Jalan Panjang Mencetak Sawah di Lahan Gambut
Kegigihan petani transmigran selama 18 tahun akhirnya mengubah lahan gambut Belanti Siam menjadi sawah. Kesuksesan ini juga ditopang pengorbanan lingkungan, dimulai dari proyek PLG, kebakaran berulang, hingga pupuk.
Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, sukses menanam padi sawah di lahan gambut sehingga jadi rujukan proyek lumbung pangan (food estate). Namun, mereplika Belanti Siam bukan perkara gampang. Sebab, para transmigran di desa ini membutuhkan 18 tahun sebelum akhirnya bisa memanen padi.
Sebelum berganti nama menjadi Belanti Siam, desa ini dulu merupakan kawasan transmigrasi Unit Pangkoh VII. Heriyanto (43), anggota Kelompok Tani Sido Mekar di Desa Belanti Siam, mengingat masa-masa remajanya saat ikut orangtuanya meninggalkan Ponorogo, Jawa Timur, menuju Pangkoh pada tahun 1982.
Sebagaimana transmigran lain, keluarga Heriyanto mendapat lahan 2 hektar (ha) di Unit Pangkoh VII. Awalnya, mereka bersemangat. Namun, lahan berupa semak belukar dan rawa gambut itu ternyata sangat berbeda dari yang mereka kenal selama ini. Berkali-kali, mereka mencoba menanam padi, tetapi selalu gagal panen.
”Sengsara,” ujar Heriyanto, Jumat (26/8/2022), saat ditanya mengenai perjuangan awal keluarganya sebagai transmigran.
”Beberapa bulan pertama, masih ada beras bantuan. Setelah itu enggak ada lagi, ya makan tiwul (singkong kering) tok,” ungkapnya.
Selama tiga tahun pertama, keluarga Heriyanto dan transmigran lain mencoba menanam padi, tetapi selalu gagal. Hanya singkong yang bisa dipanen dan itulah yang menjadi makanan mereka sehari-hari hingga bertahun-tahun berikutnya.
Heriyanto kerap membantu ayahnya menebas dan membakar lahan yang kadang penuh air, tetapi kadang begitu kering yang sangat mudah terbakar. Di situ, ia baru mengenal istilah tanah gambut.
”Kadang panen, tetapi ya sedikit, enggak cukup buat makan. Jadi, balik lagi makan tiwul,” ungkap Heriyanto.
Kegagalan panen yang berulang itu membuat sebagian transmigran meninggalkan Pangkoh. Namun, keluarga Heriyanto, yang tak punya pilihan lain, tetap bertahan.
Hingga pada 1995 pemerintah membuat proyek Pengolahan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar. Kawasan gambut, termasuk desa transmigran di Pulang Pisau, menjadi bagian proyek itu.
Alat-alat berat dikerahkan untuk membabat hutan dan membongkar gambut. Kanal-kanal buatan dibuat, memeras rawa-rawa gambut sehingga diharapkan bisa menjadi sawah. Namun, proyek ini gagal total dan menjadi bencana lingkungan. Lahan gambut yang kering menjadi sumber kebakaran hutan dan lahan dahsyat pada 1997, terbesar sepanjang sejarah Kalimantan.
Kebakaran lahan pada 1997, dan kemudian berulang di setiap musim kemarau, perlahan menggerus lapisan gambut. Sebagian petani yang masih bertahan di Pangkoh VII mencoba kembali menanam padi.
Para transmigran ini kemudian belajar dari para peladang Dayak untuk membakar lahan sebelum menanam. ”Setiap mau menanam, kami juga membakar lahan, jadi gambut di sawah lama-lama hilang. Apalagi, proyek PLG itu membuat kanal-kanal yang membuat lahan jadi cepat kering, tinggal berikutnya kami buat irigasinya,” kata Heriyanto.
Padi mulai bisa tumbuh baik di lahan sawah yang mulai matang itu. Meski demikian, panen benar-benar baru bisa dinikmati setelah tahun 2000, sekitar 18 tahun sejak kedatangan mereka di sana.
Keberhasilan menanam padi di rawa gambut ini jelas dilakukan melalui pengorbanan besar para petani awal. Sujarno (77), generasi pertama yang pindah dari Jawa ke Desa Gadabung, yang dulu dikenal sebagai wilayah Pangkoh VI, menuturkan hal serupa.
”Selama bertahun-tahun, kami tidak bisa makan nasi karena tidak bisa panen padi, kata Sujarno.
Dia kemudian mencoba membudidayakan berbagai tanaman lain, salah satunya kopi yang bibitnya dibawa dari kampung halamannya di Malang, Jawa Timur. Tanaman kopi yang jenis liberika ini rupanya bisa bertahan cukup baik di kawasan rawa gambut.
Sujarno menanam 100 pohon kopi di jatah lahan sekitar 2,5 ha yang dimilikinya. Dengan kopi inilah, Sujarno bertahan ketika pada tahun 2000-an akhirnya sawahnya mulai menunjukkan hasil. Kini, petani Belanti Siam dan Gadabung bisa memanen padi dua kali setahun.
Mimpi "food estate"
Keberhasilan desa transmigran Belanti Siam dan Gadabung menanam padi sawah di lahan gambut ini menjadi inspirasi bagi proyek food estate di Kalteng. Belanti Siam juga menjadi kawasan intensifikasi yang diminta menggenjot produksi padi. Petani yang biasanya menanam padi dua kali setahun diminta menanam tiga kali.
