Langkah Konkret Anggota G20 untuk Mengurangi Degradasi Lahan Dinanti
Dalam ”side event” G20 Environment Deputies Meeting and Sustainability Working Group, setiap negara anggota G20 dinantikan komitmennya dalam upaya mengurangi degradasi lahan, khususnya rehabilitasi mangrove.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menekankan langkah konkret setiap anggota G20 untuk mendukung inisiatif global dalam mengurangi degradasi lahan dan meningkatkan konservasi habitat terestrial. Setiap negara G20 perlu secara aktif berkontribusi mencegah dan mengurangi lahan terdegradasi hingga 50 persen pada tahun 2040.
Hal tersebut mengemuka dalam acara lokakarya upaya mengurangi degradasi lahan dan memulihkan ekosistem mangrove di Jakarta, Rabu (10/8/2022). Lokakarya ini merupakan salah satu side event G20 Environment Deputies Meeting and Sustainability Working Group (EDM-CSWG).
Selain perwakilan negara G20, acara ini juga dihadiri perwakilan organisasi internasional dan sejumlah pakar mangrove. Adapun topik yang dibahas dalam lokakarya ini, antara lain, upaya global dalam mengurangi degradasi lahan, rehabilitasi mangrove, pengelolaan lahan basah, pengurangan risiko bencana, dan potensi pembiayaan karbon biru dalam konteks mitigasi perubahan iklim.
Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dyah Murtiningsih menyampaikan, tujuan dari lokakarya ini adalah berbagi pengetahuan dan penanganan terbaik dalam mengurangi degradasi lahan. Melalui lokakarya ini, semua pihak juga bisa menjalin kerjasama dalam merehabilitasi ekosistem mangrove.
Rehabilitasi mangrove merupakan salah satu upaya terpenting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sebab, penyerapan karbon dari ekosistem mangrove tercatat empat sampai lima kali lebih besar dari lahan terestrial.
”Upaya pengurangan degradasi lahan ini tidak bisa dikerjakan sendiri oleh setiap negara. Jadi, harus ada komitmen bersama dalam mengatasi degradasi lahan dan rehabilitasi ekosistem mangrove,” ujarnya kepada media usai membuka lokakarya tersebut.
Dyah menyatakan, rehabilitasi mangrove merupakan salah satu upaya terpenting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sebab, penyerapan karbon dari ekosistem mangrove tercatat empat sampai lima kali lebih besar dari lahan terestrial.
Selama ini, beberapa negara dan organisasi internasional sudah memberikan atensi serta bekerja sama langsung dengan Indonesia dalam upaya rehabilitasi mangrove. Negara tersebut di antaranya Jepang, Jerman, Arab Saudi, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, dan organisasi internasional, yakni Bank Dunia.
Mayoritas kerja sama ini berupa pendanaan untuk rehabilitasi mangrove yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Kerja sama tidak menitikberatkan pada transfer teknologi karena dikhawatirkan akan menghilangkan keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat.
Beberapa kerja sama itu juga diintegrasikan dengan percepatan rehabilitasi mangrove di kementerian/lembaga, khususnya Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) dengan target rehabilitasi seluas 600.000 hektar hingga 2024. Penentuan daerah atau lokasi dalam kerjasama internasional ini nantinya dikoordinasikan dengan KLHK dan BRGM.
”Lokasi rehabilitasi yang akan dicanangkan memiliki kriteria seperti kerapatan mangrove dan potensi pembibitan mangrove. Kategori yang direhabilitasi itu untuk kerapatan mangrove jarang dan sangat jarang. Nantinya juga ada potensi mangrove yang bisa dilakukan rehabilitasi,” kata Dyah.
Pengalaman negara lain
Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pudyatmoko mengatakan, selain Indonesia, beberapa negara lain juga memiliki pengalaman terbaik dalam merehabilitasi mangrove. Contohnya, Kenya yang menggunakan skema pasar karbon dalam merehabilitasi mangrove. Sementara di Vietnam rehabilitasi diarahkan melalui sertifikasi produksi udang.
”Di Indonesia contoh-contoh ini juga banyak dilakukan, seperti di Berau, Kalimantan Timur. Di sana rehabilitasi mengombinasikan antara mangrove dan udang. Sebab, mangrove sangat penting untuk memfilter polusi dan menjernihkan air kembali,” katanya.
Satyawan menegaskan, melalui pertemuan dengan negara anggota G20, Indonesia ingin menunjukkan komitmennya dalam merehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektar. Pada pertemuan puncak G20 di Bali November mendatang juga akan ditunjukkan kesuksesan rehabilitasi mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai.
”Tahura Ngurai Rai itu dulunya adalah bekas tambak yang direhabilitasi menjadi mangrove yang sangat bagus. Artinya, Indonesia ingin memberikan pelajaran bahwa lahan tambak pun bisa diperbaiki asalkan ada komitmen,” ujarnya.