Kekerasan Seksual Terus Berulang, Perlindungan Anak Harus Semakin Kuat
Kejahatan seksual pada anak tidak hanya menjadi fenomena gunung es, tetapi juga menjadi kejahatan yang terus berulang. Upaya melawan dan menghentikan kekerasan seksual pada anak harus lebih serius.
Kekerasan seksual terus membayangi anak-anak di Tanah Air, baik mereka yang tinggal di perkotaan maupun perdesaan. Pelaku kejahatan seksual pada anak pun tak pandang umur, mulai dari orang dewasa hingga usia anak-anak. Lokasi kejadian pun tidak lagi di area-area tertutup, tetapi juga di ruang-ruang publik, seperti di hutan kota.
Kesadaran dan kepedulian semua pihak harus terus dibangun. Hal ini agar bisa melindungi anak-anak dari kejahatan seksual dan menghindarkan mereka agar tidak terus menjadi korban.
Belakangan ini kita diikejutkan dengan kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang anak perempuan (13) pada awal September 2022. Lokasi kejadian di hutan kota di Jakarta Utara, dengan terduga pelaku empat anak berusia 12-14 tahun. Pelaku berusia anak disebut dengan anak berhadapan dengan hukum (ABH).
Dari informasi yang dihimpun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), kasus tersebut bermula saat korban pulang sekolah dan bertemu dengan keempat anak di hutan kota Jakarta Utara, Kamis (1/9/2022). Salah satu anak memeluk korban dan menanyakan apakah korban mau menjadi kekasihnya, tetapi korban menolak.
Baca juga : Jalan Pintas di Hutan Kota Berujung Pemerkosaan
Keesokan harinya, keempat anak tersebut kembali bertemu korban saat pulang sekolah dan terjadi pemerkosaan. Kementerian PPPA melalui Tim SAPA berkoordinasi dengan Unit Pelayanan Teknis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) DKI Jakarta dan melakukan pendampingan terhadap korban. Adapun keempat ABH tersebut saat ini ditempatkan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) Handayani Jakarta.
”Hutan kota sebagai area publik, jika tanpa pengawasan, akan berisiko menjadi tempat rentan terjadinya kekerasan terhadap anak dan perempuan,” ujar Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar, Selasa (20/9/2022).
Untuk mencegah tidak berulangnya tindak kekerasan seksual ataupun kekerasan lain, Nahar mendorong pemerintah daerah memastikan ketersediaan fasilitas umum yang ramah anak, antara lain ruang bermain ramah anak (RBRA), rute aman selamat sekolah (RASS), dan zona selamat sekolah (ZoSS), termasuk menyiapkan petugas untuk melakukan patroli keliling pada jam-jam operasional di fasilitas umum.
”Kementerian PPPA mengecam dan tidak menoleransi segala bentuk kekerasan seksual terhadap anak,” ujar Nahar.
Tidak hanya di hutan kota, kekerasan seksual terhadap anak juga terjadi di lingkungan tempat tinggal anak-anak, seperti yang terjadi pada anak perempuan berusia 10 tahun di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Siswa sekolah dasar tersebut diperkosa orang tak dikenal di halaman rumahnya pada Minggu (11/9/2022) petang.
Jangan hanya ribut kalau sudah terjadi kasus. Upayakan pencegahan secara maksimal. Kebijakan keselamatan anak di berbagai institusi jadi kata kunci yang harus dikuatkan.
Kejadian tersebut terungkap bermula dari cerita korban kepada orangtuanya pada hari yang sama dengan kejadian. Korban kemudian dibawa orangtuanya ke RS Sari Asih Ciputat. Namun, karena di RS Sari Asih Ciputat tidak tersedia dokter forensik, pihak rumah sakit merujuk orangtua korban untuk segera membuat laporan di Kepolisian Resor Tangerang Selatan.
Pada keesokan paginya, keluarga korban melaporkan kasus tersebut ke Polres Tangerang Selatan dan dilakukan visum et repertum. Hasil visum menunjukkan luka yang dialami korban cukup parah sehingga korban harus dirawat di RSUD Tangerang Selatan.
Atas kejadian tersebut, orangtua diingatkan agar mengawasi anak pada saat bermain meskipun itu di area perumahan sendiri. Masyarakat sekitar juga diharapkan ikut melindungi anak. Jika mengetahui, melihat, menyaksikan kekerasan terhadap anak dan perempuan, masyarakat diminta segera melaporkannya.
