Menakar Polemik Penggunaan Air Minum Kemasan Galon
Polemik penggunaan air minum dalam kemasan galon berbahan polikarbonat masih terjadi. Hal ini seharusnya bisa diatasi jika pemerintah mampu menyediakan air minum yang aman dan layak di masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan air kemasan galon berbahan polikarbonat masih menuai polemik. Air kemasan galon guna ulang yang tercemar Bisphenol A dikhawatirkan mengancam kesehatan masyarakat. Di lain sisi, jika menggunakan air kemasan sekali pakai, hal itu mengancam kesehatan lingkungan.
Pakar polimer dari Institusi Teknologi Bandung, Akhmad Zainal Abidin, mengatakan, potensi penyakit akibat Bisphenol A (BPA) sangat bergantung pada konsentrasi paparan BPA. Oleh sebab itu, studi ilmiah khusus terkait paparan BPA dari penggunaan air minum kemasan galon di Indonesia perlu dilakukan.
”Kita (Indonesia) belum melakukan studi ilmiah tersebut. Selama ini kita lebih sering mengadopsi aturan dari luar. Padahal, kondisinya bisa berbeda. Kajian komparasi di Indonesia diperlukan sebelum akhirnya diadopsi menjadi peraturan ambang batas,” katanya di Jakarta, Sabtu (17/9/2022).
Menurut Akhmad, kemasan galon beserta tutupnya dengan bahan polikarbonat masih aman digunakan untuk produk air minum dalam kemasan. Potensi bahaya BPA yang patut diperhatikan justru pada produk lain, seperti kertas termal yang biasa digunakan di printer alat pembayaran di kasir ataupun bahan tambal gigi berbasis komposit epoksi.
Selama ini kita lebih sering mengadopsi aturan dari luar. Padahal, kondisinya bisa berbeda. Kajian komparasi di Indonesia diperlukan sebelum akhirnya diadopsi menjadi peraturan ambang batas (bpa pada air minum dalam kemasan). (Akhmad Zainal Abidin)
Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan adanya kandungan BPA dalam air minum dalam kemasan polikarbonat melebihi ambang batas yang ditentukan 0,6 bagian per juta (ppm) di enam daerah. Dari hasil uji migrasi BPA pada AMDK yang melebihi 0,6 ppm menunjukkan 3,4 persen di antaranya ditemukan pada sarana distribusi dan peredaran.
Sementara hasil uji migrasi BPA yang mengkhawatirkan sebesar 0,05-0,6 ppm sebanyak 46,97 persen ditemukan di sarana distribusi dan peredaran serta 30,19 persen di sarana produksi. Adapun uji kandungan BPA pada AMDK melebihi 0,01 ppm sebanyak 5 persen ditemukan di sarana produksi serta 8,6 persen di sarana distribusi dan peredarannya.
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan POM Rita Endang, Rabu(14/9/2022), menuturkan, rancangan revisi peraturan Badan POM terkait label pangan olahan masih dalam pembahasan. Dalam revisi tersebut akan diatur ketentuan baru dalam pelabelan pangan olahan, termasuk AMDK.
Terdapat dua hal yang akan diatur terkait AMDK, yakni kewajiban mencantumkan tulisan simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari sinar matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam, serta pada AMDK yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat wajib mencantumkan tulisan ”berpotensi mengandung BPA” pada label.
Revisi pada aturan tersebut, lanjut Rita, menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan perlindungan bagi masyarakat. Dari sejumlah studi yang menjadi rujukan, paparan BPA berpotensi berbahaya bagi kesehatan, seperti gangguan reproduksi, kanker, gangguan kardiovaskular, dan gangguan perkembangan otak.
”Poin penting dari revisi rancangan peraturan (label pangan olahan) tersebut yaitu tidak melarang penggunaan kemasan galon polikarbonat sehingga dapat dipastikan tidak ada kerugian ekonomi bagi pelaku usaha,” katanya.
Ketua Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia Rachmat Hidayat, di Jakarta, Minggu (18/9/2022), menuturkan, industri air kemasan menolak adanya revisi aturan tersebut. Sebab, tidak ada bukti yang nyata yang ditemukan di masyarakat dari dampak bahaya penggunaan kemasan polikarbonat untuk air minum kemasan galon.
Apabila aturan tersebut diterbitkan, berbagai kerugian justru bisa terjadi. Jika industri air minum kemasan galon harus mengganti kemasan galon polikarbonat menjadi galon berbahan polietilena tereftalat (PET), kerugian yang harus ditanggung bisa mencapai Rp 6 triliun. Sementara lebih dari 90 persen pelaku usaha air minum menggunakan kemasan galon berbahan polikarbonat.
”Revisi aturan tersebut juga tidak adil karena potensi bahaya pada kemasan pangan olahan tidak hanya dari bahan polikarbonat. Bahan PET pun juga berpotensi berbahaya bagi kesehatan. Selama ini ambang batas juga sudah sesuai sehingga tidak perlu ada keterangan potensi bahaya pada label kemasan,” ucap Rachmat.
Selain itu, ia menyampaikan, penggunaan kemasan galon berbahan PET sekali pakai dapat berdampak bagi lingkungan. Dengan kondisi masyarakat Indonesia belum memiliki budaya memilah dan mengolah sampah dengan baik, timbulan sampah plastik dikhawatirkan semakin besar.
Pakar teknologi pangan dari Institut Pertanian Bogor, Nugraha Edhi Suyatma, menambahkan, studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk membuktikan dampak paparan BPA dari penggunaan air minum dalam kemasan (AMDK) galon. Paparan BPA dapat berbahaya jika dalam konsentrasi tinggi. Sementara diperkirakan migrasi yang terjadi pada penggunaan AMDK galon guna ulang masih rendah.
”Belum ada bukti konkret. Negara yang melarang penggunaan polikarbonat karena di negara itu, seperti Perancis, tidak ada polikarbonat. Air minum di negara itu bisa langsung diminum sehingga tidak perlu galon seperti di Indonesia,” tuturnya.
Oleh sebab itu, pemerintah berperan dalam situasi polemik yang terjadi dari penggunaan kemasan galon guna pakai. Tidak tersedianya air minum yang aman dan layak untuk dikonsumsi membuat sebagian besar masyarakat terpaksa menggunakan air minum dalam kemasan. Setidaknya 48 persen masyarakat memakai air minum dalam kemasan dan air isi ulang sebagai sumber air minum utama.