sebagai rujukan semua negara dan otoritas kesehatan negara-negara di dunia dalam langkah penutupan pandemi Covid-19. ”Enam panduan tersebut memuat tindakan-tindakan penting yang dapat diterapkan oleh pembuat kebijakan nasional dan daerah,” ucap Reisa.
Enam kebijakan itu adalah mencapai target vaksinasi, melakukan testing dan sequencing, memastikan sistem kesehatan untuk pelayanan Covid-19, mempersiapkan lonjakan kasus, melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian, serta menyampaikan informasi terkait dengan Covid-19 kepada masyarakat.
Dihubungi secara terpisah pada Jumat (23/9/2022), Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, menyatakan, kewenangan penetapan dan pencabutan status pandemi ada di WHO. Hal ini bukan perkara gampang karena WHO juga harus meminta masukan para ahli perwakilan negara-negara di dunia melalui pertemuan komite yang berkala.
Bersama Epidemiolog Senior I Nyoman Kandun, Dicky menjadi representasi ahli dari Indonesia untuk memberi masukan ke WHO setiap 3-4 bulan sekali. ”Inilah pentingnya memahami bahwa status pandemi sekali lagi menjadi suatu situasi yang tidak mudah ditetapkan, ada rujukannya, ada indikatornya, kemudian tidak serta-merta mudah dicabut,” ucapnya.
Rujukan data
Dicky menambahkan, untuk pencabutan pandemi, harus ada rujukan data dan setidaknya sepertiga negara di dunia ini telah memasuki fase terkendali. Saat ini, menurut Dicky, Indonesia sudah berada di jalur yang tepat dalam penanganan Covid. Namun, masih ada kelemahan dalam beberapa hal, seperti penguatan sistem pelayanan kesehatan, surveilans, serta kemampuan deteksi dan vaksinasi.
Vaksinasi dosis penguat, misalnya, masih menjadi isu di Indonesia. Apalagi, masih ada kelompok yang belum memperoleh vaksin, terutama anak-anak. ”Status pandemi ini harus juga saya ingatkan, sebetulnya WHO tidak menetapkan ini pandemi. Enggak begitu. Jadi, pandemi ini status yang lebih istilah populer karena di dalam konvensi internasional yang dikenal oleh dunia dan dalam hal ini adalah kewenangan WHO ada namanya, public health emergency of international concern (PHEIC),” kata Dicky.
PHEIC atau Kedaruratan Kesehatan Masyarakat ini mendahului status kondisi pandemi. ”Yang umumnya saat ini tidak serta-merta kalau ditetapkan PHEIC langsung jadi pandemi. Eggak, monkey pox statusnya public health emergency of international concern juga, polio juga. Ada tiga penyakit yang statusnya sama saat ini, Covid, monkey pox dan polio, tapi hanya Covid yang dalam status pandemi dalam artian menyebar,” ujarnya.
Status PHEIC menjadi penting karena akan mendorong kolaborasi global yang lebih mudah dan kuat. Sumber daya global juga bisa lebih mudah dikerjasamakan untuk penanganannya. Indikator PHEIC adalah penyakit yang sudah lintas negara, lintas benua, dan semua berisiko.
Baca juga: Pandemi di AS Berakhir, Presiden: Indonesia Tak Perlu Tergesa-gesa
”Kita tunggu saja penetapan WHO dan sembari menunggu, ini masa transisi. upayakan mencapai lima pilar yang ditetapkan WHO, sesuai dengan target, 3T-nya, penguatan sistem kesehatannya, surveilans, kemampuan deteksi dan tentu di sini vaksinasi,” katanya.
Dicky menegaskan bahwa pandemi Covid-19 saat ini masih mematikan. Namun, masyarakat sudah banyak divaksin, khususnya tiga dosis, sehingga membuat virus terkesan lemah. ”Jadi, sebetulnya virus penyebab Covid ini bukan melemah, tetapi modal imunitas kita yang membuat ini terkesan melemah. Tapi, bahwa dia mematikan tetap mematikan buktinya pada risiko tinggi tetap mematikan, ini yang harus kita lindungi dengan 5M, 3T, dan vaksinasi,” ucap Dicky.
