Bukti Genetik Jadi Dasar Pengusulan Wilayah Hukum Adat Punan Batu
Data ilmiah menunjukkan, Punan Batu memiliki identitas genetik dan kultural yang berbeda. Data ini menjadi dasar upaya pengakuannya sebagai masyarakat hukum adat.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
AHMAD ARIF
Bupati Bulungan, Syarwani, Rabu (31/8/2022), menandatangani deklarasi inisitaif perlindungan Punan Batu di Sajau Benau sebagai masyarakat hukum adat, disaksikan oleh sejumlah perwakilan Punan Batu dan para pihak lain. Upaya pengakuan ini didasarkan atas bukti saintifik, termasuk data genetik oleh tim peneliti internasional.
BULUNGAN, KOMPAS — Bukti genetik menunjukkan, Punan Batu di Sajau Benau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, merupakan kelompok pemburu dan peramu yang berbeda dengan kelompok etnis Dayak. Data saintifik yang ditemukan peneliti eks Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan tim ini menjadi dasar Pemerintah Kabupaten Bulungan untuk mengusulkan Punan Batu mendapat pengakuan sebagai masyarakat hukum adat dan ruang hidupnya dilindungi.
”Upaya pengakuan terhadap eksistensi masyarakat Punan Batu akan dilakukan dengan menjaga ekosistem dan kawasan hutan yang mereka huni,” kata Bupati Bulungan Syarwani, Rabu (31/8/2022), saat berbicara dalam lokakarya tentang rencana pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Punan Batu.
Menurut Syarwani, Pemerintah Kabupaten Bulungan sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Nomor 12 Tahun 2016 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. ”Perda ini kami usulkan saat saya masih menjadi Ketua DPRD Bulungan. Dengan adanya perda ini, negara dan pemerintah tidak boleh meninggalkan komunitas atau kelompok masyarakat yang ada di Kabupaten Bulungan,” katanya.
Syarwani berterima kasih kepada para peneliti yang telah mengidentifikasi dan menemukan bukti keberadaan Punan Batu di wilayah Kabupaten Bulungan, tetapi belum terdaftar sebagai masyarakat hukum adat. Saat ini, tim Pemkab Bulungan tengah menyiapkan surat keputusan tentang pengakuan masyarakat hukum adat Punan Batu dengan wilayah adat di sekeliling Gunung Benau seluas 18.497 hektar. Wilayah hutan yang menjadi ruang hidup Punan Batu ini masih berstatus sebagai hutan produksi HPH di bawah konsesi dua Inhutani I.
Makruf dan empat perwakilan masyarakat Punan Batu yang hadir dalam lokakarya ini berharap agar pengakuan ini bisa dipercepat mengingat ruang hidup mereka di hutan semakin menyempit. ”Saat ini mencari makanan di hutan semakin sulit, terutama binatang buruan dan ikan di sungai sudah berkurang,” katanya.
Selain itu, melalui Datuk Abdul Karim, tokoh masyarakat Bulungan yang menjadi pengusul masyarakat hukum adat Punan Batu, perwakilan masyarakat Punan Batu meminta pemerintah memastikan semua anggota komunitas Punan Batu bisa mendapatkan identitas kependudukan sehingga bisa mendapat hak-hak sebagai warga negara, termasuk layanan kesehatan.
KOMPAS/AHMAD ARIF
Rombongan suku Punan Batu tengah berjalan menyusuri hutan di sekitar hulu Sungai Sajau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Kamis (19/10). Suku pemburu dan peramu ini teramcam dengan perusakan hutan dan perkebunan sawit yang menggusur ruang hidup mereka.
Tergantung hutan
Keberadaan Punan Batu awalnya diketahui tim peneliti Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman yang dipimpin Herawati Supolo Sudoyo dan Pradiptajati Kusuma saat penelitian lapangan di Kalimantan Utara pada tahun 2018. Mereka kemudian mengambil sampel genetiknya dan membandingkannya dengan sejumlah kelompok etnis Dayak dan Punan lain di Kalimantan serta Malaysia.
”Punan Batu memiliki genetik yang berbeda dengan etnis Dayak di Kalimantan, termasuk dengan Dayak Lundayeh yang tempat hidupnya paling dekat,” kata Pradiptajati yang sekarang bekerja di Mochtar Riady Institute for Nanotachnology (MRIN) dalam lokakarya ini.
Punan Batu ini bergerak untuk berpindah tempat tinggal rata-rata setiap 8-9 hari dengan jarak minimal 5 km antartempat tinggal. Ini menunjukkan bahwa Punan Batu memang masih aktif sebagai masyarakat pemburu dan peramu.
