Keberhasilan Pendidikan Vokasi Dibutuhkan Dunia Kerja
Kualitas pendidikan dan pelatihan vokasi tak hanya membuat generasi muda siap kerja. Bagi dunia usaha dan dunia industri, kebutuhan tenaga kerja yang kompeten dan relevan semakin dibutuhkan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Siswa SMK NU Banat, Kudus, Jawa Tengah, menggelar peragaan busana Muslim di acara pembukaan Vokasiland Road to Hateknas 2022 yang digelar Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi, Kemendikbudristek, pada 28-31 Maret 2022 di Grand City Mall Suarabaya. Pendidikan vokasi menjadi salah satu pilihan untuk mengembangkan bakat anak, siap kerja di industri, melanjutkan kuliah, ataupun berwirausaha.
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas dan relevansi pendidikan serta pelatihan vokasi masih menjadi tantangan. Padahal, keberhasilan pendidikan dan pelatihan vokasi dapat mengatasi pengangguran dan ketidakselarasan atau mismatch diantara dunia kerja dengan industri.
Mantan Wakil Ketua Komite Tetap Vokasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sumarna F Abdurahman mengatakan, terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan dan Pelatihan Vokasi berdampak pada dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Sebab, selama ini kondisi ketenagakerjaan diwarnai dengan masalah mismatch antara suplai lulusan pendidikan dan pelatihan (diklat) vokasi dengan kebutuhan DUDI.
”Secara kuantitatif, jumlah lulusan diklat vokasi setiap tahun besar, tetapi secara kualitatif hanya sebagian kecil saja yang dapat diserap oleh DUDI. Sebagian besar lainnya kurang memenuhi kompetensi seperti yang dibutuhkan DUDI,” kata Suamarna yang juga mantan Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Jumat (12/8/2022), di Jakarta.
Sumarna memaparkan, hasil survei INDOTASK tahun 2020 yang dilakukan Bank Dunia menunjukkan, terdapat 51 keahlian/okupasi yang dibutuhkan DUDI, tetapi sulit didapatkan di pasar kerja. Dengan terbitnya Perpres tentang Diklat Vokasi, diharapkan kondisi ini dapat diperbaiki sehingga kebutuhan tenaga kerja DUDI dapat terpenuhi dan tingkat pengangguran dapat dikurangi.
”Kita bisa belajar dari pengalaman keberhasilan diklat vokasi dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan di sejumlah negara, terutama Korea Selatan dan Jerman,” ujarnya.
Menurut Sumarna, ada tiga faktor yang saling berkaitan, yakni orientasi demand driven, pola kemitraan publik-swasta, dan dukungan dengan sistem insentif.
Implementasi orientasi demand driven ditunjukkan dengan adanya koneksitas antara materi pembelajaran/pelatihan yang diselenggarakan lembaga diklat vokasi dan kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan DUDI. Koneksitas tadi dicerminkan dengan keberadaan standar kompetensi yang dibuat oleh DUDI, kemudian dijadikan acuan oleh lembaga Diklat Vokasi dalam mengembangkan kurikulum.
”Selama ini, orientasi demand driven masih terbatas pada tingkat kebijakan dan regulasi belum sampai pada tingkat implementasi. Ini terutama disebabkan karena masih banyak kompetensi yang dibutuhkan DUDI yang belum tertuang dalam bentuk standar kompetensi, khususnya SKKNI atau Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia. Di lain pihak, lembaga Diklat Vokasi juga masih menghadapi kendala menuangkan standar kompetensi yang sudah tersedia ke dalam kurikulum dan/atau modul pelatihan,” tutur Sumarna.
Adapun untuk mewujudkan koneksitas yang berkesinambungan antara lembaga diklat vokasi dan DUDI, dibutuhkan kerja sama yang erat dan saling menguntungkan di antara kedua belah pihak dalam wadah yang melibatkan unsur regulator. Selama ini, kerja sama antara lembaga diklat vokasi dan DUDI masih terbatas pada bentuk penandatanganan MOU (nota kesepahaman) yang tidak ada wadahnya. Akibatnya, setelah penandatanganan, kadang tidak ada tindak lanjutnya.
Sumarna memaparkan, pengalaman Australia dalam mengembangkan industrial skill council (ISC) sebagai wadah kerja sama industri dengan lembaga diklat dan pemerintah dapat ditiru. Lembaga ISC berfungsi mengembangkan standar kompetensi, materi diklat dan materi uji kompetensi yang dikemas sebagai satu kesatuan dalam bentuk paket diklat (training packages).
