Milenial Didorong Berkontribusi Kurangi Dampak Perubahan Iklim
Dalam menyongsong Indonesia emas pada 2045, generasi milenial Tanah Air didorong lebih berkontribusi mengurangi dampak perubahan iklim untuk kehidupan lebih baik di masa mendatang.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perilaku manusia turut menyebabkan perubahan iklim. Dalam menyongsong Indonesia emas pada 2045, generasi milenial Tanah Air didorong lebih berkontribusi mengurangi dampak perubahan iklim untuk kehidupan lebih baik di masa mendatang.
Kepedulian menjaga lingkungan serta hemat menggunakan energi menjadi salah satu langkah dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Dengan populasi yang besar, generasi milenial berperan penting untuk melakukan gerakan bersama.
Salah satu penulis buku Indonesia Emas Berkelanjutan 2045: Kumpulan Pemikiran Pelajar Indonesia Sedunia Seri 7 Lingkungan, Radityo Pangestu, mengatakan, strategi menghadapi perubahan iklim adalah mitigasi dan adaptasi. Mitigasi dengan serangkaian aksi mengurangi emisi gas rumah kaca.
Sementara adaptasi merupakan aksi menanggulangi dampak negatif dari perubahan iklim, seperti cuaca ekstrem dan gagal panen. ”Keduanya harus dijalankan berkesinambungan agar ancaman perubahan iklim dan kerusakan biodiversity (keanekaragaman hayati) dapat diminimalkan,” ujarnya dalam bedah buku Nasionalisme Milenial: Antara Idealisme dan Pragmatisme, Kamis (8/9/2022).
Radityo mengatakan, masih sedikit masyarakat peduli terhadap perubahan iklim. Padahal, dampaknya sangat terasa bagi kehidupan manusia, salah satunya krisis air.
Generasi milenial bisa ambil bagian untuk mengurangi dampak-dampak tersebut. ”Bagaimana caranya menghadapi itu? Kita harus efisien menggunakan air dan punya sistem efektif dalam mengelola air,” katanya.
Masih sedikit masyarakat peduli terhadap perubahan iklim. Padahal, dampaknya sangat terasa bagi kehidupan manusia, salah satunya krisis air.
Upaya ini dapat dimulai dengan langkah-langkah kecil, salah satunya dengan memanen air hujan. Dalam gerakan lebih luas, penggunaan sumber energi terbarukan juga akan membantu memperlambat laju perubahan iklim.
Perubahan iklim pun berpotensi mengancam perekonomian warga, terutama kelas menengah ke bawah. Hal ini akan membebani negara dalam memberikan bantuan sosial.
Radityo menambahkan, isu perubahan iklim juga penting untuk diarusutamakan agar lebih banyak orang yang peduli. Ia mencontohkan, saat terjadi bencana di Indonesia, sejumlah orang masih menganggapnya hanya proses alam tanpa disebabkan aktivitas manusia atau cobaan dari Tuhan.
”Padahal tidak begitu. Perubahan iklim juga akibat ulah kita. Kita yang menebang hutan. Kalau ada hujan besar, kita yang kena banjirnya. Generasi muda harus lebih peduli pada lingkungan,” ujarnya.
Penulis buku Indonesia Emas Berkelanjutan 2045: Kumpulan Pemikiran Pelajar Indonesia Sedunia Seri 2 Kebudayaan, Zaimatus Sa’diyah, mengatakan, negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, menghadapi banyak masalah lingkungan. Menurut dia, aksi masyarakat dalam mengatasi dampak perubahan iklim tidak akan banyak berpengaruh tanpa didukung kebijakan pemerintah.
”Pemerintah Indonesia sudah melakukan sejumlah upaya, tetapi masih banyak PR (pekerjaan rumah),” ujarnya.
Menurut Zaimatus, budaya punya peran strategis dalam mengatasi masalah lingkungan. Ketentuan-ketentuan sejumlah komunitas adat menekankan pentingnya melestarikan lingkungan.
Komunitas Baduy, di Banten, misalnya, mengenal leuweung kolot atau hutan larangan. Kawasan ini tidak boleh dimasuki oleh orang sembarangan, bahkan orang Baduy sekalipun.
Leuweung kolot berfungsi sebagai hutan lindung yang menjadi kawasan resapan air. ”Ini juga dibungkus mitos sehingga memunculkan ketundukan dari masyarakat. Mitos ini bentuk penghormatan relasi harmonis dengan alam. Kalau tidak dimunculkan mitos, kemungkinan akan dieksploitasi,” katanya.