Sesama Punan, seperti Punan Batu, Punan Tubu, dan Punan Aput, menurut Pradiptajati, sebenarnya memiliki irisan genetik yang menunjukkan mereka memiliki nenek moyang yang sama. ”Namun, tiap-tiap Punan, seperti Punan Batu dan Punan Tubu, juga memiliki perbedaan, yang menunjukkan mereka sudah terpisah cukup lama,” katanya.
AHMAD ARIF
A. Lokasi tempat tinggal Punan Batu di pedalaman hutan Kalimantan. B. Pergerakan Punan Batu di dalam hutan, berpindah-pindah untuk mengumpulkan makanan. Sumber: Stephen Lansing dkk. (Evolutionary Human Science, 2022).
Hasil kajian genetik Pradiptajati dan tim tentang Punan Batu dipublikasikan di jurnal Evolutionary Human Science yang diterbitkan Cambridge University Press edisi Februari 2022. Guy S. Jacobs, ahli evolusi genetik manusia dari University of Cambridge yang turut dalam penulisan publikasi ini, mengatakan, Punan Batu yang mengumpulkan pangan dari hutan secara terus-menerus merupakan perilaku pemburu dan peramu yang khas. Mereka juga masih hidup di liang atau goa dan pondok-pondok temporer di hutan.
”Dengan memasang GPS, kami tahu jalur pergerakan mereka di hutan untuk mengumpulkan makan, berburu, mencari madu. Punan Batu ini bergerak untuk berpindah tempat tinggal rata-rata setiap 8-9 hari dengan jarak minimal 5 km antartempat tinggal. Ini menunjukkan bahwa Punan Batu memang masih aktif sebagai masyarakat pemburu dan peramu,” katanya.
AHMAD ARIF
Struktur genetika Punan Batu, berbeda dengan populasi lain di Kalimantan. Mereka memiliki nenek moyang Pra-Austronesia yang diperkirakan tiba di Kalimantan sejak sekitar 8.000 tahun lalu dari daratan Asia. Sumber: Stephen Lansing dkk. (Evolutionary Human Science, 2022).
Stephen Lansing, profesor antropologi dan ahli bahasa dari Santa Fe Institute, menambahkan, selain dari sisi genetik dan perilaku, ciri khas Punan Batu yang membedakannya dengan kelompok populasi lain juga bisa dilihat dari bahasa. Dalam percakapan sehari-hari, mereka memang menggunakan bahasa Punan Sajau, masuk dalam kelompok bahasa ”Central Sarawakan Austronesian” yang juga dipakai Punan atau Dayak. Meski demikian, Punan Batu juga memiliki bahasa kuno yang disebut bahasa Latala.
Bahasa Latala yang biasanya dituturkan dalam nyanyian ini tidak dipahami kelompok Dayak lain atau bahkan Punan lain. Lansing mengatakan, bahasa Latala ini merupakan kunstsprache, yaitu bahasa kuno yang pernah dipakai leluhur, tetapi sekarang digunakan secara eksklusif untuk ekspresi tertentu, mirip dengan bahasa Yunani Homer, Latin atau Jawa kuno. ”Bahasa Latala di Punan Batu merupakan warisan budaya kuno, bukti lebih lanjut untuk sejarah demografis mereka yang berbeda,” tulis Lansing.
Pradiptajati mengatakan, sejumlah bukti ilmiah ini menunjukkan bahwa Punan Batu merupakan kelompok pemburu dan peramu yang masih aktif di Kalimantan. Sebelumnya, Punan lain kemungkinan juga memiliki budaya sebagai pemburu dan peramu, tetapi sekarang sudah menetap dan sebagaian menjalani hidup sebagai petani, seperti terjadi di Punan Tubu.
Menurut Pradiptajati, budaya berburu dan meramu Punan Tubu ini sangat bergantung pada pangan liar yang didapat di dalam hutan. Akan tetapi, sekarang mereka semakin terancam karena daya dukung hutan yang berkurang.
”Kami sangat senang jika akhirnya riset kami bisa menjadi dasar bagi kebijakan untuk mengakui dan melindungi Punan Batu, berikut hutan yang menjadi ruang hidup mereka,” katanya.
Populasi Punan Batu yang masih aktif berburu dan meramu di Sajau Banau sekitar 35 keluarga atau 103 individu. Di luar kelompok ini, diduga masih ada yang hidup terpisah di kawasan hutan lain di sekitar Bulungan, tetapi sejauh ini belum terdata. Sebagian lagi sudah mulai menetap dan tinggal di Desa Wonomulyo, desa transmigran.