Program lumbung pangan atau ”food estate” dilaksanakan dengan berbagai cara yang tidak mengindahkan aspek lingkungan ataupun sosial. Hal ini dinilai akan berdampak terhadap kerusakan ekologis di masa depan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan program lumbung pangan atau food estate dapat berdampak terhadap kerusakan ekologis. Selain pelaksanaannya yang berada di kawasan sekitar hutan konservasi dan lindung, food estate juga berpotensi merusak lingkungan karena kajiannya tidak mengindahkan perencanaan berbasis lanskap.
Koordinator Nasional Pantau Gambut Iola Abas mengemukakan, adanya indikasi dampak kerusakan ekologis akibat pelaksanaan food estate tersebut diperoleh dari hasil analisis Pantau Gambut. Salah satu pertimbangan tersebut adalah lokasi food estate yang berada di kawasan sekitar hutan konservasi dan lindung.
”Sebagai contoh, di sekeliling wilayah Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, sudah diperkirakan akan menjadi lokasi pembukaan food estate. Saat ini juga ada tumpang tindih lokasi food estate dengan wilayah konsesi,” ujarnya dalam dialog publik bertajuk ”Food Estate, Sengkarut Lumbung Pangan Indonesia” secara daring, Jumat (23/9/2022).
Berdasarkan analisis spasial yang dilakukan Pantau Gambut, tumpang tindih ini ditemukan di kawasan eks proyek lahan gambut (PLG) 1 juta hektar. Di kawasan ini juga terdapat wilayah hak guna usaha (HGU) yang cukup masif, termasuk di sekitar wilayah food estate.
Selama ini persoalan sistem pangan kerap menyingkirkan tata kelola pangan dan tidak berbasis hak masyarakat.
Menurut Iola, program food estate juga diperkirakan akan menimbulkan kerusakan ekologis karena adanya pembukaan lahan di kawasan yang masih dalam satu ekosistem kesatuan hidrologis gambut (KHG). Padahal, KHG merupakan salah satu aspek penting dalam pengelolaan gambut yang berkelanjutan sehingga ekosistem ini harus benar-benar terjaga.
”Kajian lingkungan hidup strategis dari food estate ini tidak mengindahkan perencanaan berbasis lanskap. Food estate dibangun dalam satu kawasan ekosistem gambut dengan wilayah restorasi. Ini menimbulkan pertanyaan apakah restorasi menjadi efektif atau tidak,” tuturnya.
Iola menyebut, pada dasarnya, lahan gambut memang bisa dijadikan kawasan untuk produksi tanaman. Namun, lahan gambut yang rusak terlebih dahulu harus dipulihkan melalui pembasahan secara berkelanjutan dan hal ini belum dilakukan secara optimal.
Guna menghindari kerusakan ekologis yang semakin parah, Iola merekomendasikan agar pemerintah memperbaiki indikator ketahanan pangan. Alih-alih melakukan ekspansi food estate, pemerintah perlu memperbaiki indikator seperti distribusi dalam sistem pangan.
Selain itu, pemerintah juga diminta untuk tidak melakukan alih fungsi kawasan hutan dan lahan gambut dengan alasan ketahanan pangan. Di sisi lain, diperlukan juga intensifikasi lahan pertanian di tanah mineral yang ada dan memberdayakan petani di kawasan tersebut.
Peneliti Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences (CTSS) IPB University, Laksmi Adriani Savitri, menyatakan, selama ini persoalan sistem pangan kerap menyingkirkan tata kelola pangan dan tidak berbasis hak masyarakat. Padahal, tata kelola pangan ini perlu dicermati karena menyangkut aspek kebijakan, struktur ekonomi politik pangan, dan tingkatan yang berbeda dari lokal hingga global.
”Dalam program food estate ini ada sebuah masalah kebijakan atau tata kelola sistem pangan yang berulang sejak lama. Namun, pengulangan kegagalan program food estate ini tidak pernah dibenahi,” tuturnya.
Laksmi menegaskan, pengelolaan pangan pokok tidak bisa dilakukan dalam skala besar dan berbasis korporasi. Sebab, program ini tidak menyediakan ruang untuk proses integrasi sosial dan budaya warga setempat pada sistem ekonomi baru yang di antaranya mencakup komoditas, cara budidaya tanaman, hingga pengenalan pada perbankan.
Menurut Laksmi, pemerintah harus melakukan sebuah proses transformasi jika ingin membuat sistem pangan di Indonesia menjadi lebih baik. Transformasi itu bisa dilakukan dengan mengubah tata kelola pangan dalam perspektif hak asasi manusia, memperpendek rantai pasok pangan, menghentikan proyek pangan skala luas, dan mendasarkan tata kelola ini pada prinsip kedaulatan pangan.