G20 Orchestra, kelompok orkestra yang berisi musisi dari negara-ngeara anggota G20, tampil perdana di kawasan Candi Borobudur awal minggu ini. Musik yang mereka mainkan membawa pesan perdamaian untuk dunia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI, REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
Cahaya bulan di atas Candi Borobudur, Senin (12/9/2022), yang sedang terang-terangnya menuntun jalan delegasi negara-negara G20 ke Taman Lumbini. Berlatar bangunan candi yang ditimpa sorotan sinar video mapping, taman itu diubah jadi panggung konser dengan ratusan kursi yang tidak semuanya berpenghuni. Alunan musik klasik mulai terdengar pukul 20.00, bersahutan dengan serangga malam yang ikut jadi penonton.
Malam itu ada pergelaran G20 Orchestra, kelompok orkestra lintas negara yang diinisiasi Indonesia pada presidensi G20 tahun ini. Kelompok tersebut berisi 70 musisi dari 18 negara G20, seperti Meksiko, Australia, Italia, Arab Saudi, Jerman, Inggris, Afrika Selatan, dan Indonesia. Mayoritas musisi berusia di bawah 30 tahun.
Setelah audiens duduk manis serta Menteri Kebudayaan, Pendidikan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim rampung memberikan sambutan, pertunjukan pun dimulai. Pertunjukan berlangsung selama 1 jam 35 menit. The Voyage to Marege’ karya komponis Ananda Sukarlan menjadi lagu pembuka.
Dua pemusik suku Aborigin dari Australia ikut tampil di sesi lagu ”The Voyage to Marege”. Tubuh mereka dicat warna putih dan bagian bawah tubuhnya ditutupi kain merah. Satu musisi tugasnya menyanyi, satunya lagi memainkan didgeridoo, alat musik tiup dari Australia.
Kehadiran pemusik Aborigin ini bukan tanpa sebab. ”The Voyage to Marege” sebetulnya berkisah tentang hubungan awal Indonesia dan Australia yang terjalin pada abad ke-18. Interaksi tersebut berpengaruh ke kehidupan kedua negara, bahkan masih bisa dilihat jejaknya hingga saat ini.
Dalam buku The Voyage to Marege’: Pencari Teripang dari Makassar di Australia karangan Campbell Macknight, pelaut Makassar di masa lampau berlayar hingga ke Australia demi mencari teripang. Mereka mengarungi ribuan mil laut yang ganas dengan perahu layar untuk tiba di sana. Buku menyebut bahwa aktivitas pengumpulan, pengolahan, dan perdagangan teripang dimulai pada abad ke-18 di sepanjang pesisir yang kini masuk wilayah federal Northern Territory. Pelaut Makassar menyebut daerah itu Marege’ (Kompas, 25/2/2017).
Teripang tersebut diolah dan diawetkan, dibawa kembali ke Makassar, lantas diekspor ke China yang menjadi pasar terbesar teripang. Adapun teripang disebut sebagai industri modern pertama di Australia. Namun, pengumpulan teripang akhirnya dilarang Pemerintah Australia pada 1907.
Selama periode industri teripang, orang Makassar tidak hanya berinteraksi dengan orang Aborigin, tetapi juga meninggalkan pengaruh budayanya. Macknight mengatakan, warga Aborigin masih menyanyikan lagu tentang teripang dan orang Makassar.
”Poinnya adalah Bhinneka Tunggal Ika. Di lagu ini mengalun musik Makassar, ada arrival suara adzan, ada (musik) indigenous Australia. Kali ini, Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga negara G20, dan harapannya pesan ini menjangkau seluruh dunia,” kata Eunice Tong, konduktor G20 Orchestra saat diwawancara secara daring, Kamis (15/9/2022). Eunice juga seorang dirigen dari Jakarta Simfonia Orchestra (JSO).
Pesan kemanusiaan
Pertunjukan dilanjutkan dengan berbagai karya yang mengandung pesan kemanusiaan. Salah satu karya yang dibawakan adalah ”A Child of Our Time” karya komponis Inggris Sir Michael Tippett. Tippett pernah dipenjara karena menolak masuk militer untuk perang di Perang Dunia II.
Lagu ini terdiri dari beberapa bagian dengan judul berbeda, seperti I Have No Money for My Bread; How Can I Cherish my Man; dan Man Has Measured the Heavens. Lagu ini dinyanyikan empat vokalis, yaitu Pepita Salim, Marieska Setiawan, Nick Lukas, dan Kadek Ari Ananda.
Selain ”A Child of Our Time”, ada pula karya ”Piano Concerto no. 4” karya dari Sergei Prokofiev, komponis Rusia kelahiran Sontsivka. Karya ini dimainkan hanya dengan tangan kiri.
Mengapa hanya tangan kiri? Sebelumnya, Prokofiev diminta pianis Austria Paul Wittgenstein untuk membuat piano concerto hanya untuk tangan kiri. Wittgenstei, yang juga seorang tentara di Pertempuran Galicia melawan pasukan Rusia di Perang Dunia I, menderita luka tembak parah di siku kanannya sampai kehilangan kesadaran. Saat tersadar di rumah sakit, lengan kanannya telah diamputasi. Kenyataan pahit lainnya adalah dia dikirim sebagai tawanan perang ke Siberia.
Kondisi ini tidak membuat dia menyerah. Wittgenstei meminta dibuatkan piano concerto khusus untuk tangan kiri saja agar tetap bisa bermain musik. Mentalitas itulah yang ingin disampaikan melalui G20 Orchestra.
”Lewat musik, kita semua bersatu tanpa memedulikan perbedaan suku, negara, agama, bahkan pandangan politik untuk bangkit bersama dan lebih kuat dari sejak sebelum pandemi,” ujar komponis dan Direktur Artistik G20 Orchestra Ananda Sukarlan, di Magelang, Sabtu (10/9/2022).
Eunice menambahkan, interpretasi makna lagu mesti tepat agar pesan yang disampaikan ke audiens tepat pula. Ia pun mempelajari latar belakang masing-masing karya sebelum mulai berlatih dengan anggota G20 Orchestra pada 2-12 September 2022. Setelah paham, Eunice jadi bisa menyampaikan cara membawakan lagu di panggung.
”Di dunia ini lagi banyak chaos, banyak perang antarnegara, antarsuku. Lagu-lagu ini dipilih untuk membawa pesan perdamaian,” kata Eunice.