Aborsi Aman bagi Korban Pemerkosaan Belum Banyak Diketahui
Korban pemerkosaan dapat mengakses layanan aborsi aman dan legal sesuai ketentuan hukum. Namun, belum banyak yang mengetahui layanan itu.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
YOLA SASTRA
Anggota Jaringan Peduli Perempuan Sumatera Barat mengikuti aksi damai anti-kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Jalan Jenderal Sudirman depan Kantor Gubernur Sumatera, Padang, Sumatera Barat, Kamis (25/11/2021). Aksi ini menyikapi maraknya kasus kekerasan seksual, terutama terhadap anak, di Sumbar sekaligus memperingati Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Internasional.
JAKARTA, KOMPAS — Layanan aborsi aman bagi korban pemerkosaan belum banyak diketahui masyarakat. Padahal, layanan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah No 61/2014, dan Peraturan Menteri Kesehatan No 3/2016. Peran media diperlukan untuk menyosialisasikan isu ini sesuai kode etik jurnalistik yang berlaku.
Hal ini mengemuka pada peluncuran hasil studi berjudul ”Media Memandang Aturan Kebijakan pada Tubuh Perempuan: Hak Aborsi Aman bagi Korban Perkosaan”, Rabu (10/8/2022), secara daring. Studi ini dilakukan oleh Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) dan Konde.co. Studi dilakukan pada 21 April 2021 hingga 21 April 2022 terhadap enam media nasional daring.
Layanan ini masih sulit diakses antara lain karena usia kehamilan korban pemerkosaan melebihi batas aturan, hingga ketidaktahuan masyarakat soal layanan ini.
Studi dilakukan dengan menyisir pemberitaan keenam media dengan sejumlah kata kunci, seperti aborsi, perkosaan, pemerkosaan, dan menggugurkan kandungan. Peneliti juga melakukan diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion/FGD) dengan perwakilan redaksi media, serta melakukan wawancara mendalam.
Tim peneliti menemukan bahwa pemberitaan aborsi atau menggugurkan kandungan masih minim. Salah satu media yang diteliti merilis 28 artikel dengan kata kunci aborsi dan menggugurkan kandungan pada periode penelitian. Sementara itu, pemberitaan tentang pelecehan dan kekerasan seksual ada 342 artikel.
”Kami mendapati bahwa pemberitaan aborsi terkait dengan RUU TPKS (Rancangan UU Tindakan Pidana Kekerasan Seksual). Kami juga menemukan bahwa pemberitaan bersifat normatif, sebagian kecil informatif, tetapi belum membahas hak aborsi aman bagi korban pemerkosaan,” kata anggota tim peneliti, Nurul Nur Azizah.
Temuan lain dari studi ini ialah media tidak menghadirkan penyintas atau pendamping korban sebagai narasumber berita. Ini umumnya karena identitas pihak-pihak terkait kerap dirahasiakan sehingga sulit diwawancarai.
KOMPAS/AGUIDO ADRI
Orangtua dan suster pendamping memeluk BA dan J seusai mendengar putusan hakim yang menjatuhkan 15 tahun penjara kepada SPM, Rabu (6/1/2020).
Sementara belum semua media memiliki sikap khusus terhadap isu aborsi bagi korban pemerkosaan. Isu ini tergolong sensitif karena stigma sosial dan agama di masyarakat masih kuat. Selain itu, belum semua jurnalis memiliki pemahaman yang memadai untuk mengulik isu ini.
”Yang perlu dilakukan ialah meningkatkan kapasitas jurnalis, utamanya terhadap isu kekerasan terhadap perempuan dan hak atas aborsi legal. Kode etik jurnalistik juga mesti dipatuhi,” kata Managing Director KoranTempo Sunudyantoro.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Di peron Stasiun Cirebon, Jawa Barat, Rabu (29/6/2022), Diva Ramadhona (20) menari topeng klana saat kampanye stop pelecehan seksual dan kekerasan seksual. Kampanye itu untuk mencegah kasus pelecehan seksual dan kekerasan seksual di stasiun dan kereta.
Pada 2015, Komnas Perempuan menganalisis sembilan media daring dan cetak untuk melihat perspektif korban kekerasan seksual di pemberitaan. Pada periode Januari-Juni 2015 ada sejumlah pelanggaran kode etik jurnalistik pada pemberitaan kasus kekerasan seksual. Pelanggaran mencakup mencampurkan fakta dan opini (40 persen), mengungkap identitas korban (38 persen), mengandung informasi cabul dan sadis (21 persen), dan mengungkap identitas pelaku anak (1 persen). Dari segi pemenuhan hak korban, pelanggaran yang ditemukan ialah menggunakan diksi yang bias (24,21 persen), mengungkap identitas korban (23,15 persen), dan stigmatisasi korban sebagai pemicu kekerasan (15,89 persen).
Informasi soal hak aborsi legal penting mengingat banyaknya kasus pemerkosaan. Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2022, ada 338.496 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2021. Sebanyak 7.029 kasus di antaranya laporan dari lembaga layanan dan 597 kasus di antaranya merupakan pemerkosaan.
Melihat banyaknya kasus pemerkosaan, diperkirakan ada banyak juga korban yang mengalami kehamilan tidak diinginkan. Layanan aborsi aman pun menjadi penting. Walakin, layanan ini masih sulit diakses antara lain karena usia kehamilan korban pemerkosaan melebihi batas aturan, hingga ketidaktahuan masyarakat soal layanan ini.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Siti Mazumah, mendampingi penyintas untuk aborsi legal menantang. Baik korban maupun tenaga medis berisiko dikriminalisasi.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Koalisi perempuan yang tergabung dalam ”Save Our Sister” berunjuk rasa di depan Kejaksaan Tinggi Jambi, Kamis (26/7/2018). Mereka menuntut dibebaskannya WA (15), korban pemerkosaan yang divonis penjara 6 bulan karena menggugurkan kandungannya.
Direktur Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan HAM (SpekHAM) Rahayu Purwaningsih mengatakan, ketiadaan layanan aborsi legal bisa berdampak buruk bagi korban pemerkosaan. Penyintas berisiko menjadi pelaku kekerasan, misalnya dengan membuang atau membunuh bayinya.
”Ada penyintas yang terpaksa melanjutkan kehamilan dan jadi orangtua tunggal, mengalami kekerasan menerus karena dipaksa menikah dengan pelaku, mengalami gangguan kesehatan mental, hingga menghadapi risiko kematian karena aborsi tidak aman,” ujarnya.