Upaya mengatasi krisis iklim menuju arah keliru. Konsentrasi gas rumah kaca terus meningkat ke rekor tertinggi yang menunjukkan kesenjangan yang membesar antara mitigasi krisis iklim dan kenyataan.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Poster yang dibawa aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) DKI Jakarta saat aksi protes atas tindakan Jepang dalam mempromosikan gas fosil dan hidrogen sebagai transisi energi batubara yang diklaim mampu mempercepat pengurangan emisi karbon tahun 2050 di depan Kantor Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, Rabu (3/8/2022). Para aktivis meminta pemerintah dan perusahaan Jepang untuk menghentikan pendanaan bahan bakar fosil dan menghentikan promosi solusi palsu krisis iklim. Aksi serupa juga digelar di Tokyo, Manila, dan Bangladesh menyambut pelaksanaan KTT Sektor Energi 2022 sejak 2 hingga 4 Agustus 2022.
JAKARTA, KOMPAS — Konsentrasi gas rumah kaca terus meningkat ke rekor tertinggi yang menunjukkan kesenjangan yang membesar antara mitigasi krisis iklim dan kenyataan. Tanpa tindakan yang jauh lebih ambisius, dampak fisik dan sosial ekonomi dari perubahan iklim akan semakin menghancurkan.
Progres yang mengkhawatirkan dari upaya mengatasi krisis iklim ini dilaporkan dalam United in Science, yang dikeluarkan para saintis multilembaga dan dikoordinasikan oleh Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) ini dirilis pada Rabu (14/9/2022).
Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas mengatakan, ilmuwan iklim telah menunjukkan bahwa banyak peristiwa cuaca ekstrem yang kita alami menjadi lebih mungkin dan lebih intens karena perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia. ”Kami telah melihat ini berulang kali tahun ini, dengan efek yang tragis,” ucapnya.
Tidak ada yang alami tentang skala baru dari bencana ini. Itu adalah harga dari kecanduan bahan bakar fosil manusia.
Laporan ini menunjukkan bahwa tingkat karbon dioksida (CO2) di atmosfer, metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O) terus meningkat. Pengurangan sementara emisi CO2 pada tahun 2020 selama pandemi berdampak kecil pada pertumbuhan konsentrasi atmosfer.
Data dari seluruh lokasi global, termasuk observatorium di Mauna Loa (Hawaii, Amerika Serikat) dan Cape Grim (Tasmania, Australia) menunjukkan bahwa kadar CO2 terus meningkat pada 2021 dan 2022. Pada Mei 2022, konsentrasi CO2 di Mauna Loa mencapai 420,99 bagian per juta (ppm), dari sebelumnya 419,13 ppm pada 2021. Adapun di Cape Grim 413,37 ppm dari sebelumnya 411,25 ppm pada Mei 2021.
UNITED IN SCIENCE (2022)
Konsentrasi CO2, CH4, dan N2O rata-rata secara global dalam ppm (CO2) dan ppb (CH4; N2O, masing-masing) dan laju pertumbuhannya (baris bawah) dari 1984 hingga 2020. Pengamatan dari 139 stasiun digunakan untuk analisis CO2, 138 stasiun untuk analisis CH4, dan 105 stasiun untuk analisis N2O. Yang merah garis (baris atas) adalah rata-rata bulanan dengan variasi musiman dihilangkan; titik dan garis biru menggambarkan rata-rata bulanan. Peningkatan tahunan berturut-turut rata-rata ditampilkan sebagai kolom yang diarsir (baris bawah).
Tujuh tahun terakhir, 2015-2021, telah menjadi rekor terpanas di Bumi dan diperkirakan akan terus memanas. Suhu rata-rata global 2018-2022, berdasarkan data hingga Mei atau Juni 2022, diperkirakan 1,17 ± 0,13 derajat celsius di atas rata-rata tahun 1850-1900. Peristiwa La Nina memiliki sedikit efek pendinginan pada suhu tahun 2021/2022, tetapi ini akan bersifat sementara.