Oleh lembaga diklat, khususnya technical and further education (Tafe) atau setingkat politeknik, hal tersebut dijadikan acuan untuk mengembangkan materi pembelajaran dan uji kompetensi. Lulusan Tafe pun secara otomatis mendapatkan sertifikat kompetensi yang diakui industri terkait.
Dibutuhkan juga, kata Sumarna, sistem insentif agar wadah kerja sama para pemangku kepentingan dapat beroperasi. Insentif ini dapat diwujudkan dalam sejumlah bentuk, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.
Di Australia, ISC setiap tahun diberikan hibah untuk melakukan survei kebutuhan tenaga kerja dan mengembangkan paket diklat vokasi. ”Untuk Indonesia, wadah kerja sama lembaga diklat vokasi dan DUDI insentifnya dapat bersumber dari hibah pemerintah melalui kementerian terkait dan dari DUDI sendiri dengan memanfaatkan kebijakan keringanan pajak sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019,” ujarnya.
Kompetensi siap kerja
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kemendikbudristek, Kiki Yuliati, mengatakan, pemerintah terus mendorong kolaborasi dari satuan pendidikan dengan sejumlah pihak, termasuk DUDI. Hal ini penting untuk menciptakan kesempatan lebih luas bagi siswa vokasi terjun ke dunia kerja.
Lulusan vokasi menjalankan pendidikan agar memiliki kompetensi siap kerja. Namun, tetap ada pilihan untuk bisa melanjutkan kuliah atau berwirausaha.
Peningkatan kompetensi pendidikan vokasi jenjang SMK yang selaras dengan kebutuhan DUDI salah satunya didukung oleh Djarum Foundation. Program Officer Bakti Pendidikan Djarum Foundation, Galuh Paskamagma, mencontohkan, SMK NU Banat Kudus, Jawa Tengah, mampu melahirkan karya-karya fashion berkualitas, seperti desainer ternama sehingga dapat bersiang di dalam dan luar negeri.
SMK NU Banat memiliki teaching factory Zelmira yang mendukung siswa bebas berkreasi untuk menghasilkan produk fashion, utamanya fashion Muslim yang sesuai permintaan pasar. ”Adanya Merdeka Belajar membuat siswa bebas untuk berkreativitas sesuai dengan permintaan pasar sehingga para siswi bisa menghasilkan karya-karya berkualitas,” ujar Galuh.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR
Suasana perkuliahan di Politeknik Manufakturing Astra, Jakarta, pada hari Kamis (1/11/2018). Kurikulum kampus ini disusun berdasarkan kebutuhan industri.
Penyelarasan dengan perkembangan DUDI di bidang teknologi virtual reality (VR) juga dilakukan pendidikan vokasi yang bertujuan menyiapkan sumber daya manusia unggul dan kompeten melalui proses pembelajaran berbasis proyek. Menggandeng Pijar Foundation, SMK Raden Umar Said (RUS) Kudus, Jawa Tengah, menghadirkan sebuah alat VR untuk memudahkan peserta didik menemukan minat ataupun memudahkan dirinya mempelajari kondisi pekerjaan di lapangan tanpa harus terjun secara langsung.
”Kami mengerjakan proyek ini untuk menyiapkan siswa SMK dapat diterima bekerja di industri. Permasalahannya, inisiatif atau soft skill kurang. Mereka agak kagokketika langsung praktik di industri, mungkin takut akan kesalahan,” ujar Creative Director RUS Animation, Ivan Nadi, saat gelar wicara bertajuk ”VR Cloud Lab” pada ajang kolaborasi Mahakarya Vokasi, ”Vokasiland: Road to Hakteknas 2022”, awal Agustus lalu.
CTO Pijar Foundation, Ahmad Ataka, mengatakan, peserta didik belum dapat membayangkan bidang ilmu yang akan ditempuh atau fokus di mana. Pengetahuan sedini mungkin tentang opsi di masa depan pun dibutuhkan.
”Pemanfaatan VR dibutuhkan untuk mendapatkan tampilan dan rasa hingga siswa serasa melakukan sendiri di lapangan. Jadi, mereka dapat melihat langsung dunia baru. Peran VR ini amat krusial karena mendapatkan pengalaman yang berbeda,” ujar Ahmad.