LPTK Perjuangkan Pendidikan Calon Guru di RUU Sisdiknas
Lembaga pendidikan tenaga kependidikan atau LPTK untuk menghasilkan calon guru tengah memperjuangkan eksistensinya di RUU Sisdiknas. LPTK tidak secara eksplisit disebut dalam RUU tersebut.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang masih disiapkan pemerintah terus menuai kritik. Dalam RUU tersebut, perguruan tinggi bagi calon guru atau lembaga pendidikan tenaga kependidikan belum secara spesifik disebutkan sebagai lembaga yang menghasilkan calon pendidik di Indonesia. Padahal, salah satu faktor kunci untuk permasalahan pendidikan nasional adalah kualitas pendidik.
Saat ini ada 1.578 lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) serta Kementerian Agama. Sedangkan LPTK negeri di bawah Kemendikbudristek berjumlah 52 lembaga dan Kementerian Agama 97 institusi. Jumlah terbesar justru LPTK swasta, yakni 1.429 institusi.
Berdasarkan data di laman Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, ada sekitar 1,37 juta mahasiswa pendidikan. Mereka tersebar di 6.127 program studi pendidikan.
Ketua Forum Rektor Perkumpulan Perguruan Tinggi Kependidikan Negeri Indonesia (PPTKNI) Ganefri, Senin (15/8/2022), mengatakan, pada RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang akan diusulkan untuk Prolegnas 2022, LPTK belum dicantumkan secara spesifik sebagai lembaga yang menghasilkan calon pendidik. Hal ini dinilai kontradiktif dengan peran dan fungsi LPTK yang selama ini berperan penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pembinaan guru profesional dengan kompetensi dan kualifikasi akan dihasilkan dari LPTK yang kredibel dan memiliki tata kelola yang baik. Hal ini menjadi justifikasi utama perlunya LPTK dicantumkan pada RUU Sisdiknas terbaru.
Dalam UU Guru dan Dosen Tahun 2005 Pasal 1 Ayat 14 dinyatakan, LPTK adalah perguruan tinggi yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan non-kependidikan.
”Kehadiran LPTK sebagai satu-satunya lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bagi calon guru dengan kurikulum khusus yang mendukung kesiapan penyesuaian perubahan dan tantangan masa depan, secara nyata tidak akan tergantikan dan hendaknya menjadi pertimbangan utama dalam merencanakan sistem pendidikan nasional masa depan,” kata Rektor Universitas Negeri Padang tersebut.
Karena LPTK tidak disebutkan secara spesifik, dikhawatirkan PPG bisa dilaksanakan oleh lembaga di luar perguruan tinggi.
Di dalam draf RUU Sisdiknas, guru harus dari lulusan pendidikan profesi guru (PPG). Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi punya kewenangan untuk menetapkan PPG.
Menurut Ganefri, di dalam UU Guru dan Dosen juga secara jelas disebutkan PPG dilaksanakan perguruan tinggi (PT) yang punya program studi kependidikan atau LPTK. ”Yang diharapkan masyarakat dan praktisi pendidikan bahwa penyelenggaraan PPG harus dilaksanakan oleh PT yang mempunyai program studi kependidikan dengan persyaratan yang ditetapkan oleh kementerian. Hal itu harus tercantum jelas dalam salah satu pasal draf RUU Sisdiknas,” ujarnya.
Karena LPTK tidak disebutkan secara spesifik, dikhawatirkan PPG bisa dilaksanakan oleh lembaga di luar perguruan tinggi. Hal ini salah satunya terlihat dari permintaan Kemendikbudristek agar guru lulusan program guru penggerak yang dilaksanakan Kemendikbudristek bisa mendapatkan sertifikat pendidik. Padahal, sesuai ketentuan, sertifikat pendidik didapatkan guru setelah mengikuti PPG.
Tetap berperan
Secara terpisah, Kepala Badan Standar Kurikulum, Asesmen, dan Pendidikan, Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan, LPTK yang ada saat ini tetap berperan untuk menyelenggarakan PPG. Penetapan perguruan tinggi sebagai penyelenggara PPG oleh Mendikbudristek dimaksudkan untuk menjaga keselarasan antara jumlah dan distribusi kebutuhan guru baru dengan input (penerimaan) mahasiswa PPG.
”Dengan ketentuan ini, menteri dapat menugaskan perguruan tinggi di luar LPTK yang sudah menyelenggarakan PPG untuk ikut menyelenggarakan PPG ketika dibutuhkan,” kata Anindito.
Terkait tidak adanya penyebutan LPTK secara spesifik dalam pasal RUU Sisdiknas, menurut Anindito, karena secara umum RUU Sisdiknas menghindari nomenklatur di batang tubuh. ”Pertimbangannya sama dengan kenapa RUU ini tidak memuat nomenklatur TK/RA, SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA, dan SMK/MAK, yaitu agar kita tidak terikat dengan nomenklatur atau penamaan yang seharusnya bisa berubah sesuai perkembangan,” ucap Anindito.
Anindito menegaskan, RUU Sisdiknas berfokus pada substansi kebijakan, bukan pada nomenklatur. ”Secara substansi, perguruan tinggi yang berperan sebagai LPTK saat ini pasti akan menjadi tulang punggung PPG ke depannya. Kebutuhan PPG akan sangat besar ke depannya. Peran LPTK justru akan semakin penting nantinya,” ucap Anindito.
Dalam acara Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Edukasi bertajuk Mereka-Reka Peran LPTK dalam RUU Sisdiknas, akhir Juli lalu, dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, mengatakan, LPTK harus mampu berperan sebagai lembaga pemikir (think tank) kebijakan pendidikan di negeri ini. Namun, terlihat kini peran LPTK semakin terpinggirkan.
”Dalam RUU Sisdiknas jangan sampai LPTK kehilangan momentum. Hal ini jadi kritik diri bagi LPTK juga yang saat ini sedang sibuk internal untuk perubahan status perguruan tinggi. Mau dibawa ke mana LPTK? Mestinya LPTK bisa berperan kritis dan membenahi pendidikan karena ini terkait dengan masa depan pendidikan generasi penerus bangsa,” ucap Rakhmat.