Meraih Otonomi Perguruan Tinggi dengan Status PTN BH
Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mengatur perguruan tinggi negeri agar berstatus badan hukum supaya memiliki otonomi yang lebih luas.
Eksistensi perguruan tinggi negeri berstatus badan hukum atau PTN BH semakin mengemuka dan membuahkan hasil ranking universitas kelas dunia yang semakin baik. Di dalam Rancangan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional atau RUU Sisdiknas, ada ketentuan bagi PTN yang belum berstatus badan hukum supaya bertransformasi dalam waktu delapan tahun.
Di Pasal 141 RUU Sisdiknas draf Agustus dinyatakan, ”Perguruan tinggi negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) yang tidak berbentuk perguruan tinggi negeri badan hukum saat Undang-Undang ini diundangkan menjadi perguruan tinggi negeri sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini paling lama 8 (delapan) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Di RUU versi awal, ketentuan penyesuaian tadinya ditetapkan dalam lima tahun, lebih pendek dari versi draf Agustus.
Perubahan status PTN satuan kerja dan badan layanan umum menjadi BH di satu sisi didambakan PTN. Sebab, dengan menjadi PTN BH, PT ada keleluasaan akademik dan nonakdemik seperti pengeloaan keuangan dan organisasi yang lebih leluasa. Namun, di sisi lain, ada tudingan bahwa status PTN BH menjadi cara pemerintah untuk melepaskan tanggung jawab pembiayaan pendidikan tinggi dengan memberi restu PTN BH agar menggali pendanaan dari mahasiswa dan swasta.
Saat ini ada 16 PTN BH, yakni Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Bandung, IPB University, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro, Universitas Sebelas Maret, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Hasanuddin, Universitas Andalas, Universitas Negeri Malang, Universitas Brawijaya, dan Universitas Negeri Padang. Sejumlah PTN lain sedang dalam proses, salah satunya Universitas Terbuka.
Isu tentang komersialisasi PTN BH ini dibantah pemerintah di laman https://sisdiknas.kemdikbud.go.id yang dikelola Kemendikbudristek. Hal ini muncul di kanal tanya jawab dengan pertanyaan mengapa RUU Sisdiknas mengatur bentuk PTN menjadi PTN BH? Bukankan ini adalah komersialisasi pendidikan?
Dari paparan di kanal tanya jawab tentang RUU Sisdiknas, pemerintah menjelaskan pentingnya peningkatan otonomi PT untuk mengakselerasi perubahan dalam sektor pendidikan tinggi. Secara panjang lebar, penjelasan bisa dipelajari publik dalam naskah akademik RUU Sisdiknas halaman 144-160.
Secara singkat, dipaparkan pemerintah bahwa otonomi PT, terutama dalam hal organisasi, keuangan, sumber daya manusia, dan akademik, sangat diperlukan agar PT bisa berlari cepat meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. Adapun bentuk pengelolaan PTN sebagai badan hukum bakal meningkatkan komersialisasi pendidikan dinyatakan tidak terbukti dengan data.
Masalah subsidi pemerintah
Data menunjukkan bahwa pengelolaan PTN sebagai badan hukum justru meningkatkan efisiensi dan kinerja institusi, meningkatkan perolehan sumber pendanaan PTN di luar APBN, meningkatkan jumlah mahasiswa, meningkatkan beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa, serta meningkatkan peringkat PTN secara internasional. Sementara hal-hal yang dikhawatirkan, misalnya peningkatan uang kuliah atau peningkatan proporsi jalur seleksi mahasiswa mandiri dibandingkan jalur seleksi mahasiswa berdasarkan prestasi dan tes, tidak terjadi.
Biaya kuliah tunggal dan proporsi maksimal jalur mandiri di PTN ditetapkan oleh Mendikbudristek tanpa melihat bentuk PTN. Meskipun RUU Sisdiknas jika disahkan berarti membatalkan UU Pendidikan Tinggi, pengaturan paling sedikit 20 persen dari mahasiswa baru PTN berasal dari kategori kurang mampu tetap dipertahankan. Selain itu, PTN tidak diperkenankan mempertimbangkan kemampuan ekonomi mahasiswa dalam penerimaan mahasiswa baru.
Jika membandingkan alokasi APBN dengan 127 PTN, perlu antrean sepuluh tahun bagi setiap PTN untuk melakukan investasi atau pengembangan PT. (Nizam)
PTN yang sengaja meluluskan mahasiswa dari keluarga berada dan menggagalkan mahasiswa dari keluarga kurang mampu dapat dikenakan sanksi. Perubahan PTN menjadi PTN BH juga dinyatakan tidak berarti mengurangi subsidi pemerintah terhadap PTN. Sebab, PTN BH tetap merupakan instansi pemerintah dan pemerintah terus memastikan peningkatan kualitas pendidikan melalui PTN.
Di acara Diskusi Kelompok Terfokus Pengembangan Kapasitas Akademik, Sumber Daya Manusia, dan Kerja Sama dalam Peralihan PTN BH Universitas Negeri Semarang, Jumat (18/3/2022), Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek Nizam menegaskan, bentuk PTN BH merupakan institusi nirlaba yang memiliki misi melayani masyarakat dan menyelenggarakan PT berkualitas dengan memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat (inklusif). PTN BH perlu kreatif dalam mencari dana, tidak melulu bergantung pada APBN atau uang SPP mahasiswa.
