Pertemuan Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim negara-negara G20 telah berlangsung di Bali. Namun, ketiadaan komunike hasil dari pertemuan ini memunculkan pertanyaan terkait komitmen lingkungan setiap negara.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·5 menit baca
Pertemuan Tingkat Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim negara-negara G20 atau Joint Environment and Climate Ministers Meeting (JECMM) telah berlangsung di Nusa Dua, Bali, Rabu (31/8/2022). Agenda ini sangat penting karena merumuskan sejumlah poin kesepakatan terkait dengan komitmen setiap negara dalam mengatasi permasalahan lingkungan termasuk krisis iklim yang tengah menjadi ancaman global.
Poin-poin kesepakatan dari perhelatan itu nantinya juga akan dibawa ke pertemuan puncak para pemimpin negara G20 pada November mendatang di Bali. Saat pertemuan puncak ini, para pemimpin negara G20 mendiskusikan berbagai kebijakan internasional dan komitmennya dalam berbagai aspek, seperti politik, ekonomi, hingga lingkungan.
Pertemuan JECMM dipimpin langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Sejumlah menteri lingkungan negara G20 dan perwakilannya yang hadir secara langsung dalam pertemuan ini, di antaranya India, Jepang, Italia, Brasil, Australia, hingga Utusan Khusus Presiden Amerika Serikat untuk Urusan Iklim John Kerry.
Selain itu, hadir pula sejumlah perwakilan organisasi internasional yang fokus terhadap isu lingkungan, termasuk Presiden Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-27 (COP27). Pertemuan COP27 November tahun ini diselenggarakan di Sharm el-Sheikh, Mesir.
JECMM mengusung tiga isu prioritas yang sebelumnya telah dibahas pada tiga pertemuan Deputi Lingkungan dan Kelompok Kerja Keberlanjutan Iklim negara G20 (EDM-CSWG) di Yogyakarta, Jakarta, dan Bali. Tiga isu prioritas itu yakni dukungan pemulihan berkelanjutan, peningkatan aksi berbasis daratan dan lautan, serta peningkatan mobilisasi sumber daya untuk mendukung perlindungan lingkungan dan pengendalian perubahan iklim.
Saat membuka pertemuan JECMM, Siti kembali menegaskan bahwa setiap negara harus bersama-sama menghentikan pemanasan global dan mengatasi perubahan iklim. Sebagai tuan rumah pertemuan G20, Indonesia ingin membangun jembatan antara setiap negara guna mencari solusi terbaik dalam mengatasi permasalahan ini.
”Indonesia sebagai ketua G20 saat ini telah mengundang perwakilan dari Afrika guna mengikuti langsung perundingan ini untuk pertama kalinya. Terlepas dari kondisi negara tersebut maju atau berkembang, suara dari semua negara tetap harus didengar,” ujarnya.
Perlu juga disoroti kepemimpinan Indonesia yang belum terlihat dan adanya agenda lingkungan yang berbeda-beda di setiap negara, seperti China atau India.
Setelah pertemuan tersebut resmi dibuka oleh Siti, setiap negara secara bergantian menyampaikan sambutan, intervensi, dan komentarnya. Sambutan pertama disampaikan oleh perwakilan dari Italia yang sebelumnya menjadi presidensi G20 tahun 2021.
Utusan Khusus untuk Lingkungan dan Iklim Italia yang juga Director General for European and International Affairs Alessandro Modiano membuka sambutannya dengan menyinggung perang Rusia-Ukraina. Menurut Alessandro, perang tersebut memiliki konsekuensi terhadap beragam aspek termasuk lingkungan, ketahanan pangan dan energi, upaya pemulihan pandemi, hingga pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
”Saya harus menekankan bahwa pemerintah Italia menganggap penting untuk menyinggung hal ini (perang Rusia-Ukraina) dalam teks akhir pertemuan ini. Keputusan akhir perlu mencantumkan bahasa yang jelas yang mencerminkan bahwa perang ini tidak dapat dibenarkan dan tidak beralasan,” ungkapnya.
Sambutan kedua kemudian disampaikan perwakilan dari India sebagai pemegang presidensi G20 tahun 2023. Menteri Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Perubahan Iklim India Bhupender Yadavmenyoroti rendahnya komitmen dukungan pendanaan dari negara-negara maju kepada negara berkembang untuk mengatasi krisis iklim.
