Kegiatan Pertambangan di Dairi Mengancam Lingkungan dan Masyarakat Lokal
Masyarakat Kabupaten Dairi, Sumut, melakukan aksi secara serentak di tiga wilayah untuk menolak kegiatan pertambangan. Hasil laporan menunjukkan kegiatan pertambangan tersebut berpotensi menimbulkan bencana ekologi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kegiatan pertambangan yang dilakukan perusahaan di Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, berpotensi membawa bencana ekologis dan mengancam keselamatan ribuan masyarakat lokal. Guna menolak kegiatan pertambangan ini, Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Dairi melakukan aksi damai secara paralel di tiga lokasi secara serentak, yakni di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional.
Tiga lokasi aksi damai menolak kegiatan pertambangan ini diselenggarakan di Dairi, Medan, dan Jakarta pada Rabu (24/8/2022). Titik pusat aksi di Jakarta berada di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kedutaan Besar Republik Rakyat China.
Dalam aksi tersebut, masyarakat melakukan kegiatan tradisional batak, yakni ”mangandung” yang merupakan ekspresi ratapan atau jerit tangis. Masyarakat menganggap kesengsaraan akan dirasakan di kemudian hari bila kegiatan pertambangan beroperasi di wilayah Dairi sehingga mereka hanya bisa berharap dan memanjatkan doa-doa kepada Tuhan.
Kegiatan pertambangan ini tidak cocok karena bendungan limbah dibangun di atas debu Gunung Toba yang meletus dahulu kala.
Koordinator Aksi Wilayah Jakarta, Mangatur Sihombing, menyampaikan, penolakan dari masyarakat ini dilandasi atas laporan yang dikeluarkan lembaga Compliance Advisor Ombudsman (CAO) bahwa Dairi tidak cocok digunakan sebagai kawasan pertambangan. CAO merupakan bagian dari Bank Dunia dan Badan Kepatuhan Independen yang mengawasi International Finance Corporation (IFC).
Laporan dari CAO dikeluarkan setelah perwakilan warga Dairi membuat pengaduanke lembaga tersebut tentang aktivitas pertambangan dari PT DPM pada 2019 lalu. Laporan CAO tersebut juga dikuatkan oleh pendapat dua orang ahli, yakni ahli hidrologi dariUtah Valley University, Steven Emerman, dan ahli bendungan dari Stanford University, Richard Meehan.
Mereka mengatakan, rencana pertambangan yang diusulkan di Dairi tidak tepat dan berpotensi mengancam keselamatan warga. Alasannya, lokasi tambang berada di hulu desa dan di atas tanah yang tidak stabil serta di lokasi gempa tertinggi di dunia. Data dari PTDPM juga tidak lengkap, khususnya data tentang pengelolaan dan penyimpanan limbah.
”Kegiatan pertambangan ini tidak cocok karena bendungan limbah dibangun di atas debu Gunung Toba yang meletus dahulu kala. Bahkan, BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) juga mengatakan bahwa kawasan tersebut merupakan daerah bencana sehingga tidak pantas menambang di Dairi,” ujar Mangatur.
Dampak dari kegiatan tambang ini telah terbukti pada 2018. Saat itu, wilayah di Dairi diterjang banjir bandang dan menewaskan tujuh warga. Bahkan, pada masa eksplorasi PT DPM pada 2012, terjadi kebocoran limbah hingga mematikan banyak ikan mas peliharaan warga dan membuat sawah serta kolam di Desa Bongkaras menjadi telantar.
Selain itu, kawasan pertambangan PT DPM juga mengimpit permukiman warga, termasuk areal pertanian, ruang pangan, dan sumber air di tujuh desa serta satu kelurahan.
Dari fakta tersebut, masyarakat pun menolak kebijakan daerah atas alih fungsi lahan pertanian untuk kepentingan tambang. Masyarakat juga menuntut pemerintah untuk membatalkan proyek tersebut dan tidak memberikan persetujuan lingkungan ke PT DPM.
Dalam aksi di Jakarta, masyarakat juga sempat diterima oleh pihak KLHK dan melakukan audiensi secara tertutup. Menurut Mangatur, sikap KLHK akan mempertimbangkan kembali masukan warga terkait kekhawatiran atas kegiatan pertambangan dari PT DPM.
Sebelumnya, Head of HSE and Corporate Relations PT Bumi Resources Minerals, induk PT DPM, Achmad Zulkarnain, mengatakan bahwa saat ini perusahaan berhenti beroperasi untuk sementara waktu karena ada penolakan-penolakan dari warga.
”Kami sedang menunggu persetujuan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebelumnya, perusahaan sudah mendapat amdal pada 2005. Kemudian, dilakukan adendum amdal pada 2019,” katanya (Kompas.id, 6/7/2022).