”Jika membandingkan alokasi APBN dengan 127 PTN, perlu antrean sepuluh tahun bagi setiap PTN untuk melakukan investasi atau pengembangan PT,” kata Nizam.
Baca juga: Perguruan Tinggi Negeri Didorong Berstatus Badan Hukum
Ketua Majelis Rektor PTN Indonesia (MRPTNI) Jamal Wiwoho, Kamis (8/9/2022), mengatakan, para rektor PTN yang tergabung di MRPTNI masih mengkaji isi RUU Sisdiknas terkait pendidikan tinggi yang nantinya menghapuskan UU PT. Keharusan menjadi PTN BH dinilai akan berat, terutama bagi pengelolaan keuangan.
Secara terpisah, Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mochamad Ashari mengatakan, kondisi saat ini untuk menjadi PTN BH selektif. PTN yang organisasinya dianggap sudah mapan didukung untuk menjadi PTN BH.
”Belum jelas apakah model PTN BH yang dimaksud di RUU Sisdiknas tetap seperti saat ini? Jika dengan kondisi saat ini, ya berat untuk PTN yang memang belum mapan. Untuk bisa berkembang, butuh kesiapan untuk beradaptasi, butuh strategi, kepemimpinan, dan budaya kerja yang kuat,” kata Ashari.
Meskipun bersatus PTN BH, ujar Ashari, subsidi dari pemerintah tetap ada. Bagi PTN ada semacam bantuan operasional PTN (BOPTN). Sayangnya, besarannya tetap sama saat berubah status, padahal beban pembiayaan PTN semakin bengkak.
Apalagi dalam beberapa tahun terakhir tidak ada jatah pengangkatan dosen dan tenaga kependidikan bertatus aparatur sipil negara/ASN, baik PNS maupun PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) untuk PTN BH. Demi mengejar mutu, meskipun dosen dan tenaga kependidikan diangkat oleh ITS, tapi pemberian remunerasi, hak untuk menjabat struktural, termasuk pensiun, tidak berbeda dengan ASN.
”Apakah semua PTN mampu dan siap? Apalagi ketika BOPTN yang diberikan pemerintah tidak signifikan. Mudah-mudahan nanti ada pengaturan lagi,” kata Ashari.
Jamal, yang juga Rektor Universitas Sebelas Maret, mengatakan, untuk pembayaran gaji dosen dan tenaga kependidikan dengan komposisi 80 persen PNS dan 20 persen non-PNS berkisar Rp 500 juta. Adapun pendanaan BOPTN dari pemerintah berkisar Rp 67 juta. Padahal, ada target juga PTN BH harus menjadi world class university.
”Menjadi PTN BH berat karena ada sejumlah hal juga yang masih diatur kementerian. MRPTNI masih mengkaji RUU Sisdiknas ini,” ujar Jamal.
Kebebasan akademik
Di tengah persoalan otonomi kampus yang diatur di RUU Sissdiknas, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akdemik (KIKA) terus menyoroti kebebasan akademik di Indonesia. Herlambang P Wiratraman, dosen UGM mewakili KIKA di acara ”Pre-Session 41 Universal Periodic Review, UN Protecting the Academic Freedom of Indonesia’s Higher Education, Scientific and Research Communities” di Geneva, Swiss, pada akhir Agustus, bersama Scholars at Risk (SAR).
KIKA mendesak negara-negara anggota PBB untuk menyerukan kepada Indonesia sejumlah hal. Yang utama, meminta Pemerintah Indonesia berkomitmen secara publik untuk melindungi dan mempromosikan kebebasan akademik, otonomi universitas, dan hak-hak yang mendasar bagi komunitas pendidikan tinggi, terutama kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berserikat. Ada juga desakan untuk menahan diri dari penggunaan kekerasan atau tindakan hukum yang dimaksudkan untuk membatasi atau menghukum pelaksanaan kebebasan akademik dan hak terkait para ilmuwan dan mahasiswa.
Selain itu, harus memperkuat otonomi universitas dan mengurangi risiko korupsi di lembaga PTN, termasuk dengan memberikan kontrol yang lebih besar kepada senat universitas atas pengangkatan rektor. Sayangnya, sistem pengangkatan rektor PTN di Indonesia mengancam otonomi universitas dengan memberikan menteri pendidikan kekuatan suara yang tidak proporsional, yang secara efektif memberikan kontrol atas aspek-aspek utama pembuatan kebijakan universitas kepada aktor politik di luar universitas.
Baca juga: Kebebasan Akademik Masih Mendapat Tekanan
Herlambang memaparkan, universitas semestinya mempromosikan keadilan sosial dan hak asasi manusia, memastikan kemajuan ilmiah, dan mencontoh kemajuan demokrasi. Universitas yang berkembang akan memungkinkan Indonesia untuk berkolaborasi dan bersaing dengan universitas terkemuka lainnya di seluruh dunia, membantu mendorong kemakmuran dan kemajuan nasional.
”Dan universitas adalah ruang di mana solusi untuk masalah paling mendesak di dunia, dari otoritarianisme dan korupsi publik hingga keruntuhan lingkungan, diperdebatkan dan dikembangkan. Jadi masing-masing dari kita memiliki andil dalam melindungi kebebasan akademik di Indonesia,” kata Herlambang.