Penerimaan Pajak Karbon Harus Dipastikan untuk Mitigasi Perubahan Iklim
Pajak karbon sebagai instrumen untuk pengendalian perubahan iklim merupakan salah satu gebrakan fiskal. Namun, penerimaan dari pajak karbon ini harus dipastikan digunakan untuk upaya mitigasi perubahan iklim.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Lanskap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, Merak, Banten, Kamis (19/5/2016). Pajak karbon akan diberlakukan bagi kegiatan PLTU batubara.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan akan menerapkan pajak karbon atas emisi yang dihasilkan dari kegiatan industri yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup.Namun, sebelum resmi diimplementasikan, pemanfaatan dana pajak karbon ini harus diawasi dan dipastikan kembali untuk pembiayaan berbagai program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengemukakan, penerapan pajak bagi kegiatan yang tidak ramah lingkungan bertujuan mengubah perilaku perusahaan ataupun individu terkait. Dengan kata lain, penerapan pajak karbon ini tidak hanya sebagai instrumen untuk meningkatkan penerimaan negara.
”Mengingat implementasinya masih sangat baru di Indonesia, tarif pajak karbon relatif lebih rendah dari negara-negara lain. Namun, ini masih tarif minimum dan kemungkinan dapat disesuaikan ke depan,” ujarnya dalam seminar tentang mitigasi perubahan iklim melalui pajak karbon dan energi terbarukan yang diikuti secara daring, Rabu (21/9/2022).
Kata ’dapat’ di pasal tersebut cenderung multitafsir karena dalam ayat lainnya disebutkan penggunaan pajak karbon dilakukan sesuai kebutuhan pemerintah.
Pokok pengaturan pajak karbon diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Tarif paling rendah pajak karbon yang ditetapkan ialah Rp 30 per kilogram setara karbon dioksida (kgCO2e) atau Rp 30.000 per ton CO2e.
Menurut Bhima, semua pihak perlu menyoroti penggunaan dana dari pajak karbon ini agar tidak terjadi kasus seperti di negara lain, misalnya Eropa, khususnya wilayah Skandinavia. Sebab, hasil kajian menunjukkan bahwa 74 persen pemanfaatan dana pajak karbon di negara lain ini digunakan untuk belanja yang tidak berkaitan dengan perubahan iklim.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta menggelar aksi di depan Gedung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta, Jumat (11/12/2020). Dalam teatrikal tersebut, para aktivis menyerukan agar pemerintah menghentikan proyek PLTU Batubara Jawa 9 dan 10 karena dinilai sebagai penyumbang emisi dan merusak lingkungan.
Berdasarkan Pasal 13 Ayat 11 UU No 7/2021, penerimaan dari pajak karbon memang dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. Namun, Bhima memandang, kata ’dapat’ di pasal tersebut cenderung multitafsir karena dalam ayat lainnya disebutkan penggunaan pajak karbon dilakukan sesuai dengan kebutuhan pemerintah.
”Pajak karbon sebagai instrumen untuk pengendalian perubahan iklim secara politis itu sangat baik dan kita harus dukung karena ini merupakan salah satu gebrakan fiskal. Namun, hal yang perlu diawasi, yaitu uang dari pajak karbon ini harus dipastikan masuk kembali kepada mitigasi perubahan iklim,” ucapnya.
Selain dialokasikan untuk upaya mitigasi perubahan iklim, dana pajak karbon juga bisa digunakan untuk memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah yang memiliki kesadaran dalam mengembangkan daerahnya secara berkelanjutan. Penghargaan ini dapat berupa pemberian dana alokasi khusus atau dana insentif daerah.
Bhima menegaskan, upaya yang perlu disoroti saat ini dalam mengatasi krisis iklim ialah keterlibatan para pihak dalam aspek ekonomi, politik, dan hukum. ”Berbahaya bila kebijakan ekonomi dan politik tidak mendukung kajian para ilmuwan. Selama ini juga masih ada anggapan bahwa tidak ada lapangan pekerjaan untuk sektor ekonomi hijau,” katanya.
Terkait dengan upaya Indonesia dalam melakukan transisi energi, Bhima memastikan bahwa hal ini tetap dilakukan meski dengan dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terbatas. Sebab, pada dasarnya biaya transisi energi saat ini sudah murah dibandingkan saat 40-50 tahun lalu.
”Salah satu contohnya adalah biaya instalasi untuk solar panel atau pembangkit listrik dari tenaga panas matahari. Biaya ini sudah mengalami penurunan bahkan 300 kali lipat lebih murah dibandingkan dengan 40 tahun yang lalu,” ujarnya.
Potensi EBT
Sekretaris Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sahid Junaidi mengatakan, Indonesia memiliki potensi EBT yang besar, tersebar, dan beragam untuk mendukung ketahanan energi nasional sekaligus pencapaian target bauran EBT.
Kementerian ESDM mencatat, porsi EBT dalam bauran energi primer Indonesia pada 2021 telah mencapai 12,2 persen. Sementara target bauran energi pada 2025 sebesar 23 persen. Sejumlah program yang dilakukan untuk mencapai target tersebut di antaranya pembangunan pembangkit listrik tenaga (PLT) EBT, mandatori B30, eksplorasi panas bumi, elektrifikasi kendaraan, serta menerapkan pajak dan perdagangan karbon.
Sahid mengakui, pengembangan EBT di Indonesia sampai saat ini masih menemui sejumlah tantangan. Beberapa tantangan itu meliputi titik potensi EBT yang tersebar, produk pendukung infrastruktur masih mahal, ketertarikan perbankan untuk berivestasi masih rendah, dan terbatasnya kemampuan sistem jaringan menyerap listrik dari PLT EBT.
Untuk mengatasi hal tersebut, kata Sahid, pemerintah telah menyusun strategi untuk percepatan pengembangan EBT. Selain menyelesaikan kerangka regulasi untuk mendukung investasi dan pendanaan, pemerintah juga terus melakukan eksplorasi, kolaborasi, dan mendorong aplikasi inovasi teknologi untuk mengatasi masalah teknis pembangkit EBT.