Komedi punya daya untuk mencegah orang yang dikritik marah. Alih-alih marah, yang dikritik bisa ikut tersenyum atau tertawa bersama audiens.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komedi membuka ruang untuk menyampaikan kritik dan mendiskusikan isu yang dianggap sensitif. Hal ini penting untuk menumbuhkan masyarakat yang tidak hanya reflektif, tapi juga toleran.
Menurut CEO Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) dan Humor Justice Warrior, Novrita Widiyastuti, candaan yang dilontarkan pelawak kerap mencerminkan kondisi masyarakat. Pada zaman dulu, pelawak istana atau court jester bertugas menyampaikan hal yang terjadi di masyarakat secara jujur, namun jenaka.
Candaan dinilai dapat menetralkan emosi, bahkan menghasilkan perasaan positif terhadap suatu isu. Itu sebabnya komedi dapat dimanfaatkan untuk membahas isu yang kompleks atau sensitif, misalnya korupsi, etnis, dan ideologi.
“Fungsi humor adalah untuk menarik perhatian lewat tawa. Selain itu, humor bisa meruntuhkan dinding-dinding sosial karena semua orang (posisinya) sama di hadapan humor,” kata Novrita pada Diskusi Humor dalam Dinamika Kehidupan Bermasyarakat yang digelar Universitas Multimedia Nusantara secara hibrida, Kamis (1/9/2022).
Pelawak tunggal atau komika Mamat Alkatiri mengatakan, komedi sebagai media kritik juga berkembang di Amerika Serikat. Pada momen kemerdekaan AS, komedian akan diundang untuk “menjelekkan” atau roasting pejabat beserta kebijakannya.
Komedi dinilai berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat di setiap negara. Sebab, komedi adalah media kritik terhadap penguasa. “Jadi apa yang menjadi keresahan masyarakat dibawakan oleh komedian. (Isunya) dibungkus dengan ringan agar sampai ke telinga pejabat. Pada dasarnya itulah komedi,” ucap Mamat.
Saat dihubungi terpisah dari Jakarta, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito mengatakan, humor merupakan media komunikasi politik yang menarik karena kritik dapat disampaikan secara menyenangkan. Alih-alih tersinggung, penerima kritik justru bisa ikut tersenyum bersama audiens. Pesan yang disisipkan dalam lelucon pun jadi dapat diterima dengan lebih lapang dada.
Hal ini tampak dalam format komedi tunggal atau stand up comedy yang berkembang di Indonesia sekitar satu dekade terakhir. Komika Kiky Saputri, misalnya, pernah roasting beberapa pejabat langsung di hadapan pejabat itu. Beberapa pejabat tersebut adalah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, anggota DPR Fadli Zon, dan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi.
Komika Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra atau Bintang Emon juga kerap menyampaikan kritik yang dibalut komedi. Pada 2020, Bintang mengunggah video berisi kritik terhadap kasus penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Konten ini viral di media sosial (Kompas, 17/6/2020).
Selain stand up comedy, seni juga menjadi media menyampaikan pesan atau kritik ke penguasa. Pada masa Orde Baru, para seniman membuat puisi, lagu, dongeng, hingga pertunjukan yang secara subtil menyisipkan kritik.
“Di pewayangan ada (cerita) punakawan yang isinya sindiran antara juragan dengan anak buah. Sindiran itu tidak sarkastis atau kasar, malah bikin ketawa. Yang disindir kena, tapi tidak marah,” kata Arie.
“Yang paling penting bukan siapa bicara apa, tapi apa yang disampaikan dan apa maknanya. Seni kerap menetralisasi kecenderungan untuk marah tanpa harus menghilangkan substansi, pesan, atau kritik,” tambah Arie.
Seni dan komedi sebagai media kritik diharapkan mampu membuat pihak yang dikritik melakukan introspeksi diri. Di sisi lain, masyarakat diharapkan bisa memahami berbagai isu dengan mudah melalui komedi. Semakin banyak ruang diskusi, semakin luas pula wawasan masyarakat.
“Jika ruang diskusi dibuka, orang akan jadi lebih cair, tidak kaku, dan tidak mudah tersinggung. Mereka tidak akan memaksakan cara pikirnya ke orang lain. Hal itu mampu menumbuhkan sikap terbuka di masyarakat,” kata Arie.
Agar komedi tepat sasaran, ada beberapa aturan yang mesti diikuti, seperti tidak boleh rasis dan tidak menggunakan kata kasar. Novrita menambahkan, seseorang mesti banyak membaca untuk mengasah selera humornya. Selain buku, seseorang juga mesti pandai membaca dinamika sosial di sekitarnya.
“You read humor, you think humor, and you will create humor (Anda membaca humor, anda memikirkan humor, maka Anda akan menciptakan humor),” katanya.