Hewan Berumur Panjang Cenderung Lebih Tahan Perubahan Iklim
Hasil studi terbaru menunjukkan, spesies hewan besar yang berumur panjang cenderung lebih tahan terhadap dampak dari perubahan iklim ketimbang hewan kecil berumur pendek seperti tikus.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
ODENSE, SENIN — Para peneliti mengkaji sejumlah spesies mamalia yang bereaksi terhadap perubahan iklim. Hasilnya, hewan berumur panjang atau menghasilkan lebih sedikit keturunan cenderung lebih tahan terhadap dampak dari perubahan iklim dibandingkan dengan hewan berumur pendek.
Hasil studi tentang prediksi populasi mamalia darat terhadap perubahan iklim dari University of Southern Denmark (SDU) ini telah dipublikasikan di jurnal eLife, Juli 2022. Studi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan terkait kondisi ekosistem di Bumi menyusul kian masifnya cuaca ekstrem, seperti kekeringan berkepanjangan dan hujan lebat.
Dalam studi ini, para peneliti menganalisis data fluktuasi populasi 157 spesies mamalia dari seluruh dunia. Peneliti juga membandingkan data tersebut dengan data cuaca dan iklim sesuai dengan waktu pengumpulan hewan. Setiap spesies mencakup data selama 10 tahun.
Dalam kasus kekeringan yang berkepanjangan, sebagian besar makanan mereka, seperti serangga, bunga, atau buah-buahan, diprediksi akan lebih cepat hilang.
Hasil analisis tersebut telah memberikan informasi tentang bagaimana populasi spesies hewan mengatasi cuaca ekstrem. Peneliti melihat spesies tersebut khususnya pada faktor lama hidup dan banyaknya keturunan yang dihasilkan.
”Kami dapat melihat pola yang jelas bahwahewan yang berumur panjang dan memiliki sedikit keturunan lebih tahan saat cuaca ekstrem melanda daripada hewan berumur pendek dan memiliki banyak keturunan,” ujar Owen Jones, profesor di Departemen Biologi SDU, dikutip dari situs resmi SDU, Senin (22/8/2022).
Dari hasil analisis, spesies hewan berumur panjang yang kurang terpengaruh atau lebih tahan terhadap cuaca ekstrem yakni gajah afrika, harimau siberia, simpanse, kelelawar tapal kuda besar, llama, badak putih, beruang grizzly, bison amerika, klipspringer (antelop kecil), dan kelelawar schreibers.
Sementara hewan berumur pendek yang lebih terpengaruh cuaca ekstrem antara lain tikus rumput azara, tikus rumput zaitun, oposum tikus ekor gemuk, lemming kanada, tikus tundra, rubah arktik, cerpelai, celurut, woylie, dan tupai tanah arktik.
Dalam studi ini menyebutkan, spesies hewan besar yang berumur panjang lebih mampu mengatasi kondisi dari dampak perubahan iklim, seperti kekeringan berkepanjangan. Bahkan, kemampuan mereka untuk bertahan hidup, bereproduksi, dan membesarkan anak tidak terpengaruh pada tingkat yang sama seperti hewan kecil yang berumur pendek.
Di sisi lain, hewan berumur pendek yang mayoritas dari spesies tikus ini memiliki perubahan populasi yang lebih ekstrem dalam jangka pendek. Dalam kasus kekeringan yang berkepanjangan, sebagian besar makanan mereka, seperti serangga, bunga, atau buah-buahan,diprediksi akan lebih cepat hilang. Pada akhirnya hewan tersebut akan mati kelaparan karena cadangan lemak mereka terbatas.
Ahli biologi Christie Le Coeur dari University of Oslo, John Jackson, mengatakan, mamalia kecil ini bereaksi cepat terhadap cuaca ekstrem. Namun, kerentanan mereka terhadap cuaca ekstrem tidak boleh disamakan dengan risiko kepunahan.
Menurut John, risiko kepunahan suatu spesies tidak hanya tergantung dari dampak perubahan iklim, tetapi memiliki faktor lain. Beragam faktor tersebut mulai dari kerusakan habitat, perburuan, pencemaran atau polusi, hingga spesies invasif. Ancaman kepunahan spesies dari faktor-faktor tersebut bahkan lebih tinggi dari perubahan iklim.
Merespons perubahan iklim
Studi ini tidak hanya memberikan informasi tentang bagaimana 157 spesies mamalia spesifik itu bereaksi terhadap perubahan iklim. Namun, hasil studi ini juga dapat berkontribusi dalam memahami berbagai cara hewan dalam merespons perubahan iklim.
”Perubahan iklim membawa cuaca yang lebih ekstrem dan hewan perlu mengatasi hal ini. Analisis kami membantu memprediksi bagaimana spesies hewan yang berbeda dalam merespons perubahan iklim di masa depan berdasarkan karakteristik umum,” kata Owen.
Sebagai contoh, para peneliti telah mengidentifikasi cara adaptasi dari woylie, marsupial Australia yang langka. Banyak ahli biologi yang tidak mengetahui tentang spesies ini.
Para peneliti memprediksi woylie akan merespons cuaca ekstrem dengan cara yang mirip dilakukan oleh tikus. Sebab, spesies ini memiliki gaya hidup yang mirip dengan tikus, yakni berumur pendek dan berkembang biak dengan cepat.
”Dengan cara yang sama, ada banyak spesies hewan yang tidak banyak kita ketahui, tetapi reaksinya terhadap cuaca ekstrem sekarang dapat kita prediksi,” ucap John.