Tsunami akibat Letusan Gunung Tonga Mencapai 90 Meter
Tsunami akibat letusan gunung api vulkanik, seperti terjadi di Tonga pada Januari 2022 dan Anak Krakatau pada 2018, bisa sangat dahsyat. Tsunami di Tonga mencapai 90 meter, 9 kali lebih tinggi dari tsunami Sendai 2011.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gelombang tsunami yang dipicu oleh letusan gunung berapi bawah air Hunga Tonga Ha’apai di Tonga pada Januari 2022 mencapai ketinggian 90 meter, sekitar sembilan kali lebih tinggi dari tsunami Jepang 2011. Temuan terbaru ini menunjukkan tingginya ancaman gunung api bawah laut dan pentingnya sistem peringatan dini tsunami vulkanik.
Kajian ini ditulis Secretary-General of the International Tsunami Commission Mohammad Heidarzadeh dan tim di jurnal Ocean Engineering minggu ini. Aditya Gusman, tsunami modeler dari Indonesia yang bekerja di GNS Science, Selandia Baru, menjadi penulis kedua dalam kajian ini.
Penelitian dilakukan dengan menganalisis rekaman data pengamatan laut perubahan tekanan atmosfer dan osilasi permukaan laut, dikombinasikan dengan simulasi komputer yang divalidasi dengan data dunia nyata.
Indonesia termasuk negara yang memiliki deretan gunung api yang berpotensi menjadi sumber letusan dahsyat.
Tim peneliti menemukan bahwa tsunami itu unik karena gelombang tidak hanya diciptakan oleh air yang dipindahkan oleh letusan gunung berapi, tetapi juga oleh gelombang tekanan atmosfer yang sangat besar, yang mengelilingi dunia beberapa kali. Mekanisme ganda ini menciptakan tsunami dua bagian, di mana gelombang laut awal yang diciptakan oleh gelombang tekanan atmosfer diikuti lebih dari satu jam, kemudian oleh gelombang kedua yang diciptakan oleh perpindahan air letusan.
Kombinasi ini berarti pusat peringatan tsunami tidak mendeteksi gelombang awal karena mereka diprogram untuk mendeteksi tsunami berdasarkan perpindahan air daripada gelombang tekanan atmosfer.
Tim peneliti juga menemukan bahwa peristiwa pada Januari 2022 itu satu dari sedikit tsunami yang cukup kuat untuk melakukan perjalanan ke seluruh dunia. Tercatat penjalaran tsunami mencapai di semua lautan dunia dari Jepang dan pesisir barat Amerika Serikat di Samudra Pasifik Utara hingga Laut Mediterania.
Peringatan dini tsunami
Dalam keterangan yang dikeluarkan Universitas Bath, Heidarzadeh mengatakan, tsunami Tonga harus menjadi peringatan untuk kesiapsiagaan dan pemahaman lebih lanjut tentang penyebab dan tanda-tanda tsunami yang disebabkan oleh letusan gunung berapi. ”Tsunami Tonga menewaskan lima orang dan menyebabkan kerusakan skala besar, tetapi dampaknya bisa lebih besar jika gunung berapi itu terletak lebih dekat dengan komunitas manusia. Gunung berapi ini terletak sekitar 70 km dari ibu kota Tonga, Nuku’alofa, jarak ini secara signifikan meminimalkan kekuatan penghancurnya.”
Menurut dia, tsunami ini harus mendorong negara-negara, khususnya yang memiliki gunung api bawah laut, untuk berinvestasi dalam meningkatkan sistem deteksi tsunami vulkanik. Hal ini karena sistem peringatan dini tsunami vulkanik saat ini tertinggal sekitar 30 tahun di belakang sistem yang kita gunakan untuk memantau gempa bumi. ”Kita kurang siap untuk tsunami vulkanik,” katanya.
Aditya Gusman, tsunami modeler dari Indonesia yang bekerja di GNS Science-Selandia Baru dan turut menulis paper ini, mengatakan, letusan Gunung Anak Krakatau 2018 dan letusan Gunung Api Hunga Tonga-Hunga Ha’apai 2022 jelas menunjukkan kepada kita bahwa daerah pesisir di sekitar pulau-pulau gunung berapi berisiko terkena tsunami yang merusak.
”Meskipun mungkin lebih baik untuk memiliki daerah pesisir dataran rendah yang benar-benar bersih dari bangunan tempat tinggal, kebijakan seperti itu mungkin tidak praktis untuk beberapa tempat karena tsunami vulkanik dapat dianggap sebagai kejadian yang jarang terjadi,” katanya.
Anggota tim peneliti lainnya, Jadranka Epić, dari University of Split, Kroasia, menambahkan, menjadi sangat penting untuk memiliki sistem peringatan dini tsunami yang efisien, yang mencakup peringatan waktu nyata dan pendidikan tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi tsunami.
Sebagaimana dicatat Kompas, tsunami Anak Krakatau pada Desember 2018 juga tidak didahului oleh peringatan dini tsunami. Hal itu karena sistem peringatan dini tsunami di Indonesia saat itu hanya didasarkan pada kejadian gempa, belum terintegrasi dengan fenomena vulkanik, sehingga mengakibatkan ratusan korban jiwa di kalangan masyarakat di pesisir Banten dan Lampung.
Tidak siap
Sebelumnya, kajian terpisah yang diterbitkan di jurnal Nature pada Rabu (17/8) lalu menyebutkan, dunia tidak siap dengan letusan dahsyat gunung api yang bisa berdampak global karena bisa memengaruhi rantai pasokan global, iklim, dan makanan, sebagaimana pernah terjadi saat Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus pada 1815. Data terbaru menunjukkan, risiko letusan dahsyat gunung api bisa kembali ke depan.
Paper yang ditulis para peneliti dari University of Cambridge’s Center for the Study of Existential Risk (CSER) dan University of Birmingham menyebutkan, ada ”kesalahpahaman luas” bahwa risiko letusan gunung api raksasa sangat rendah. Hal ini menyebabkan kurangnya investasi pemerintah saat ini dalam memantau dan menanggapi potensi bencana gunung berapi.
Padahal, data yang dikumpulkan dari inti es pada frekuensi letusan dalam waktu yang lama menunjukkan ada satu dari enam kemungkinan ledakan berkekuatan skala tujuh dalam seratus tahun ke depan. Indonesia termasuk negara yang memiliki deretan gunung api yang berpotensi menjadi sumber letusan dahsyat.
Selain Tambora, sejarah juga mencatat erupsi berdampak global dari letusan Samalas di Pulau Lombok pada 1257 yang disebut terbesar di Bumi dalam 7.000 tahun terakhir. Sementara letusan Gunung Toba 74.000 tahun lalu merupakan yang terkuat dalam dua juta tahun terakhir.