Peningkatan dukungan bagi pemerintah yang kekurangan sumber daya untuk melindungi penyu diperlukan, bersama dengan dukungan bagi masyarakat dalam menghadapi larangan penangkapan penyu.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
ARIZONA, KAMIS — Para peneliti memperkirakan, lebih dari 1,1 juta penyu laut dibunuh secara ilegal dan beberapa kasus diperdagangkan pada periode 1990-2020. Meski telah dilindungi undang-undang dari kegiatan penangkapan, sebanyak 44.000 penyu dieksploitasi pada 10 tahun terakhir di 65 negara atau teritori dan 44 dari 58 area utama populasi penyu.
Meski jumlah perburuan itu tampak besar, studi itu pun menunjukkan eksploitasi penyu turun sekitar 28 persen dalam 10 tahun terakhir. Temuan penurunan perburuan ini cukup mengejutkan sekaligus menggembirakan karena berkurangnya ancaman fauna dilindungi tersebut.
”Penurunan selama dekade terakhir dapat disebabkan oleh peningkatan undang-undang perlindungan dan peningkatan upaya konservasi, ditambah dengan peningkatan kesadaran akan masalah atau perubahan norma dan tradisi lokal,” kata Kayla Burgher, mahasiswa program doktoral ilmu lingkungan Arizona State University (ASU) di School of Life Sciences, Rabu (7/9/2022) pada situs internet kampus.
Penilaian kami juga tidak mencakup telur atau produk penyu, seperti gelang atau anting-anting yang terbuat dari cangkang penyu.
Burgher dan sejumlah peneliti melaporkan hasil risetnya pada jurnal Global Change Biology, 7 September 2022. Riset itu berjudul ”Global Patterns of Illegal Marine Turtle Exploitation”.
Selain sedikit menurun, para peneliti menemukan, mayoritas eksploitasi ilegal yang dilaporkan selama dekade terakhir terjadi pada populasi penyu yang besar, stabil, dan beragam secara genetik. Jesse Senko, penulis utama studi ini sekaligus asisten profesor riset di School for the Future of Innovation in Society, ASU, mengatakan, penemuan ini mungkin merupakan hikmah dari tingginya jumlah penyu yang dieksploitasi secara ilegal.
Artinya, mayoritas penyu ini berasal dari populasi yang sehat dan berisiko rendah. ”Dengan beberapa pengecualian, tingkat eksploitasi ilegal saat ini kemungkinan besar tidak memiliki dampak merugikan yang besar pada sebagian besar populasi penyu di seluruh dunia,” katanya.
Ia menekankan, bagaimanapun hasil riset ini perlu dipertimbangkan dengan hati-hati karena sulit untuk menilai setiap aktivitas ilegal berupa perburuan dan perdagangannya. Kondisinya akan semakin sulit ketika hal ini menjadi terorganisasi atau terkait dengan sindikat kejahatan.
”Penilaian kami juga tidak mencakup telur atau produk penyu, seperti gelang atau anting-anting yang terbuat dari cangkang penyu,” kata Senko.
Dalam studi tersebut, para peneliti meninjau data dari artikel jurnal peer-review, laporan media yang diarsipkan, laporan lembaga swadaya masyarakat, dan kuesioner untuk menentukan pandangan komprehensif pada informasi tentang eksploitasi penyu.
Studi tersebut mengungkapkan pola dan tren tambahan yang dapat membantu dalam menentukan prioritas pengelolaan konservasi. Misalnya, Vietnam adalah negara asal paling umum untuk perdagangan penyu ilegal, sementara China dan Jepang menjadi tujuan hampir semua produk penyu yang diperdagangkan. Demikian pula, Vietnam ke China adalah rute perdagangan paling umum selama tiga dekade.
Selama periode studi 30 tahun, sebanyak 95 persen penyu yang diburu berjenis penyu hijau dan penyu sisik yang dilindungi perundangan di AS maupun di Indonesia. Peneliti juga mengungkapkan, Asia Tenggara dan Madagaskar muncul sebagai wilayah utama pengambilan dan perdagangan penyu ilegal, terutama untuk penyu sisik yang terancam punah. Penyu sisik digemari dalam perdagangan satwa liar karena cangkangnya yang indah.
”Penilaian kami merupakan landasan penting untuk penelitian dan upaya penjangkauan eksploitasi penyu ilegal di masa depan. Kami percaya penelitian ini dapat membantu praktisi konservasi dan pembuat undang-undang memprioritaskan upaya konservasi dan mengalokasikan sumber daya mereka untuk membantu melindungi populasi penyu dari tingkat eksploitasi berbahaya di seluruh dunia,” kata Burger.
Tim peneliti mengatakan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati global. ”Diperlukan peningkatan dukungan bagi pemerintah yang kekurangan sumber daya untuk melindungi penyu, bersama dengan dukungan bagi masyarakat untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat karena menghadapi pembatasan atau larangan eksploitasi penyu. Kita harus mengembangkan strategi konservasi yang menguntungkan manusia dan penyu,” kata Senko.