Baca juga : Kekerasan Seksual terhadap Anak, dan oleh Anak
Anak-anak pun didorong untuk berani melapor jika mengalami kekerasan seksual. Hal ini seperti yang dilakukan anak-anak korban kekerasan seksual dengan pelaku calon pendeta, SAS (35), di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.
Kasus kekerasan tersebut kini ditangani kepolisian setempat. Pada awalnya terdapat sembilan korban yang melapor ke Polres Kabupaten Alor. Namun, setelah ditelusuri, terdapat seorang korban lainnya yang diduga mengalami persetubuhan dan dua orang diduga mengalami pencabulan atau percobaan kekerasan seksual.
Penyakit menular
Anak korban kejahatan seksual tidak hanya mengalami trauma, tetapi juga mengalami dampak-dampak serius dalam tumbuh kembangnya, termasuk dampak kesehatan serius.
Hal ini dialami seorang anak perempuan, J (12) di Medan, Sumatera Utara. Korban diduga mengalami pemerkosaan selama bertahun-tahun oleh pelaku yang merupakan keluarga dekatnya. Belakangan korban diketahui terinfeksi HIV/AIDS dan kini menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Pusat H Adam Malik Medan.
Kementerian PPPA meminta kepolisian menyelidiki kasus tersebut dan, jika terbukti, menuntut pelaku dengan ancaman pidana seberat-beratnya sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016. Saat ini, Kementerian PPPA memastikan upaya perlindungan khusus bagi anak (PKA) terhadap J juga dilakukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang PKA, khususnya anak korban kejahatan seksual dan anak dengan HIV/AIDS.
Edukasi
Melihat terus terjadinya kasus kekerasan terhadap anak, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati sangat prihatin, juga dengan beragamnya kasus kekerasan seksual yang menimpa anak. ”Yang paling utama sekali bagaimana mengedukasi anak-anak serta keluarga agar menjaga anak-anak. Kebijakan pencegahan yang harus maksimal dari pemerintah daerah karena urusan perlindungan anak wajib dilakukan pemerintah daerah. Jangan hanya sekadar program,” ujar Rita.
Dukungan perlindungan anak juga harus ditunjukkan masyarakat dan lingkungan, begitu juga di lingkungan pendidikan. ”Jangan hanya ribut kalau sudah terjadi kasus. Upayakan pencegahan secara maksimal. Kebijakan keselamatan anak di berbagai institusi jadi kata kunci yang harus dikuatkan,” tuturnya.
Baca juga : Kekerasan Seksual Terulang
Komisioner KPAI, Jasra Putra, beberapa kali dalam pernyataannya mengajak semua bergerak mengurangi ancaman buat anak. Ia mengingatkan masih banyaknya pelaku kejahatan seksual di Indonesia yang menyembunyikan perbuatan bejatnya kepada anak-anak. Apalagi, pelakunya dibalut sebagai tokoh atau sosok yang selama ini diimajinasikan sebagai penjaga moral yang wajib dihormati dan disegani masyarakat.
Selama ini, karena mempertimbangkan posisi pelaku, para korban menahan diri bicara kepada orangtuanya. Ini membuat korban mendapatkan perlakuan kekerasan berulang-ulang. Anak anak korban dipaksa memikul beban berat yang tidak seharusnya demi memilih menjaga pelaku karena mendapat ancaman. Beberapa korban akhirnya tidak tahan dan melapor kepada orangtua mereka, yang kemudian dilanjutkan ke kepolisian.
”Ini realitas kejahatan seksual anak. Masih banyak pelaku orang dewasa yang menjustifikasi perbuatannya, menyembunyikan, atas nama alasan kebenaran, dibungkus berbagai profesi yang katanya mendidik anak, lalu mereka memanipulasi anak, orangtua, lingkungan, dan masyarakat. Seolah-olah perbuatannya benar, agar para korban patuh menerima aksi bejatnya,” kata Jasra.
Karena itu, penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak dengan pidana pasal berlapis seharusnya diterapkan. Apalagi, Indonesia memiliki sejumlah regulasi, mulai dari Undang-Undang Perlindungan Anak yang mengamanatkan pemberatan hukuman, bahkan menjerat pelaku sampai hukuman mati, hingga Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), Peraturan Presiden tentang PKA, dan Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak.