Organisasi Guru dan Pemerintah Beda Pandangan soal Tunjangan Profesi Guru
Kesejahteraan guru selalu jadi janji pemerintah. Namun, kewajiban pemerintah untuk meningkatkan pendapatan guru dengan pemberian tunjangan profesi guru sejak tahun 2005 hingga kini masih belum tuntas.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketiadaan aturan tentang tunjangan profesi guru di dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang diajukan pemerintah menimbulkan ketidakpastian bagi guru. Bagi organisasi profesi guru, frasa tunjangan profesi guru memberikan kepastian tanggung jawab pemerintah dan pengakuan pada profesi guru.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi, di Jakarta, Kamis (15/9/2022), mengatakan, penghapusan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kemudian digabung dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) justru memprihatinkan. Sebab, tidak ada lagi penghargaan kepada guru yang jumlahnya sekitar 3,1 juta orang sebagai sebuah profesi. Padahal, profesi lainnya diakui dalam UU, seperti UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, UU Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran serta berbagai profesi lainnya.
”Penghapusan guru sebagai sebuah profesi menihilkan pengabdian serta kerja keras guru yang selama ini dengan tulus ikhlas bertugas di seluruh pelosok negeri untuk mencerdaskan anak-anak bangsa,” ucapnya.
Menurut Unifah, UU Guru dan Dosen adalah Lex Specialis Derogat Legi Generali bagi profesi guru. Artinya, asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
”Kami meminta agar tunjangan profesi guru (TPG) tetap diberikan kepada guru dan dinyatakan secara tegas dalam Undang-Undang Sisdiknas,” kata Unifah.
Unifah menegaskan, tunjangan profesi bukan sekadar persoalan uang, melainkan sebuah penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi guru. Guru merasa bangga karena profesinya diakui dan dihormati negara.
Hal senada disampaikan Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim. ”Kami hanya ingin ada payung hukum yang jelas, tertulis secara eksplisit disebutkan dalam RUU Sisdiknas tentang klausul tunjangan profesi, lengkap sebagaimana tertera dalam UU Guru dan Dosen sebagai dasar dalam membuat kebijakan turunannya nanti. Ini demi asas kepastian hukum karena dasar hukum itu yang tertulis bukan pernyataan,” kata Satriwan.
Menurut Satriwan, perihal hilangnya pasal yang mengatur TPG secara khusus di RUU Sisdiknas merupakan fakta. Tidak ada satu pasal pun yang mengatur spesifik TPG guru dalam RUU Sisdiknas.
Yang lebih memprihatinkan, justru berkurangnya hak-hak guru dalam RUU Sisdiknas. Padahal, dalam UU Guru dan Dosen, hak guru diatur dalam enam pasal, mulai pasal 14-19.
Sesuai amanat UU Guru dan Dosen, pemerintah diberi tenggat selama 10 tahun atau kurun waktu 2005-2015 untuk menuntaskan seluruh guru agar memiliki sertifikat pendidik. Guru dalam jabatan yang punya sertifikat pendidik berhak mendapat TPG sebesar satu kali gaji pokok/bulan. Kini, masih ada 1,6 juta guru yang belum disertifikasi.
”Yang salah itu bukan pengaturan di UU Guru dan Dosen atau istilah TPG-nya. Kenyataannya, Kemendikbudristek memberikan syarat yang terlalu rumit dan sukar bagi guru untuk mengikuti program sertifikasi guru,” paparnya.
Tunjangan profesi bukan sekadar persoalan uang, melainkan sebuah penghargaan dan penghormatan negara terhadap profesi guru. Guru merasa bangga karena profesinya diakui dan dihormati negara. (Unifah Rosyidi)
Satriwan menyebutkan, permasalahan sertifikasi guru tidak kunjung diatasi Kemendikbudristek sehingga menyisakan sekitar 1,6 juta guru. Kuota setiap tahun terbatas dan guru wajib lulus pre test Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan.
Adapun syarat yang bisa ikut pre test PPG bagi guru non-aparatur sipil negara (ASN) sekolah negeri yang jumlahnya sekitar 700.000 orang adalah terdaftar di data pokok pendidikan (dapodik), memiliki nomor unik pendidik tenaga kependidikan (NUPTK), mendapat surat keputusan pengangkatan dari kepala daerah/kepala dinas, dan status dapodiknya wajib honorer Tk I/II.
Namun, faktanya, kata Satriwan, status kepegawaian di dapodik untuk yang masih honorer sekolah walau sudah punya NUPTK ditolak sistem dari Kemendikbudristek. ”Kemendikbudristek yang sebenarnya gagal memenuhi perintah UU Guru dan Dosen,” kata Satriwan.
Organisasi profesi guru menyambut baik ”pemutihan” sertifikasi guru yang diperjuangkan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim. Untuk meningkatkan kesejahteraan guru yang belum memiliki sertifikasi pendidik bisa dilakukan PPG dengan metode tidak rumit, tetapi melihat kompetensi dan profesionalisme guru di kelas. Bisa juga dengan melihat masa kerja guru, misalnya minimal lima tahun terdata di dapodik.
Tersandera TPG
Secara terpisah, Nadiem dalam video paparannya bertajuk Kupas Tuntas Kesejahteraan Guru dalam RUU Sisdiknas mengatakan, berbagai polemik soal penghapusan TPG muncul karena pihak yang mempersoalkan hal ini hanya melihat dari permukaan. Padahal, dengan dikeluarkannya pasal tentang TPG di UU Guru dan Dosen, semakin mudah bagi pemerintah untuk memperjuangkan kesejahteraan guru ASN dan non-ASN.
Adanya UU Guru dan Dosen tahun 2005, jelas Nadiem, membuat pengaturan tunjangan guru ASN dipisahkan dari sistem ASN lain. Namun, untuk dapat memperoleh TPG juga dikunci dengan ketentuan PPG di UU Guru dan Dosen. Padahal, kapasitas PPG terbatas berkisar 60.000-70.000 orang per tahun, dan dibagi juga untuk PPG Prajabatan guna menggantikan guru yang pensiun.
”Peraturan UU gGuru dan Dosen keluar tahun 2005. Walaupun UU Guru dan Dosen punya itikad baik, hanya 1,3 juta guru yang mendapatkan TPG. Butuh hampir 20 tahun untuk mencapainya. Kalau kita diam dan mengikuti saja aturan itu, sisa guru yang belum disertifikasi menunggu lebih dari 20 tahun,” ujar Nadiem.
Menurut Nadiem, pengaturan tunjangan guru harus TPG justru menyandera guru untuk menerima penghasilan yang layak. Pemerintah juga tidak bisa mempermudah proses sertifikasinya. Sebab, sertifikasi pendidik itu ibarat surat izin mengemudi (SIM) untuk bisa mengajar.
Nadiem mengatakan, sebenarnya jaminan untuk kesejahteraan guru lebih mudah tercapai dengan meniadakan tentang TPG. Bagi guru ASN, sebenarnya ada tunjangan fungsional.
Namun, adanya UU Guru dan Dosen yang menyebutkan TPG sebesar satu kali gaji akibatnya tunjangan fungsional guru tidak ada penyesuaian. Nantinya jika UU Sisdiknas yang baru berlaku, bisa dilakukan penyesuaian tunjangan fungsional guru. Penyesuaian tunjangan fungsional untuk guru sebesar satu kali gaji lebih mudah dilakukan dengan membuat peraturan turunan di bawah UU.
Bagi guru non-ASN pun, kata Nadiem, justru lebih baik. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, para guru swasta dijamin mendapat upah minimum di daerah. Dukungan pemerintah juga bisa dilakukan untuk menambah kesejahteraan guru swasta dengan peningkatan bantuan operasional sekolah (BOS) sekolah swasta. Syaratnya, harus memastikan guru swasta mendapat upah yang menjamin kesejahteraan.
Selain itu, pemerintah juga punya dasar untuk menegakkan sanksi bagi yayasan sekolah swasta yang tidak menyejahterakan para gurunya sesuai ketentuan hukum yang berlaku.