Sekitar 90 persen dari akumulasi panas di sistem Bumi disimpan di lautan sehingga kandungan panas lautan untuk 2018-2022 lebih tinggi daripada periode lima tahun lainnya. Tingkat pemanasan lautan menunjukkan peningkatan yang sangat kuat dalam dua dekade terakhir.
Laporan yang dikompilasi dari data yang dikumpulkan oleh beberapa lembaga dan mitra PBB ini juga menyebutkan peluang 48 persen bahwa kenaikan suhu global dibandingkan dengan masa pra-industri akan mencapai 1,5 derajat celsius dalam lima tahun ke depan. Ada kemungkinan 93 persen bahwa satu tahun dalam lima tahun berikutnya akan melihat rekor panas. Diperkirakan, suhu dekat permukaan global rata-rata tahunan untuk setiap tahun dari 2022-2026 mencapai 1,1 derajat celsius dan 1,7 derajat celsius lebih tinggi dari tingkat pra-industri (1850-1900).
Bahan bakar fosil
Laporan ini juga menyebutkan, kota-kota yang menampung miliaran orang telah bertanggung jawab atas hingga 70 persen emisi. Di sisi lain, penduduk perkotaan juga menghadapi peningkatan dampak sosial-ekonomi paling signifikan. Populasi yang paling rentan akan paling menderita, terutama oleh cuaca ekstrem yang telah meladan di berbagai belahan dunia tahun ini.
AP PHOTO/ZAHID HUSSAIN
Satu keluarga pengungsi menerobos banjir setelah hujan deras turun di Distrik Jaffarabad, Provinsi Baluchistan, barat daya Pakistan, Rabu (24/8/2022). Otoritas Penanggulangan Bencana Nasional Pakistan menyatakan 126 orang tewas dalam insiden terkait banjir dalam 48 jam terakhir. Sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak.
”Banjir, kekeringan, gelombang panas, badai ekstrem, dan kebakaran hutan berubah dari buruk menjadi lebih buruk, memecahkan rekor dengan frekuensi yang mengkhawatirkan. Gelombang panas di Eropa, banjir besar di Pakistan, dan kekeringan yang berkepanjangan dan parah di China, Tanduk Afrika, dan Amerika Serikat,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, dalam pesan video. ”Tidak ada yang alami tentang skala baru dari bencana ini. Itu adalah harga dari kecanduan bahan bakar fosil manusia.”
Menurut Guteres, laporan United in Science tahun ini juga menunjukkan dampak iklim menuju ke skala kehancuran yang belum pernah dipetakan sebelumnya. ”Namun (di sisi lain) setiap tahun kita menggandakan kecanduan bahan bakar fosil, bahkan ketika gejala (krisis iklim) memburuk dengan cepat,” kata Guterres.
Laporan ini mengingatkan, komitmen mitigasi nasional yang baru untuk 2030 menunjukkan beberapa kemajuan menuju penurunan emisi gas rumah kaca, tetapi hal itu tidak cukup. Ambisi dari janji-janji baru ini perlu empat kali lebih tinggi untuk mencapai jalur untuk membatasi pemanasan hingga 2 derajat celsius dan tujuh kali lebih tinggi untuk membatasi pemanasan 1,5 derajat celsius
Dengan tren saat ini, pemanasan global selama abad ke-21 diperkirakan bakal mencapai 2,8 derajat celsius (kisaran 2,3-3,3 derajat celsius) lebih panas dari pra-industri, dengan asumsi kelanjutan kebijakan saat ini. Suhu bisa memanas 2,5 derajat celsius (kisaran 2,1–3,0 derajat celsius) jika janji baru atau yang diperbarui sepenuhnya dilaksanakan.
Laporan menyimpulkan, secara kolektif, negara-negara gagal memenuhi janji mereka yang baru atau yang diperbarui dengan kebijakan saat ini. Ini menunjukkan bahwa arah untuk mengerem laju pemanasan global agar tidak melebihi ambang menjadi sulit dipenuhi.