Sejak abad ke-15, pedagang Melayu telah berlayar ke sejumlah pulau di kawasan timur Nusantara. Interaksi mereka dengan warga lokal dalam perdagangan dan penyebaran agama Islam turut berperan menjembatani keindonesiaan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak abad ke-15, pedagang Melayu telah berlayar ke sejumlah pulau di kawasan timur Nusantara. Interaksi mereka dengan masyarakat lokal dalam perdagangan dan penyebaran agama Islam turut berperan menjembatani keindonesiaan.
Kepala Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Irfan Mahmud mengatakan, terdapat benang merah antara pembentukan fondasi keindonesiaan dan budaya Melayu. Para pedagang Melayu tidak hanya berjualan, tetapi juga membangun permukiman di kawasan pesisir di sejumlah kepulauan.
”Ada jembatan kebudayaan yang kemudian membentuk hubungan antara budaya-budaya yang berbeda di Nusantara,” ujarnya dalam diskusi daring Forum Kebhinekaan #7: Budaya Melayu dan Keindonesiaan, di Jakarta, Kamis (18/8/2022).
Irfan menuturkan, peran kebudayaan Melayu, salah satunya sebagai bahasa dalam perdagangan, sangat penting untuk mendukung interaksi antarmasyarakat dari banyak daerah. Peran ini menguat pada masa penyebaran Islam di Nusantara.
”Komunitas Melayu menjadi salah satu instrumen penting terhadap diaspora orang-orang Muslim di Nusantara yang membentuk perkampungan Melayu di sejumlah tempat, seperti Maluku, Ternate, Banda, Makassar, dan Kalimantan,” katanya.
Peneliti arkeologi sejarah BRIN, Sarjiyanto, mengatakan, menurut catatan Tome Pires, penulis asal Portugis, pada abad ke-16, pedagang dari Melayu dan Jawa telah berlayar ke timur Nusantara. Mereka singgah di Sumbawa dan Bima untuk mendapatkan kain-kain lokal dan diperdagangkan di Maluku.
Karena sering digunakan dalam aktivitas perdagangan, bahasa Melayu pun semakin dikenal. Bahasa Melayu menjadi bahasa pergaulan di pasar-pasar dan pelabuhan.
Peran kebudayaan Melayu, salah satunya sebagai bahasa dalam perdagangan, sangat penting mendukung interaksi antarmasyarakat dari banyak daerah. Peran ini menguat pada masa penyebaran Islam di Nusantara.
”Selanjutnya, pada era penjajahan Belanda, bahasa Melayu menjadi bahasa resmi dalam bersurat, peraturan, administrasi, dan lainnya. Ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya bahasa Indonesia,” katanya.
Sarjiyanto menyebutkan, etnis Melayu berperan sebagai penyebar Islam di kawasan timur Indonesia, termasuk di Kepulauan Banda. Bahkan, bahasa Melayu juga dipakai dalam pelayanan peribadatan gereja Protestan pertama di Neira pada 1600-an.
Jejak pengaruh Melayu pun tergambar dalam penamaan tempat atau toponimi. Nama Campong Timur di Pulau Ay, Banda, misalnya, sangat dekat dengan istilah ”kampung” yang digunakan masyarakat Melayu.
”Etnis Melayu banyak memengaruhi secara budaya dan religi di Maluku umumnya dan Banda khususnya. Secara umum, bahasa Melayu penyumbang terbesar terbentuknya bahasa Indonesia,” ucapnya.
Kepala Program Studi Magister Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, Amrullah Amir mengatakan, sejak abad ke-15, masyarakat Sulawesi Selatan telah berinteraksi dengan orang-orang Melayu. Mereka membangun permukiman di kawasan pesisir, di antaranya Bori Appaka pada 1540, Somba Opu (1561), Takalar (1600), Tallo (1632), dan Kampung Melayu di Makassar (1705).
”Setelah kejatuhan Kerajaan Melaka (Malaka) pada 1511, orang-orang Melayu mulai banyak pindah ke Makassar. Oleh Raja Gowa, mereka diberikan tempat untuk membangun permukiman,” katanya.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN Herry Yogaswara menyebutkan, kehadiran pedagang Melayu di sejumlah tempat juga berinteraksi dengan budaya setempat. Hal ini membuat kemelayuan didefinisikan bermacam-macam dengan beragam perspektif.