Sampai saat ini akses kesehatan masih belum merata, terutama pada daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Oleh karena itu, dibutuhkan peran riset untuk mendukung pemerataan kesehatan ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sampai saat ini, Indonesia masih menghadapi permasalahan akses dan fasilitas kesehatan yang belum merata, khususnya pada daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Dukungan riset sangat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan ini sehingga masyarakat di daerah tertinggal tersebut bisa menikmati akses kesehatan yang optimal.
Kepala Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) NLP Indi Dharmayanti menyampaikan, layanan kesehatan merupakan salah satu bidang yang memanfaatkan perkembangan teknologi. Namun, hampir setengah populasi di dunia tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dan jatuh pada kemiskinan karena biaya yang besar.
”Termasuk di Indonesia, disparitas kesehatan sampai saat ini juga masih terjadi. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tidak mudah bagi Indonesia untuk melakukan pembangunan kesehatan,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Kelompok Marjinal di Tengah Pembangunan Teknologi Kesehatan”, Selasa (16/8/2022).
Menurut Indi, isu yang masih terus berkembang adalah tidak meratanya akses pembangunan, terutama pada daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. Oleh karena itu, dibutuhkan peran riset untuk mendukung pemerataan kesehatan, terutama di daerah rural.
Indi menyatakan, ketimpangan sosial dapat terjadi pada kelompok marjinal sebagai akibat dari perbedaan jender, kelas sosial ekonomi, serta penyakit yang berhubungan dengan kelompok tersebut. Ketimpangan ini terjadi karena kelompok marginal dan rural belum menjadi isu penting dalam pembangunan teknologi kesehatan.
Dari beberapa jenis penyakit tersebut, gangguan mental atau kejiwaan di daerah tertinggal mengalami kecenderungan meningkat setiap tahun. Tercatat, persentase gangguan mental pada tahun 2007 sebesar 7,9 persen naik menjadi 13,9 persen pada 2018.
Peneliti Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi BRIN, Leny Latifah, mengatakan, dari analisis lanjut data sekunder Riskesdas 2018, pemanfaatan dan akses masyarakat daerah tertinggal ke pelayanan kesehatan primer masih sangat rendah.
Tercatat, persentase gangguan mental pada 2007 sebesar 7,9 persen naik menjadi 13,9 persen pada 2018.
Hasil analisis mencatat, sebanyak 91 persen masyarakat di daerah tertinggal tidak memanfaatkan layanan puskesmas. Bahkan, 96 persen masyarakat tersebut juga tidak memanfaatkan layanan rumah sakit, baik fasilitas rawat jalan maupun rawat inap.
Terdapat beberapa aspek yang diperlukan untuk memastikan pemanfaatan layanan kesehatan di daerah tertinggal. Aspek tersebut di antaranya terkait dengan ketersediaan data, sasaran prioritas, karakteristik, dan kebutuhan masyarakat serta perlu ada fokus kebijakan, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan.
”Optimalisasi pemanfaatan pelayanan kesehatan daerah tertinggal perlu menempatkan orang-orang yang tertinggal dan berisiko ditinggalkan sebagai prioritas. Di sisi lain, pemangku kebijakan juga bertanggung jawab meminimalisasi disparitas dalam akses pelayanan kesehatan,” katanya.
Selain itu, Leni juga menyebut inovasi dan teknologi sangat diperlukan guna memperluas akses ataupun kualitas pelayanan kesehatan di daerah tertinggal. Beberapa potensi untuk memperluas cakupan pelayanan kesehatan ini mencakup promosi dan literasi, teknologi terapan, sistem kesehatan digital, pemberdayaan masyarakat, dan inovasi layanan.
Khusus untuk teknologi terapan, potensi ini perlu dikembangan guna menjawab tantangan pelayanan kesehatan terkait dengan diagnosis dan tindakan medis dengan energi yang terjangkau. Sementara untuk sistem kesehatan digital, ini perlu dikembangkan karena sampai saat ini masih terdapat keterbatasan sarana dan prasarana pada aspek digital.
”Saat ini, inovasi layanan kesehatan memang sudah banyak dijalankan pemerintah, seperti dokter terbang, dokter jalan kaki, puskesmas terapung, klinik keliling, dan ambulan terbang. Akan tetapi, permasalahannya adalah inovasi tersebut belum merata dan diskontinu,” ucapnya.