Kamis (8/10/2020), Presiden Joko Widodo melakukan penanaman perdana di kawasan food estate Desa Belanti Siam, yang menandai dimulainya Program Lumbung Pangan Nasional (Food Estate) di Kalteng.
Baca juga: Sengkarut Lumbung Pangan Kalteng
Penanaman padi ketiga di Belanti Siam akhirnya menuai kegagalan sehingga kini petani di sana kembali ke pola lama. Hartoyo, dari Kelompok Tani Sumber Rejeki, Belanti Siam, dalam diskusi daring, Selasa (23/8/2022), mengatakan, ”Memang awalnya satu tahun kami hanya bisa tanam dua kali. Dengan food estate, pemerintah meminta kami menanam tiga kali setahun. Namun, di musim ketiga, gagal panen.”
Menurut Hartoyo, kondisi lingkungan di Kalimantan memang berbeda dengan di Jawa. ”Perlu kesabaran. Saya sebagai petani penerus sudah ketemu enaknya. Kadang, saya terpikir. Dulu hutan, sekarang jadi begini, beratnya perjuangan bapak dan mbah,” katanya.
Meski demikian, pembangunan food estate di Kalteng sepertinya lebih memilih jalan yang serba tergesa walaupun dalam praktiknya banyak masalah. Sebagian lahan dari target 165.000 ha cetak sawah baru di lahan bekas proyek PLG di Kalteng mulai dibuka.
Petani dari berbagai kawasan gambut ini, yang mayoritas peladang tradisional Dayak Ngaju, diminta belajar cepat menanam padi sawah. Sejak 2015, mereka tidak bisa berladang karena praktik membuka lahan dengan membakar yang menjadi tradisi turun-temurun telah dilarang.
Cetak sawah baru ini menjadi harapan terakhir mereka untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun, beralih dari peladang menjadi petani sawah tidaklah mudah.
Pembangunan food estate di Kalteng sepertinya lebih memilih jalan yang serba tergesa walaupun dalam praktiknya banyak masalah.
Ketua Kelompok Sei Hanau, Desa Pilang, Pulang Pisau, Ardianto mengaku tak mengenal sistem bertani sawah. Ia mengaku bingung saat diberikan bantuan benih, pupuk, dan dolomit atau kapur untuk pendukung sawah, sementara lahan belum siap. ”Akhirnya, saat sudah dibuka, ya, kami coba-coba aja tanam pakai sistem tabur atau disebar,” ungkap Ardianto.
Di Desa Pilang, setidaknya 1.060 hektar lahan yang semula menjadi kebun masyarakat sudah dibuka dan kini menjadi sawah. Sayangnya, hingga kini belum ada dukungan irigasi.
”Kami harap ada pendampingan. Sebab, kami juga mau ini berhasil sehingga tidak harus beli beras lagi,” ungkap Ardianto.
Di Desa Pilang, banyak bantuan untuk proyek ini akhirnya terbengkalai. Tumpukan karung pupuk dan kapur dolomit, yang sebagian sudah terkoyak dan berceceran di tanah, banyak ditemukan di pinggir jalan, biasanya di depan rumah ketua kelompok tani, seperti yang bisa dijumpai di depan rumah Ardianto. ”Pupuknya datang lebih dulu saat lahan belum selesai dicetak,” kata Ardianto.
Selain pupuk, bantuan benih padi juga banyak yang tak terpakai. Ikil (38), anggota Kelompok Tani Eka Mandiri, Desa Pilang, mengatakan, banyak benih padi bantuan yang terbuang karena datang lebih awal sebelum lahan siap ditanami. Akhirnya, beberapa anggota kelompok tani menjual benih-benih tersebut. ”Ada juga yang sudah digiling untuk dimasak,” ujar Ikil.
Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Kalteng Riza Rahmadi menyadari masih banyak kekurangan dalam menjalankan program tersebut karena banyak kendala, mulai dari bencana alam seperti banjir hingga bantuan yang berhenti dari pemerintah pusat. ”Memang, saat itu Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) fokus pada pembuatan irigasi di Dadahup (Kabupaten Kapuas) sehingga (desa) yang lain ditinggalkan dulu. Tapi, begitu irigasi selesai di sana, malah banjir,” kata Riza.
Menurut Riza, beberapa bulan terakhir ini, pihaknya dan Kementerian Pertanian disibukkan juga dengan berbagai masalah, mulai dari penyakit mulut dan kuku pada ternak dan banyak lagi sehingga anggaran untuk lumbung pangan di Kalteng terganggu. ”Tapi, saya harap pemerintah pusat tidak lepas tangan. Ini bakal berhasil kalau berkelanjutan,” ungkap Riza.
Apa yang kini dirasakan Ardianto sudah pernah dirasakan oleh Heriyanto saat pertama kali pindah ke Kalteng. Melalui kegigihan petani transmigran selama 18 tahun, Belanti Siam pada akhirnya sukses menghasilkan padi.
Baca juga: Robohnya Lumbung Pangan Dayak Kalimantan
Lebih dari itu, lahan gambut di Belanti Siam bisa menjadi sawah juga atas pengorbanan lingkungan yang luar biasa besar, dimulai oleh proyek PLG hingga serangkaian kebakaran lahan yang pada akhirnya menghilangkan lapisan gambut dan gelontoran pupuk sebelum lahan bisa menghasilkan. Apakah itu sepadan?
”Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center”