Skema Pengukuran hingga Pembayaran Penurunan Emisi Perlu Didetailkan
Indonesia dan Norwegia kembali menjalin kerja sama upaya penurunan emisi. Dalam kerja sama terbaru ini, kedua belah pihak perlu mendetailkan skema pengukuran, pelaporan, verifikasi, dan pembayaran penurunan emisi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/LUKAS ADI PRASETYA
Mata air di kaki perbukitan karst, Kampung Merabu, Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, ini menjadi tempat favorit warga, terutama anak-anak dan remaja untuk berenang atau bersantai, Selasa (13/5/2014). Merabu adalah salah satu kampung percontohan penerapan program pengelolaan hutan lestari melalui skema Program Karbon Hutan Berau (PKHB), yang mendukung penerapan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).
JAKARTA, KOMPAS — Kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan Norwegia menjadi langkah penting dalam mendukung upaya penurunan emisi Indonesia. Namun, perlu dipastikan Norwegia memenuhi kewajibannya, termasuk dalam komitmen pembayaran berbasis hasil agar tidak kembali mengecewakan Indonesia.
Peneliti senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF), Herry Purnomo, menyampaikan, terjalinnya kembali kerja sama antara Indonesia dan Kerajaan Norwegia merupakan kabar baik dalam upaya penurunan emisi, khususnya di sektor kehutanan dan tata guna lahan. Namun, perlu juga disoroti sejumlah hal yang perlu segera ditindaklanjuti oleh kedua belah pihak.
Salah satu yang perlu disepakati dalam kerja sama ini ialah terkait dengan skema pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) penurunan emisi. Kemudian, skema atau mekanisme pembayaran berbasis hasil (result based payment/RBP) atas keberhasilan upaya penurunan emisi Indonesia juga perlu didetailkan kembali.
”Perlu ada kesepakatan bagaimana memonitor penurunan emisi, termasuk dari deforestasi. Jadi, kerja sama yang lalu ada ketidaksepakatan bahwa Indonesia sudah menurunkan emisi, tetapi pihak Norwegia menyebut masih dalam proses penghitungan,” ujarnya ketika dihubungi, Selasa (13/9/2022).
Kerja sama Indonesia-Norwegia saat ini perlu diperjelas kembali apakah komitmen Norwegia sebelumnya masih berlaku atau tidak.
Saat awal menjalin kerja sama melalui program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) pada 2010, Norwegia pernah menyatakan akan memberikan sekitar 1 miliar dollar AS apabila Indonesia mampu menurunkan emisi. Namun, komitmen tersebut belum terealisasi sampai kerja sama berakhir pada 2021 meski Indonesia telah berhasil menurunkan emisi pada 2016/2017 yang diverifikasi oleh lembaga internasional.
Berkaca dari pengalaman tersebut, kata Herry, kerja sama Indonesia-Norwegia saat ini perlu diperjelas kembali apakah komitmen Norwegia sebelumnya masih berlaku atau tidak. Bila komitmen tersebut masih berlaku, Norwegia dinilai perlu melibatkan pihak ketiga, seperti Bank Dunia, untuk membantu proses administrasi pembayaran.
”Uang pembayaran komitmen sebelumnya ini jangan sampai masih ada di pihak Norwegia, tetapi perlu dipegang langsung oleh pihak ketiga. Kalau baru sebatas janji, dikhawatirkan akan menimbulkan kekecewaan kembali dari pihak Indonesia,” ucapnya.
Herry menekankan bahwa kerja sama ini hanya perlu difokuskan pada upaya penurunan emisi melalui skema RBP. Sebab, selama ini sudah banyak kerja sama, termasuk dengan pihak luar negeri, yang fokus terhadap kegiatan teknis, seperti restorasi gambut, rehabilitasi mangrove, konservasi biodiversitas, hingga pencegahan deforestasi.
Ketua Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia Network) Mahawan Karuniasamenyampaikan hal serupa. Menurut Mahawan, Indonesia dan Norwegia terlebih dulu harus menyepakati skema MRV karena hal ini menyangkut persoalan kepercayaan dan transparansi.
”Indonesia juga harus memperhatikan tentang carbon pricing (nilai ekonomi karbon) yang tidak semata-mata mengikuti perkembangan di dunia. Penentuan carbon pricing ini perlu kehati-hatian sehingga Indonesia tidak menentukan di bawah harga atau justru berlebihan,” ucapnya.
Memperhatikan dinamika
Selain itu, Mahawan juga menegaskan, Indonesia harus memperhatikan perkembangan dinamika mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di dunia, termasuk peningkatan komitmen dalam penurunan emisi. Perkembangan dinamika ini nantinya juga akan meununtut Indonesia untuk meningkatkan ambisinya dalam menurunkan emisi.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Norwegia Espen Barth Eide, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (dari kiri) saat memberikan keterangan pers di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, Senin (12/9/2022). Indonesia menjalin kembali kerja sama dengan Kerajaan Norwegia untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
”Kerja sama dengan Norwegia harus memperhatikan dinamika ini. Jangan sampai kerja sama ini belum sepenuhnya mendukung target Indonesia yang utuh dalam menuju net zero emission (emisi bersih),” katanya.
Sebelumnya, perjanjian kerja sama terbaru antara Indonesia-Norwegia disepakati dalam pertemuan antara tiga menteri, yakni Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, serta Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Norwegia Espen Barth Eide, di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta.
Dalam keterangnnya, Espen menegaskan, program kerja sama ini akan mendukung upaya penurunan emisi Indonesia yang diverifikasi pihak ketiga dari tahun 2016-2020. Detail kesepakatan terbaru ini nantinya dituangkan dalam perjanjian kontribusi(contribution agreement) yang akan dibahas dalam tiga hingga empat minggu ke depan.