Hingga 22 September 2022, cakupan vaksinasi dosis pertama adalah 204.092.015. Cakupan vaksinasi dosis kedua adalah 170.705.854, sedangkan vaksinasi dosis penguat masih hanya 62.822.244. ”Berarti masih ada sekitar 100 juta orang yang sudah vaksin kedua, tetapi belum ketiga. WHO mengingatkan, total populasi yang sudah di-booster harus sudah 50 persen. Ini negara kita masih jauh ketinggalan,” kata Reisa.
Reisa menambahkan, Kementerian Kesehatan sedang berupaya menggunakan strategi jemput bola dengan mendatangi tempat-tempat publik untuk mendongkrak vaksinasi booster yang mengalami stagnasi. Saat ini, informasi lokasi vaksinasi terdekat juga sudah bisa diakses melalui aplikasi Pedulilindungi.
Penilaian risiko
Pada 22 September 2022, terdapat penambahan sebanyak 2.162 kasus konfirmasi positif Covid-19. Sebanyak 18 orang meninggal dunia sehingga jumlah kasus aktif adalah 23.503 orang. Saat ini, tingkat keterisian kamar rumah sakit atau BOR nasional tergolong cukup rendah di kisaran 5 persen.
Kurva BOR nasional, tren kasus konfirmasi positif, dan kasus aktif nasional juga menunjukkan tren penurunan. Positivity rate dalam seminggu terakhir turun ke angka 7 persen dan fatality rate berada di angka 2,4 persen.
”Beberapa indikator suatu negara siap masuk fase endemi adalah laju penularan kasus harian kurang dari 5 persen, angka kasus aktif juga harus kurang dari 5 persen, tingkat kematian atau fatality rate sekitar 2 persen dan angka BOR kurang dari 5 persen, di mana pengamatan dilakukan dalam waktu enam bulan,” kata Reisa.
Selanjutnya, masyarakat juga diharapkan sudah mampu menilai sendiri risiko yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. ”Ini sangat penting kemampuan seseorang untuk dapat melakukan penilaian risiko, termasuk disiplin kita untuk menjaga diri agar tidak terinfeksi dengan menjalankan gaya hidup bersih dan sehat. Kuncinya adalah perbaikan kondisi status kesehatan kita,” ucap Reisa.
Salah satu faktor yang memperberat risiko kematian akibat Covid-19 adalah memiliki penyakit komorbid yang tidak terkontrol. Risiko keparahan akan meningkat jika pasien memiliki penyakit penyerta, seperti penyakit jantung, kadar lemak yang tinggi, diabetes melitus , dan penyakit gangguan pernapasan. Penyakit ginjal, bahkan, bisa meningkatkan risiko kematian hingga 13,7 kali lebih besar.
Karena, daya tahan tubuh yang tercipta akibat vaksinasi akan menurun seiring waktu, Reisa kembali meminta masyarakat untuk mengakses vaksin penguat. ”Memang hingga saat ini kita tidak tahu sampai kapan harus melakukan suntikan vaksinasi. Paling tidak manfaatkanlah upaya pemerintah untuk melindungi rakyatnya yang memberikan gratis,” ujarnya.
Di sisi lain, status pandemi juga menyebabkan sekitar 1,7 juta anak Indonesia tidak mendapatkan hak imunisasi lengkap pada periode 2020 hingga 2021. Hal ini membuka risiko merebaknya penyakit yang bisa dicegah dengan vaksinasi, seperti difteri, campak, hingga terganggunya status bebas polio Indonesia. Masyarakat diajak memanfaatkan program Bulan Imunisasi Anak Nasional yang akan berakhir pada 30 September.
Reisa menyebut beberapa provinsi, seperti Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Banten, telah mencapai lebih dari 95 persen minimal cakupan imunisasi campak rubella. Namun, ia menyebut adanya fenomena urban paradoks, di mana kota-kota besar di Jawa Tengah dan Jawa Barat, seperti Tegal, Magelang, Semarang, Bandung, Bekasi, dan Depok, justru berada di peringkat bawah pencapaian sasaran capaian imunisasi atau belum mencapai 80 persen.
Sementara kabupaten-kabupaten, seperti Lamongan, Majalengka, dan Kepulauan Seribu, justru mencapai cakupan imunisasi hingga 100 persen. Artinya, semua anak di kabupaten-kabupaten tersebut terlindungi dari bahaya penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. ”Segera lengkapi status imunisasinya karena anak Indonesia terlindungi, Indonesia pasti maju,” ujarnya.