Sebanyak 46 persen atau 326 zona musim di Indonesia akan mengalami musim hujan yang lebih maju dibandingkan kondisi normal, 18 persen atau 124 zona musim normal, sisanya 36 persen atau 76 zona musim lebih mundur.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 46 persen atau 326 zona musim di Indonesia akan mengalami musim hujan yang lebih maju dibandingkan kondisi normal. Sekalipun Jakarta dan sekitarnya masih kemarau, hujan lebat terjadi lebih awal. Hal ini disebabkan kelimpahan uap air akibat masih hangatnya perairan sekitar dan La Nina yang berkepanjangan ataupun aktifnya Borneo Vortex dan pusat tekanan tekanan rendah.
Kepala Subkoordinator Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto, di Jakarta, Kamis (8/9/2022), mengatakan, pertumbuhan awan cumulus dan cumulonimbus sekitar Jakarta bersifat terisolasi. ”Awan hujan ini tumbuh secara vertikal dengan laju pertumbuhan bergantung pada cukupnya kandungan uap air dan cepat lambatnya proses udara naik (updraft) akibat pemanasan permukaan (konveksi) atau adanya proses pengangkatan udara akibat pertemuan masa udara (konvergensi),” kata dia.
Menurut Siswanto, terdapat beberapa hal yang menyebabkan proses konveksi dan konvergensi di beberapa wilayah Indonesia, termasuk di sekitar Jakarta ini lebih mudah terjadi. Fenomena ini terutama disebabkan oleh kelimpahan uap air dari laut sekitar yang masih cukup hangat dengan anomali hingga satu derajat celsius. Selain itu, gelombang ekuatorial atmosfer Madden Julian Oscialltion saat ini berada di Indonesia bagian barat meskipun dengan intensitas index yang lemah.
Pada daerah dengan periode musim hujan yang tiba lebih awal, perlu ada langkah-langkah penyesuaian di sektor pertanian, misalnya melakukan musim tanam lebih awal.
Faktor lain, La Nina masih aktif, yang menyebabkan suplai uap air dari Samudra Pasifik masih cukup intens ke wilayah Indonesia. Demikian halnya, suplai air dari Samudra Hindia juga tinggi karena indeks dipole mode fase negatif (IOD-).
”Saat ini juga terekam adanya pusaran angin yang dinamai Borneo Vortex di atas Selat Karimata, serta ada potensi perkembangan pusat tekanan rendah di Samudra Hindia barat Sumatera,” katanya.
Kedua fenomena tersebut, tambah Siswanto, berpengaruh pada dinamika sirkulasi atmosfer di sekitar wilayah Jawa bagian barat berupa jalur jalur konvergensi yang memperkuat proses udara naik (updraft) yang dapat berlangsung sepanjang hari. Hal ini biasanya menghasilkan hujan berdurasi lamaatau dapat memperkuat proses konveksi pada siang hari sehingga pertumbuhan awan terjadi lebih cepat menjadi hujan lebat hingga sangat lebat.
Menurut Siswanto, kondisi mendung dan hujan sepanjang hari di Jakarta dan sekitarnya ini bersifat temporer, bergantung pada aktifnya Borneo Vortex dan pusat tekanan rendah tersebut. ”Tetapi, kalau hujan berdurasi singkat setelah siang hari masih berpotensi terjadi karena kelimpahan uap air hasil penguapan dari perairan sekitar yang masih cukup hangat,” kata dia.
Menurut analisis BMKG, seperti disampaikan Siswanto, 46 persen atau 326 zona musim di Indonesia akan mengalami musim hujan yang lebih maju dibandingkan kondisi normal, 18 persen atau 124 zona musim normal, sisanya 36 persen atau 76 zona musim lebih mundur. Sebagian besar wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara Barat akan memasuki awal musim hujan pada bulan September-Oktober, dimulai dari sebagian wilayah Jawa Timur dan daerah pegunungan, diikuti sebagian besar wilayah pada bulan Oktober dan terakhir wilayah pesisir utara pada bulan November.
Sedangkan dari karakteristik curah hujan, sebanyak 27 persen zona musim Indonesia akan mengalami musim hujan yang lebih basah dari rata-rata normalnya, 68 persen normal, dan 5 persen lebih rendah dari rata-rata.
Sebagian besar kemarau
Analis Klimatologi BMKG Supari mengatakan, hingga Agustus 2022, 78 persen zona musim di Indonesia masih memasuki musim kemarau dan baru 22 persen yang sudah masuk musim hujan. Jakarta dan sekitarnya masih dikategorikan memasuki musim kemarau.
”Sebagian zona musim yang sudah penghujan ini ada yang statusnya baru masuk hujan setelah sebelumnya kemarau. Namun, ada yang tidak sempat kemarau alias hujannya terjadi menerus dengan tahun sebelumnya,” kata dia.
Sebagaimana disampaikan Kepala Dwikorita Karnawati, dalam keterangan pers bulan lalu, terjadi penyimpangan iklim pada 2022 ini. Hal ini ditandai dengan keterlambatan datangnya awal musim kemarau dan sifat hujan di atas normal atau kemarau basah di sebagian wilayah Indonesia.
Data BMKG, fenomena La Nina yang saat ini berada pada intensitas lemah dengan indeks sebesar -1,25 pada Agustus-September-Oktober 2022. La Nina diprakirakan masih akan berlanjut setidaknya hingga periode Februari 2023. Sedangkan fenomena IOD negatif yang telah berlangsung sejak Juni 2022 diprakirakan dapat bertahan hingga akhir tahun 2022.
Supari mengatakan, analisis terhadap variabilitas suhu muka laut Indonesia menunjukkan adanya kontribusi proses pemanasan global. Kenaikan suhu muka laut ini telah berlangsung sejak pertengahan April 2022, selain disebabkan oleh fenomena La Nina. Penyimpangan klim ini menjadi indikasi dampak perubahan iklim.
Cuaca ekstrem
Siswanto mengatakan, pada periode peralihan musimSeptember–November 2022, perlu diwaspadai cuaca ekstrem, seperti hujan lebat, angin kencang, puting beliung, dan potensi hujan es yang bisa terjadi pada periode tersebut. ”Pemerintah daerah dan masyarakat di daerah rawan banjir dan tanah longsor diminta waspada menjelang dan pada puncak musim hujan,terutama di wilayah yang mengalami musim hujan lebih basah dari normalnya,” katanya.
Selain itu, Siswanto menyarankan, pada daerah dengan periode musim hujan yang tiba lebih awal, perlu ada langkah-langkah penyesuaian di sektor pertanian, misalnya melakukan musim tanam lebih awal, menambah luas tanam, melakukan panen air hujan, dan mengisi waduk atau danau yang berguna untuk periode musim kemarau yang akan datang.