Cegah Predator Seksual, Deteksi Saat Penerimaan Rohaniwan
Deteksi dini saat penerimaan rohaniwan demi mencegah masuk predator seksual. Pemimpin komunitas agama juga diharapkan tidak mendiamkan kasus kekerasan seksual.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Kasus persetubuhan oleh calon pendeta dengan korban 6 anak di bawah umur di Nusa Tenggara Timur menguak lemahnya deteksi dini perilaku seksual tidak normal saat penerimaan calon rohaniwan. Para pemimpin komunitas agama diminta mulai menerapkan sistem perekrutan yang menutup ruang masuknya predator seksual sebab terbukti telah merusak masa depan generasi muda.
Pandangan demikian disampaikan Pendeta Emmy Sahertian dari Jaringan Antikekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kupang pada Jumat (9/9/2022). Emmy bersama rekan-rekannya ikut mengawal kasus persetubuhan yang terjadi di Desa Waisika, Kecamatan Alor Timur Laut, Kabupaten Alor, itu.
Menurut dia, perilaku predator seksual itu bisa timbul dari bawaan seseorang atau juga lingkungan. Dari hasil laporan ataupun temuan mereka, kekerasan seksual juga dijumpai di tempat pendidikan calon rohaniwan. Kondisi ini terbawa saat mereka mengabdi di tengah-tengah umat. Anak-anak dan remaja menjadi salah satu kelompok yang disasar.
Menurut Emmy, kekerasan seksual yang tidak hanya terjadi dalam satu komunitas agama itu merusak masa korban. Ada korban yang sampai hamil dan melahirkan anak. ”Anak mereka dititipkan di panti asuhan,” ujar Emmy yang menjadi pendeta di Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) itu.
Ia juga meminta pemimpin komunitas agama bertindak tegas dengan memberi hukuman berat, bukan malah sengaja didiamkan, kepada rohaniwan yang terlibat kasus semacam itu . Pasalnya, banyak predator seksual yang masih bertugas di tengah-tengah umat. Mereka berpotensi mengulangi perbuatan yang sama.
Anak mereka dititipkan di panti asuhan. (Emmy Sahertian)
Seperti yang diberitakan sebelumnya, SAS (36), calon pendeta dari GMIT, berulang kali mencabuli enam anak di bawah umur selama satu tahun. Pelaku yang kini sudah ditahan itu terancam hukuman minimal sepuluh tahun penjara dan maksimal hukuman mati. Pihak gereja mendukung proses hukum demi tegaknya keadilan bagi para korban.
Percabulan terjadi di Desa Waisika, Kecamatan Alor Timur Laut, Kabupaten Alor. Kejahatan seksual itu dilakukan selama satu tahun mulai Mei 2021 hingga Mei 2022 saat pelaku bertugas di sana sebagai vikaris atau sebutan bagi calon pendeta. Para korban berumur antara 13 tahun dan 15 tahun.
Tempat kejadiannya mulai dari konsistori atau tempat berkumpul pendeta dan majelis jemaat di dalam kompleks gereja, toilet gereja, pastori atau rumah pendeta, posyandu, dan bahkan di rumah korban. Masing-masing korban mengalami persetubuhan dari pelaku lebih dari satu kali. Ada korban yang mengalami sebanyak enam kali.
Memperdayai
Modus pelaku memperdayai korban adalah sengaja mengajak korban ke pastori atau konsistori. Di pastori, pelaku meminta korban masuk kamar atau meminta korban mencabut uban. Sementara di konsistori, pelaku sengaja mengajak korban untuk didoakan. Bukan didoakan tapi malah disetubuhi.
Dalam catatan Kompas, predator seksual ditemukan di sejumlah komunitas agama. Di luar negeri, Richard Daschbach (84), predator seksual asal Amerika Serikat, divonis 12 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Oecusse di Timor Leste, Selasa (21/12/2021). Menurut pengadilan, ia terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak perempuan di bawah 14 tahun.
Di dalam negeri, terdakwa kekerasan seksual terhadap santriwati di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur, Moch Subchi (42), didakwa pasal berlapis tentang pemerkosaan dan pencabulan, serta diancam 12 tahun penjara. Dakwaan itu dibacakan di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (18/7/2022).
Terkait persetubuhan calon pendeta di Alor itu, Kepala Bidang Humas Polda NTT Komisaris Besar Ariasandy, mengatakan, penyidikan masih terus berlangsung. Pelaku kini ditahan di Markas Polres Alor. Mengenai dugaan adanya korban tambahan, polisi mengimbau agar korban membuat laporan.
Sementara itu, di laman resmi GMIT, penahbisan pelaku menjadi pendeta masih ditangguhkan. Pihak GMIT menyatakan sudah mendapat laporan persetubuhan itu pada Juli 2022 atau dua bulan sebelum kasus ini dilaporkan korban dan keluarga ke polisi pada awal September 2022.