”Ada kebutuhan mendesak untuk memobilisasi sumber daya guna merangsang ekonomi agar lebih tangguh dan berkelanjutan. namun, kecepatan dan skala pendanaan iklim saat ini dari negara-negara maju tidak sesuai dengan aspirasi global untuk memerangi perubahan iklim,” katanya.
Setelah lebih kurang empat jam, pertemuan JECMM resmi ditutup oleh Siti sekitar pukul 13.30 Wita. Namun, berbeda dengan pertemuan tingkat menteri lainnya, JECMM tidak merumuskan satu kesepakatan bersama atau komunike yang nantinya akan dibawa pada pertemuan puncak pemimpin negara G20 di Bali, November mendatang.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK yang juga Ketua EDM-CSWG Laksmi Dhewanthi beralasan bahwa setiap grup kerja termasuk pertemuan tingkat menteri negara G20 menghasilkan dokumen keluaran yang berbeda-beda. Khusus untuk pertemuan tingkat menteri lingkungan, dokumen yang dihasilkan tidak berbentuk komunike, tetapi chair summary (kesimpulan ketua pertemuan).
Chair summary terdiri dari 50 paragraf kesepamahan tentang lingkungan dan keberlanjutan iklim yang sebelumnya telah dibahas pada tiga pertemuan EDM-CSGW yang diselenggarakan sebelum JECMM. Nantinya, chair summary tersebut akan dikompilasi dan dirangkum menjadi deklarasi para pemimpin negara G20.
Beberapa inti kesepakatan isu lingkungan yang tertuang dalam chair summary tersebut di antaranya terkait dengan mengurangi dampak degradasi lahan dan kekeringan. Kesepakatan lainnya ialah meningkatkan perlindungan, konservasi, dan restorasi ekosistem lahan dan hutan secara berkelanjutan.
Aspek pengelolaan air yang berkelanjutan dan terintegrasi juga menjadi isu yang disepakati dalam pertemuan ini. Isu ini menjadi perhatian negara G20 karena dampak kekeringan di berbagai belahan dunia perlu dukungan dan tukar teknologi dari setiap negara.
Pada isu pendanaan lingkungan, negara G20 menyepakati bahwa aspek ini perlu ditingkatkan untuk melindungi, melestarikan, dan memulihkan ekosistem secara berkelanjutan. Pendaanan lingkungan ini diharapkan dapat bekerja sama dengan berbagai pihak baik swasta, pemerintah, dan masyarakat yang menjadi perhatian negara G20.
Sementara dari aspek pengendalian perubahan iklim, disepakati pula penguatan aksi iklim. Penguatan ini dapat dilakukan dengan berbagai upaya, salah satunya, peranan penganggaran pemulihan Covid-19 untuk meningkatkan mitigasi dan adaptasi iklim.
Selain itu, terdapat komitmen untuk mencegah kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim, meneruskan Glasgow Dialogue menuju operasionalisasi Santiago Network, penguatan pemahaman hubungan antara iklim dengan lautan, hingga pelibatan grup rentan dalam pengembangan dan implementasi kebijakan iklim berbasis laut.
Isu krusial
Secara terpisah, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya, memandang bahwa pertemuan tingkat menteri lingkungan dan iklim negara G20 ini akan mengambil isu yang mudah disepakati. Sebaliknya, isu-isu krusial, seperti langkah konkret mengatasi krisis iklim dan upaya transisi energi yang lebih ambisius, cenderung tidak akan disepakati.
Tata menyebut, hasil JECMM ini tidak jauh berbeda dengan situasi saat pertemuan tingkat menteri lingkungan negara G20 sebelum-sebelumnya. Dalam sejumlah pertemuan G20 saat ini, perlu juga disoroti kepemimpinan Indonesia yang belum terlihat dan adanya agenda lingkungan yang berbeda-beda di setiap negara, seperti China atau India.
Tata menegaskan, secara khusus, semua pihak harus menyoroti kepemimpinan Indonesia dalam presidensi G20, terutama untuk mendorong kesepakatan konkret dalam isu iklim dan transisi energi. Tidak adanya desakan ini dikhawatirkan membuat pertemuan G20 di bawah presidensi Indonesia akan gagal menghasilkan kesepakatan dalam isu lingkungan dan iklim.
”Kita harus mendesak target presidensi Indonesia tidak sekadar menyenangkan semua negara G20 dengan target kesepakatan mudah yang tidak substantif. Ini penting karena G20 menghasilkan lebih dari 80 persen emisi global dan menguasai 80 persen ekonomi dunia sehingga memiliki tanggung jawab besar untuk mengatasi krisis iklim,” katanya.