Akulturasi budaya telah menjadi wajah Singkawang sejak lama. Pameran keramik dan fotografi menjaga memoar kegemilangan keramik dan toleransi di ”Kota Seribu Kelenteng” itu.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Keramik peninggalan masa lalu bukan sekadar barang antik. Di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, yang kental dengan akulturasi budaya, gerabah juga menyimpan jejak sejarah. Memoar gemilang keramik Singkawang terekam dalam kekhasan rupanya.
Bermodal informasi dari media sosial, Shelvia (21) mengunjungi Bentara Budaya Jakarta, Minggu (11/9/2022). Siang itu, ia membayar rasa penasarannya menyaksikan pameran keramik kuno untuk pertama kalinya.
Masuk ke ruang pameran, pandangannya menyapu seisi ruangan yang menampilkan 24 keramik berbentuk tempayan, guci, dan pot. Benda-benda berbahan dasar tanah liat itu berasal dari abad ke-17 hingga ke-20.
Shelvia tak langsung mendekati keramik-keramik itu. Ia justru lebih tertarik membaca narasi tentang sejarah keramik Singkawang dan migrasi orang-orang dari Tiongkok ke Kalimantan yang dipajang di dinding ruang pameran.
”Memang sengaja baca narasinya dulu supaya paham ceritanya. Jadi, waktu lihat keramik-keramiknya, enggak bingung,” ujarnya.
Sambil berkeliling, mahasiswa Program Studi Kriminologi Universitas Budi Luhur, Jakarta, itu memotret serta memvideokan koleksi dan suasana pameran dengan ponsel pintarnya. Ia ingin membagikan pengalamannya tersebut melalui media sosial.
”Pameran seperti ini bukan hanya bagus untuk belajar sejarah, tetapi juga artistik. Sayang kalau enggak ikut mempromosikannya,” jelasnya.
Menurut Shelvia, generasi muda relatif cepat bosan saat belajar sejarah hanya melalui buku teks. Oleh sebab itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih interaktif dalam literasi sejarah.
Ia cukup terkejut saat mengetahui kekayaan keramik Singkawang yang sarat sejarah. Hal itu juga berkaitan dengan migrasi orang-orang Tionghoa ke Kalimantan.
”Berarti, akulturasi dan toleransi di sana sudah terjalin dari dulu. Selain itu, kerajinan keramiknya juga sudah maju karena sangat indah,” ucapnya.
Keramik yang dipamerkan terdiri dari beragam rupa dan warna. Sebuah tempayan dari abad ke-17, misalnya, berbentuk lonjong dengan mulut lebar. Warnanya coklat kekuningan dan mempunyai hiasan bergambar naga. Benda ini biasanya digunakan sebagai wadah air.
Sementara sebuah guci dari abad ke-20 berbentuk oval dengan dasar yang datar. Guci berwarna coklat tua ini biasanya dipakai untuk menyimpan garam. Namun, ada juga yang memakainya sebagai wadah minuman anggur ketan untuk dijadikan buah tangan bagi tamu.
Keramik lainnya berupa pot dari abad ke-20. Pot berdiameter atas 36 sentimeter ini mempunyai motif bunga. Biasanya digunakan sebagai wadah tanaman.
Shelvia berharap semakin banyak benda bersejarah yang dipamerkan agar bisa diketahui generasi muda untuk mengetahui kisah masa lalu. ”Dimensi masa lalu tetap menarik kalau dikemas dengan kekinian. Keramik-keramik cantik ini bisa disukai anak-anak muda, terutama yang memburu foto-foto bagus sambil belajar sejarah,” katanya.
Dalam buku Naga Singkawang: Tradisi Pembuatan Keramik Kuno yang Tersisa di Indonesia (1988) disebutkan, migrasi awal orang Tionghoa ke Kalbar berkaitan dengan pelayaran dari China ke Asia Tenggara. Para pedagang menumpang rombongan utusan kekaisaran China yang berlayar meninjau wilayah taklukannya.
Dalam khazanah ilmu arkeologi, artefak keramik mempunyai peranan khas yang penting. Dibandingkan dengan jenis-jenis artefak lainnya, keramik China dianggap memiliki beberapa kelebihan, salah satunya adalah keramik bisa memberikan informasi tentang waktu atau masa pembuatannya.
Salah satu bukti sejarah yang dapat digunakan untuk menelusuri migrasi itu adalah melalui kuil-kuil pemujaan. Namun, sudah banyak kuil yang dihancurkan dalam kerusuhan 1967.
Kepala Event Production Bentara Budaya, Ika W Burhan, menyebutkan, dalam khazanah ilmu arkeologi, artefak keramik mempunyai peranan khas yang penting. Dibandingkan dengan jenis-jenis artefak lainnya, keramik China dianggap memiliki beberapa kelebihan, salah satunya adalah keramik bisa memberikan informasi tentang waktu atau masa pembuatannya.
”Seorang arkeolog akan sangat bahagia jika bisa menemukan, bahkan hanya serpihan keramik sekalipun. Selain bisa memberikan informasi tentang masa, juga bisa memperlihatkan latar belakang budaya, tradisi, fungsi, dan sebagainya,” katanya.
Pabrik keramik di Singkawang bisa dianggap ”monumen hidup” dalam menjelaskan kebudayaan masa lalu. Kekhasannya terletak pada proses pembakaran tradisional Tungku Naga yang berbentuk memanjang seperti ular.
Dulunya, para pembuat keramik di China sering membakar gerabah di dalam gua-gua memanjang. Tungku Naga diperkirakan sudah dikenal di China daratan sejak abad ke-10.
Industri keramik China kontemporer di Singkawang yang piawai dalam meniru keramik China kuno menjadi sumber studi etnoarkeologi sangat penting. Apalagi, selama ini, artefak keramik merupakan salah satu temuan yang hampir merata ditemukan di seluruh Indonesia.
Fotografi
Kegiatan dalam rangkaian HUT ke-40 Bentara itu juga menggelar Pameran Fotografi Singkawang bertema ”Keberagaman: Sebuah Refleksi dari Sejarah dan Kebudayaan Singkawang” di Bentara Budaya Yogyakarta. General Manager Bentara Budaya Ilham Khoiri mengatakan, foto-foto dan keramik Singkawang dianggap menarik karena mewakili kematangan budaya toleransi di Indonesia.
Di kota kecil berjarak 145 kilometer dari Kota Pontianak, itu terdapat komunitas keturunan Tionghoa yang telah menyatu dalam kehidupan masyarakat lokal. Mereka menjadi bagian dari denyut nadi warga setempat sekaligus tetap memiliki identitas sebagai anak cucu imigran dari China.
Kekhasan Singkawang dalam keberagaman dan toleransi diperoleh setelah menempuh perjalanan panjang. Di masa silamnya, Singkawang pun mengalami luka serius, termasuk persoalan diskriminasi identitas etnik.
Sejarah pahit inilah yang kini membuahkan hasil manis; Singkawang menjadi kota multikultural yang harmonis. Bahkan, kini Singkawang, Kalimantan Barat, dinobatkan sebagai kota paling toleran se-Indonesia tahun 2021.
”Kini, wajah Singkawang telah mencerminkan pertemuan dua budaya. Singkawang dianggap mewakili apa yang disebut sebagai hasil proses akulturasi,” ujarnya.
Akulturasi budaya telah menjadi wajah Singkawang sejak lama. Pameran keramik dan fotografi menjaga memoar kegemilangan keramik dan toleransi di ”Kota Seribu Kelenteng” itu.